Mohon tunggu...
Lilis Wahyoeni
Lilis Wahyoeni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menulis mengasyikan duniaku..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya Tumbuh Bersama Tarian Tradisional

23 Desember 2013   00:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tariantradisonal atau menarikan tari tradisional adalah bagian dari masa kanak – kanak dan masa remaja saya. Betapa tidak, semenjak TK saya sudah dikenalkan berbagai macam tarian tradisional oleh Bapak. Bisa dikatakan saya tumbuh bersama tarian tradisional. Meski sedikit terpaksa waktu itu,  saya memenuhi keinginan Bapak untuk menjadi murid sanggar tari tradisional di  kota kecil, Purworejo. Saya masih ingat betul waktu pertama kali di antar Bapak ke sanggar, namun sesampai di sana, saya cuma bengong memandangi teman – teman lain yang berlatih menari dengan luwes dan anggun dalam pandangan mata kecil saya.

Saya cuma berdiri terpaku melihat teman – teman sanggar, yang usianya rata – rata di atas saya. Selendang( sampur ) warna oranye yang di bawa dari rumah cuma saya lilitkan di pinggang, tanpa dipergunakan sama sekali, selain minder juga bingung, mau gerak  malu dan kaku rasanya. Rasa canggung dan malu berlangsung kira – kira sebulan lamanya, tak ada kemajuan yang berarti, kemudian Bapak memutuskan untuk memindahkan ke sanggar lain, yang muridnya sebaya.

Pilihan Bapak jatuh pada Sanggar Tari Natya Laksita, di sanalah saya menimba ilmu tentang berbagai tarian tradisional. Kegigihan Bapak untuk mengenalkan tari kepada anak perempuan satu – satunya ini membuahkan hasil. Lambat laun sayapun bisa mengikuti gerakan dasar tari untuk kemudian menarikan sebuah tarian dasar untuk usia anak – anak, di mulai dengan tari Rantoyo ( tari dasar pertama ), kemudian Golek Sri Rejeki, Golek Manis, Minak Jinggo, Prawiro Pertiwi, Bondan, Pendet, Kipas dan lain – lain.

Ada banyak cerita seru mengenai pengalaman menari tradisional ini, apalagi ketika  pertama kali tampil di panggungdan tentu saja ditonton orang banyak.Pernah suatu kali mengisi acara memperingati Hari Kemerdekaan RI di Kelurahan karena keterpaksaan memenuhi keinginan Bapak. Tanpa sepengetahuan saya, saya di daftarkan sebagai pengisi acara untuk menarikan salah satu tarian tradisional. Maukah saya ? Pada awalnya  tidak sama sekali, saya menolak keras – keras,  semasa kecil ( waktu itu saya berumur 10 tahun ) saya sangat pemalu dan tidak percaya diri untuk tampil sendiri di depan orang banyak.

Setelah dibujuk rayu oleh semua anggota keluarga, Mamak, Bulik, Simbah dan terutama Bapak, akhirnya sayapun menyetujui untuk tampil dengan meminta  imbalan dibelikan  tas sekolah baru. Hahaha. Dengan di temani salah seorang saudara, akhirnya sayapun latihan untuk persiapan menarikan tari tradisional. Tarian yang saya pilih waktu itu tari Golek Sri Rejeki, dengan durasi penampilan kurang lebih 15 menit, alunan gending pengiring tarian itu terasa sangat lama. Setiap mata bersiborok dengan penonton, saya lupa gerakan berikutnya. Rasa nervous lebih mendominasi diri saya. Sering tersenyum sendiri jika teringat masa itu. Hehehe

[caption id="attachment_310557" align="aligncenter" width="300" caption="Dokumentasi tari yang ketemu cuma ini :(. Saya (kanan) menari Golek Sri Rejeki"][/caption]

Meskipun tampilan saya tak sesempurna yang diinginkan, namun Bapak selalu mengacungkan jempol , ketika dari atas panggung mata saya mengarah kepada Beliau. Dan Beliau tampak bangga ketika nama orang tua dari anak – anak yang tampil di sebutkan oleh pembawa acara.

Ada pula kejadian konyol yang pernah saya alami ketika menari tradisional di lain waktu. Ketika itu saya terpilih untuk menarikan tarian tradisional dari Bali yaitu tari Pendet, sebagai tarian pembukaan di sebuah acara di Pendopo Kantor Bupati. Hampir satu bulan saya berlatih, persiapan yang cukup matang dan waktu itu saya berumur12 tahun, percaya diri itu sudah tumbuh dengan sendirinya. Persiapan matang, percaya diriditunjang acara yang cukup besar kala itu, menambah semangat untuk menampilkan yang terbaik. Namun, siapa sangka satu hari menjelang hari pentas, kaki kanan belakang tempurung ( dengkul ) terkena bisulan ( jawa : wudunen ). Tahu kan ya, sakitnya seperti apa, apalagi ketika kakidi tekuk. Padahal dalam  tari Pendet ada gerakan duduk dengan kaki rapat terlipat, kemudian setengah berdiri berulang - ulang sambil menyebar bunga – bunga mawar dari bokor ( cawan ) yang di hias dengan janur kuning menjuntai.

Dengan menahan sakit luar biasa sampai  keluar air mata, sayapun tetap latihan dan gladi bersih. Semangat dan niat tak pupus oleh bisul yang mengganggu. Di malam pementasaan  sambil menahan rasa tak terkira,  bisul itupun pecah di saat saya menari, hingga darahnya merembes pada kain Bali yang saya kenakan. Tak menghiraukan kondisi itu, saya sukses menyelesaikan tarian dengan baik. Menarikan tarian Pendet  di depan para tamu kehormatan Kabupaten,  adalah suatu kebanggan di masa kecil, ini membuat saya   makin percaya diri untuk  tampil di pementasan - pementasan selanjutnya.

Menginjak masa remaja, saya masih setia dengan tari tradisional dengan sering mengisiacara – acara kesenian, audisi untuk acara di televisi, pengisi acara resepsi pengantin ataupun lomba, meskipun belum pernah juara namun saya bangga pernah mengisi sebagian masa hidup dengan tetap melestarikan kebudayaan asli Indonesia. Setelah saya dewasa baru  menyadari bahwa keinginan Bapak waktu itu ternyata tepat untuk saya, selain memupuk kepercayaan diri, juga mengajarkan untuk mencintai kebudayaan asli tanah air.

Kini, saya telah menjadi ibu dari dua orang anak, Sulung saya kebetulan perempuan dan ternyata menuruni bakat menari juga. Sering mengisi acara di sekolah dan terpilih untuk mengikuti berbagai lomba tari. Dan ternyata apa yang saya rasakan sekarang, sama dengan perasaan Bapak dan Mamak saya dulu, selalu terbersit rasa bangga ketika anaknya bisa menari tarian tradisional. Walaupun  belum bisa tampil seperti yang diharapkan, namun setidaknya sebagai orang tua, telah berhasil mengajak dan mengajari anak untuk tidak melupakan dan tetap mencintai kebudayaan Indonesia.

[caption id="attachment_310561" align="aligncenter" width="300" caption="Sulung saya, menari Kukilo"]

13877317131030486067
13877317131030486067
[/caption]

Tulisan di atas saya sertakan dalam Lomba Blog :  Kemparekraf  Blog Competition bekerjasama dengan Indonesia Travel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun