Mohon tunggu...
Lidyaku Manise
Lidyaku Manise Mohon Tunggu... -

Menulis sampai patah jari-jariku ini... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warung Kopi Lily

5 Januari 2012   17:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:17 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hahh! Apa katamu tadi!?” umpat Udin sambil malotot. “Dengar ya. Jangan harap  ada keadilan buat orang-orang seperti kita. Ini negara duit bung! Uang itu Tuhan”.
“Tapi buktinya mereka tetap ditahan. Coba liat di televisi,” balas Yus.
“Alahh..! ditahan?? Munafik..! yang ada mereka ikin penjara seperti istana, bebas keluar masuk. Penjara cuma alasan supaya uang yang dicuri bisa bunting-beranak di tabungan mereka,” timpal  Yance cepat-cepat. “Aku kasih tahu ni, mereka yang sibuk cari perhatian saat kampanye dulu, termasuk bupati yang kamu perjuangkan kemarin, Yus! Dia tahu betul bagimana memaksimalkan kesempatan. Pas dapat jabatan, tangan mereka langsung gatal-gatal,”.
“Betul itu! Intinya pencuri seperti mereka dilindungi hukum. Ini kan negara kampret!” kesal Udin sambil menyungging bibir hitamnya yang tebal.
Sudah enam potong pisang goreng dihabiskan, tinggal dua lagi yang di piring. Yus tahu, dia baru memakan dua. Cepat-cepat dia menyambar sisa bagiannya.
Pagi itu mereka orang pertama yang terlihat di warung Kopi Lily. Biasanya mereka berenam, ditambah Abdul, Max dan Fachry. Mungkin yang lain masih dalam perjalanan.  Orang-orang di kampung  menyebut mereka pengangguran warung kopi. Sebutan itu cukup beralasan, karena tak satupun dari meraka yang memiliki pekerjaan tetap. Satu-satunya profesi jelas hanyalah sebagai pencuri kayu.  Itu sebabnya, sabang hari, wajah-wajah itu yang sering muncul di warung kopi Lily.
Satu hal yang di paling dihafal dari kelompok ini adalah isu yang dibicarakan. Pengunjung lama Warung Kopi Lily tahu betul apa yang mereka dibahas, cukup melihat cara duduk mereka. Kalau isunya masalah negera, mereka cukup duduk dibangku panjang sambil berderet. Mungin posisi itu bukan untuk berdebat, hanya mencari solusi. Namun langsungberubah, jika sudah menyangkut masalah pribadi, lebih-lebih soal harga kayu. Maka mereka langsung menggeser bangku membentuk lingkaran. Persis rapat legislatif di televisi.
Jika pembicaraan makin memanas, perdebatan akan menyertakan Lily pemilik warung. Meski Mereka tahu, Lily tidak mengerti apa-apa soal pembicaraan itu, namun suaranya menentukan argumen masing-masing.
Lily tahu bagaimana harus bersikap saat dilibatkan dalam pembicaraan. Dukungannya selalu kepada siapa yang mentraktir hari itu. Mereka juga tahu kalau suara Lily harus dibeli. Imbalan dari legitimasi lily adalah memborong lagi pisang gorengnya.
“Betul kata Udin. Keadilan itu seperti jualan. Semakin mahal berarti semakin adil.  Mau adil yang paling adil? Tergantung harga yang dibayar. Betul kan?” kata Lily, menyambung kalimat yang baru dikatakan Udin.
“Bukan itu saja,” balas Yance setelah meneguk kopi terakhirnya, “semua kalangan dinegeri ini, dari kelas teri sampai kakap bermental pencuri. Bayangkan saja, hukuman maling sendal dengan koruptor. Benar-benar bangsat. Mau jadi apa negara ini,”. Pembicaraan itu akan terus berlangsung hingga tengah hari.
Meski banyak cibiran dari warga kampung soal kebiasaan mereka, namun ada hal positif yang bisa dicontoh. Pengetahuan mereka tentang perkembangan berita sangat cepat. selalu saja ada hal terbaru yang akan dibahas setiap hari.
Dari semua pembicaraan itu,  ada satu hal yang paling disukai mereka, yaitu mengupas habis soal Lily, janda pemilik warung kopi itu. Mereka akan bergantian memberikan penilaian tentang kecantikan dan kemolekan tubuhnya, meski umurnya berkepala empat. Jika sudah seperti itu, pembicaraannya akan disertai tawa mengikik yang terdengar gaduh.
“Barang boleh seken, kesing boleh lama, tapi onderdilnya, wuihhh!! dijamin 90 persen, masih full  power. hahahaha..” tawa mereka langsung menggema didalam warung kopi.
Lily hanya mencibir sambil geleng-geleng. Di tahu, pembicaraan apa yang sedang mereka bahas. Namun tentang siapa, itu yang sulit bocor ke pendengar.
***

Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari ini ada yang berbeda. Mereka tidak terlihat seperti biasanya, bersemangat dan gaduh. Kali mereka hanya bertiga. Mungkin masih menunggu yang lain? Bukan! wajah mereka tidak orang yang sedang menunggu, melainkan mencemaskan. Tapi apa? Pengunjung yang lain tak ada yang peduli.
Kopi yang disuguhkan Lily juga belum disentuh. Padahal sudah setengah jam diatas meja. Mereka hanya termenung. Fachri memain-mainkan rokoknya dijari, tanpa membakarnya. Tingkah itu seperti dinikmatinya.
Lily hanya melirik diam-diam, sambil nebak-nebak apa yang tengah terjadi. Dia benar-benar merasa ada yang berbeda. Pelanggan lama warung kopi itu juga merasakan itu. Tapi tak ada yang mau bertanya atau mencari tahu. Mereka hanya pengangguran warung kopi. Paling-paling masalah sepele, atau belum ada kayu yang berhasil dicuri.
Namun Lily tahu, ada masalah besar hingga membuat mereka seperti ini. Lily hafal betul sikap seperti ini. Pernah sekali saat Max, tertimpa batang pohon, semua teman-temannya cemas setengah mati. Mereka sangat kawatir, jangan sampai terjadi apa-apa dengan nyawa Max.  Lebih lagi jika polisi mengetahui penyebab kecelakaan itu. Mereka adalah kelompok pencuri kayu yang dicari-cari.
Namun Lily tidak pernah menanyakan langsung, baik  kepada Yus yang usianya paling mudah atau Fachri yang dikenal lucu. Lily tahu, tidak ada jawaban yang akan diperolehnya selain, kata ‘tenang saja’.  Mereka tidak akan mengatakan apa-apa.
Lily hanya memasang telinga diam-diam, mencuri percakapan yang hampir tidak terdengar itu. Hingga akhirnya Abdul muncul dengan terburu-buru.
“Udin, Udin..” kata Abudul dengan nafas yang terengah-engah. “Udin.. Yus”. Tiba-tiba saja suara Abdul memekik, sambil mengeluarkan air mata. Dia, menyandarkan tubuhnya di dinding papan yang berdebu.
“Ia, ada dengan Udin. Dimana dia?” desak Fachri, “Duduk dulu baru bicara”.
“Ada di rumahnya. Tapi Dia..” mulut Trisno kembali tergagap “Udin Far, Dia matii..!” tangis Trisno langsung pecah ruangan, mengisi keriuhan warung kopi sederhana milik Lily.
Berita itu seperti sengatan kilat dikepala Lily, gelas yang seang dilap hampir terpental dari tangannya. Tubuh gempalnya seolah kehilangan tumpuan.
“Inalilahi wainalilahi rojiun..” gumam Lily.
Wanita itu mulai mengait-ngaitkan kematian Udin. Dia tahu apa yang sudah menimpanya. Semalam terdengar suara brondongan senjata dari arah hutan lindung, dan Dia tahu siapa sasarannya. Kepalanya tiba-tiba saja penuh dan tak mampu berpikir keras. Dia hanya mematung. Desiran darah yang melewati ubun-ubun terasa begitu panas.,“Udin  sudah pergi..”gumamnya.
“Bagaimana bisa! coba ceritakan. Kalian kemana semalam!,” desak Fachri dengan suara tertekan. Tanganya terus mengguncang-guncang punggung Abdul yang lemas.
Abdul berusaha menahan tangisnya dan menceritakan semua yang terjadi. “Tadi malam Kami ke hutan lindung. Kata Udin, disana banyak kayu yang bagus-bagus. Padahal Max dan Junaidi sudah melarang. Disana sangat berbahaya, polisi selalu berpatroli dimalam hari, namun Udin tetap memaksa,” Trisno kembali sedet.
“Lalu!!” paksa Fachri.
“Kami ditembak Far,.” Abdul terisak, air matanya bercampur keringat dan menetes ke kaos oblong  lusuhnya “karena lihat Udin kabur, kami terpaksa ikut lari. Tapi polisi terus mengejar dan menembak.  Aku  hanya mendengar suara Udin berteriak sebelum kami berpisah. Aku tahu dia kena. Tapi tembakan terlalu banyak. Karena gelap kita terpencar dan terus berlari ke dalam hutan”.
Kabar itu seperti ledakan bom. Mereka hanya terdiam dan menunduk. Tak ada yang bisa dilakukan selain pasrah. Itu resiko pekerjaan. Jika tidak mati ditembak, berarti penjara.  Semua telah digarsikan, seperti halnya pencuri yang berdasi. Pengangguran warung kopi tahu peran masing-masing. Yang berbeda hanya pilihan dan kesempatan.
Kesempatan untuk orang-orang seperti mereka adalah masih bisa berkumpul sambil meneguk kopi tubruk dan pisang goreng buatan Lily hari ini. Sendangkan pilihan hanyalah penuhi permintaan cukong-cukong kayu, agar bisa mengisi perut.
Saat itu kejadian itu, orang-orang dikampung ramai membicarakan kematian Udin. Namun tidak sedikit yang mencibir dan mengumpat dibelakang. Khususnya istri-istri pejabat desa.
“Itu resiko buat pencuri. Daripada bikin aib buat warga kampung, lebih baik seperti itu”.
Beberapa hari kemudian cerita tewasnya Udin tidak lagi terdengar. Seperti tertelan tanah gambut kuburannya, nama Udin langsung terhapus dari kampung. Tapi warung kopi Lily masih saja ramai. Kelompok pengangguran tetap ada, dan jumlah mereka makin bertambah.
Hari ini, pembicaraan mereka adalah rumah mewah gubernur yang diberikan cuma-cuma oleh seorang kontraktor.
“Ck..ck.cak.. Edan!!,”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun