Indonesia, dengan keberagaman agamanya masih sering menghadapi perseteruan dalam praktik keagamaan seperti beribadah, terutama di wilayah dengan dominasi agama tertentu. Berdasarkan data, Indonesia memiliki enam agama resmi yang diakui oleh negara yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, serta berbagai kepercayaan lokal lainnya. Keberagaman ini seharusnya menjadi kekuatan yang memperkaya kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat, namun berbanding terbalik dengan faktanya.
Pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih sering terjadi tentu saja hal tersebut melanggar Hak Asasi Manusia. Pada hal ini yang menjadi topik permasalahan ialah kasus pelarangan ibadah Natal di Cilebut, Bogor, yang melibatkan kedatangan sekelompok dari luar daerah, memicu masalah toleransi beragama dan penerimaan sosial di lingkungan tersebut. Keberatan warga setempat terhadap kedatangan jemaat luar mencerminkan isu yang lebih kompleks, termasuk persepsi hak beribadah di luar daerah asal dan kekhawatiran atas norma lokal. Kasus ini tidak hanya melibatkan perbedaan agama, tetapi juga tantangan sosial dan administratif yang lebih luas, terutama mengenai izin kegiatan keagamaan dan persepsi tentang keberagaman. Ini menunjukkan pentingnya dialog antaragama dan penerapan kebijakan yang lebih inklusif, yang mendukung hak beribadah sekaligus mempertimbangkan keharmonisan sosial. Peningkatan pemahaman dalam masyarakat dapat menjadi langkah penting dalam menjaga kerukunan dan keberagaman agama di Indonesia.
Hasil penelitian  ini diharapkan dapat memperkaya analisis dengan mengaitkannya pada bagaimana konflik berfungsi untuk mempertahankan solidaritas kelompok sekaligus menciptakan peluang untuk dialog dan transformasi sosial. Contoh penerapan konsep ini ditemukan dalam kajian konflik sosial yang melibatkan isu keagamaan dan budaya di Indonesia, seperti kasus konflik mayoritas-minoritas lainnya (efendi, 2022).
Perseteruan pelanggaran ibadah natal yang terjadi di Cilebut, Bogor ini bukan hanya tentang perbedaan keyakinan dalam beragama antara jemaat dan masyarakat setempat, tetapi juga mencerminkan perbedaan persepsi tentang hak beribadah dan penerimaan terhadap kelompok luar. Dalam kasus ini pentingnya mengetahui serta memahami faktor-faktor yang mendasari ketegangan tersebut, serta bagaimana masyarakat merespons kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh kelompok dari luar daerah. Oleh karena itu, beberapa rumusan masalah yang perlu dibahas dalam kajian ini adalah:
1. Apa faktor utama yang melatar belakangi konflik antara warga setempat dan jemaat?
2. Bagaimana persepsi warga terkait kegiatan ibadah oleh jemaat dari luar daerah?
Menggunankan teori-teori mengenai konflik sosial, khususnya konflik agama, serta konsep toleransi dalam masyarakat multikultural:
Konflik Sosial (Lewis A Coser): Konflik dipahami sebagai interaksi yang bersifat antagonis, yang sering kali disebabkan oleh ketidaksesuaian antara kepentingan individu atau kelompok. Dalam konteks ini, konflik muncul akibat perbedaan pandangan tentang pelaksanaan ibadah yang sering kali berakar pada ketidakseimbangan kepentingan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Menurut teori konflik sosial yang dikemukakan oleh Lewis A Coser, konflik muncul sebagai interaksi antagonis ketika kepentingan atau nilai-nilai suatu kelompok tidak sejalan dengan kelompok lain. Dalam kasus pelanggaran ibadah Natal di Cilebut, Bogor, konflik dapat dilihat sebagai hasil dari ketegangan antara komunitas Kristen sebagai minoritas dengan komunitas mayoritas yang merasa memiliki kontrol atas ruang sosial. Lewis A Coser juga menyatakan bahwa konflik dapat memicu perubahan sosial, baik dalam bentuk revisi norma maupun regulasi, jika konflik dikelola dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konflik agama bersifat destruktif, ia juga dapat menjadi pemdorong untuk perbaikan hubungan antar kelompok.
Lewis A Coser telah banyak mengeksplorasi bagaimana konflik dapat menjadi bagian dari interaksi sosial bahkan perubahan sosial yang berfungsi baik secara destruktif maupun konstruktif. Dalam konteks pelanggaran ibadah Natal di Cilebut, Bogor, konflik ini mencerminkan ketegangan antara kelompok mayoritas dan minoritas, yang dapat dianalisis melalui beberapa aspek kunci dari teori Lewis A Coser ia memandang konflik sebagai elemen yang dapat memperkuat batas-batas struktural dan meningkatkan integrasi dalam kelompok (in-group). Dalam kasus ini, ketegangan antara komunitas Kristen dan mayoritas dapat memperkuat solidaritas internal masing-masing kelompok, meskipun juga berpotensi memperlebar jurang sosial di antara mereka (rizalhadizan, 2022).
Teori Toleransi Agama (John Rawls): Toleransi beragama, menurut John Rawls, adalah prinsip di mana setiap individu harus menerima perbedaan agama tanpa merugikan kebebasan pihak lain. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, toleransi menjadi fondasi penting dalam menjaga keharmonisan antarumat beragama. Namun, ketidakseimbangan penerapan toleransi, seperti pelarangan ibadah Natal di Cilebut, menunjukkan adanya pengingkaran terhadap kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. John Rawls menekankan pentingnya keadilan sebagai dasar penerapan toleransi. Dalam konteks ini, negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak minoritas, termasuk kebebasan menjalankan ibadah. Ketika toleransi tidak diterapkan secara adil, konflik horizontal antara kelompok mayoritas dan minoritas cenderung terjadi(taufik, 2019).
Teori kebebasan beragama, Kebebasan beragama merupakan hak penting yang diakui oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2), yang berbunyi: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya." Landasan ini memberikan jaminan hukum bahwa praktik ibadah harus bebas dari intervensi yang bersifat diskriminatif atau menghambat. Serta menyatakan bahwa setiap warga negara berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Pelanggaran terhadap kebebasan beragama, seperti kasus pembatasan atau gangguan terhadap peraktik ibadah suatu kelompok, dinilai sebagai bentuk diskriminasi yang dapat mengancam kerukunan sosial. Ketika kebebasan beragama diabaikan, konflik sosial cenderung meningkat, terutama di masyarakat yang memiliki beragam agama seperti di Indonesia. Teori ini juga memperhatikan pentingnya toleransi, inklusivitas, dan perbedaan keyakinan sebagai cara untuk memelihara perdamaian. Sebagai refleksi, pelaksanaan kebebasan beragama harus diiringi dengan tanggung jawab kolektif masyarakat dan penegakan hukum oleh negara untuk memastikan bahwa hak-hak ini benar-benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari. (situmorang, 2019)
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode kajian pustaka. Fokus penelitian diarahkan pada analisis konten berita-berita yang beredar di media online terkait kasus pelanggaran ibadah Natal di Cilebut, Bogor. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami isu sosial, konflik agama, dan penerapan toleransi beragama melalui informasi yang telah dipublikasikan. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis, yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis data dari sumber berita online. Data tersebut digunakan untuk mengidentifikasi pola konflik, perspektif yang muncul, serta solusi yang diusulkan oleh berbagai pihak.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa konflik pelarangan ibadah Natal di Cilebut, Bogor, disebabkan oleh faktor sosial, budaya. Warga setempat merasa kehadiran jemaat luar daerah melanggar norma lokal dan mengganggu keteraturan sosial. Kurangnya komunikasi dan ketidakjelasan izin kegiatan memperburuk situasi, menciptakan kesalahpahaman. Analisis menunjukkan bahwa selain ketegangan agama, faktor sosial seperti eksklusivitas komunitas turut memperparah konflik. Edukasi toleransi, dialog antarkelompok, dan penegakan hukum yang adil menjadi solusi penting untuk menciptakan kerukunan di masyarakat
Dari data yang dikumpulkan, konflik antara warga setempat dan jemaat dalam pelaksanaan ibadah Natal dapat dilihat sebagai akibat dari beberapa faktor utama yaitu: Merasa memiliki perbedaan nilai-nilai sosial dan kultural antara komunitas setempat yang mayoritas dengan jemaat dari luar daerah sering kali menjadi pemicu perseteruan. Warga setempat memandang jemaat sebagai pihak yang kurang memahami adat istiadat dan kebiasaan lokal. Situasi ini menciptakan jarak psikologis yang sulit pahami oleh warga setempat. Kurangnya komunikasi antara jemaat dan warga setempat menjadi salah satu alasan utama munculnya konflik. Ketidak jelasan izin dan kurangnya pemberitahuan terkait pelaksanaan kegiatan ibadah sering memicu rasa tidak dihargai oleh komunitas mayoritas. Warga setempat sering menganggap bahwa ruang sosial di daerah mereka adalah domain eksklusif yang perlu dijaga dari pihak luar. Kehadiran jemaat dari luar dianggap sebagai bentuk "gangguan" terhadap keteraturan yang sudah mapan. Faktor eksternal juga ikut di sangkutpautkan seperti pengaruh politik identitas juga turut memperkeruh situasi. Isu agama digunakan oleh pihak tertentu untuk memobilisasi massa demi kepentingan politik, yang pada akhirnya memperburuk tensi antar kelompok. (ikhsan, 2022)
Penelitian ini mengungkapkan bahwa konflik di Cilebut berakar dari ketidak sepahaman warga mengenai aktivitas ibadah oleh jemaat yang datang dari luar daerah. Warga merasa kehadiran jemaat dari luar dianggap sebagai "campur tangan, gangguan" eksternal yang mungkin mengganggu ketenangan setempat, sementara jemaat hanya berniat untuk melaksanakan ibadah Natal secara damai. Wawancara aparat kepolisian pada saat itu menunjukkan bahwa konflik ini diperburuk oleh kurangnya komunikasi dari otoritas setempat dalam mengedukasi masyarakat tentang hak-hak beribadah. Dari perspektif sosiologis, kasus ini dapat dianggap sebagai konflik agama karena adanya ketegangan terkait praktik keagamaan. Namun, analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa faktor sosial seperti eksklusivitas komunitas dan ketidakpercayaan terhadap pihak luar juga berperan dalam memperparah ketidak sepahaman ini.
Sebagai negara dengan keberagaman agama yang besar, Indonesia sering menghadapi gesekan antarumat beragama, terutama dalam konteks praktik peribadatan di wilayah dengan dominasi agama tertentu. Kasus pelarangan ibadah di Cilebut, Bogor, menunjukkan tantangan yang dihadapi masyarakat pluralis dalam hal toleransi dan penerimaan. Warga setempat mempermasalahkan kedatangan jemaat dari luar untuk merayakan Natal, yang memicu kekhawatiran akan pelanggaran norma lokal. Selain aspek agama, kasus ini juga mencakup isu sosial dan administratif, termasuk tentang batasan izin dan persepsi terkait hak-hak beribadah di luar lingkungan asal. Ketegangan ini menyoroti pentingnya dialog antarumat beragama dan pemahaman bersama tentang kebebasan beribadah sesuai dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika yang tercantum dalam konstitusi. Studi lebih lanjut mengenai kasus-kasus semacam ini dapat mengungkap pola-pola sosial dan hukum yang diperlukan untuk memperkuat kerukunan dan penerimaan di masyarakat.
Â
Kasus pelarangan ibadah Natal di Cilebut, Bogor, merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam mengelola keragaman agama di tengah keberagaman sosial dan budaya. Konflik ini tidak hanya berakar pada perbedaan agama tetapi juga melibatkan aspek sosialfyang kompleks. Dalam analisis lebih mendalam, beberapa faktor utama dapat diidentifikasi sebagai penyebab utama konflik antara warga setempat dan jemaat yang ingin melaksanakan ibadah Natal.
Pertama, perbedaan nilai-nilai sosial dan budaya menjadi salah satu pemicu utama perseteruan. Warga setempat, yang mayoritas memeluk agama tertentu, sering kali merasa bahwa jemaat dari luar tidak memahami atau tidak menghormati adat istiadat dan kebiasaan lokal. Persepsi ini menciptakan jarak psikologis antara komunitas lokal dan jemaat luar, yang pada akhirnya memicu rasa ketidaknyamanan. Dalam banyak kasus, warga setempat melihat kehadiran jemaat luar sebagai pelanggaran terhadap ruang sosial yang mereka anggap sebagai domain eksklusif. Kedua, kurangnya komunikasi antara jemaat dan warga setempat memperburuk situasi. Ketidakjelasan izin atau kurangnya pemberitahuan terkait pelaksanaan ibadah sering kali dipandang sebagai bentuk pengabaian terhadap komunitas lokal. Hal ini menciptakan persepsi bahwa jemaat luar tidak menghargai hak warga setempat untuk menjaga keteraturan di lingkungannya. Dalam wawancara dengan aparat setempat, juga terungkap bahwa otoritas lokal kurang berperan aktif dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang hak-hak beribadah yang dijamin oleh konstitusi (novelino, 2022)
Penelitian ini menunjukkan bahwa konflik di Cilebut lebih dari sekadar masalah agama. Faktor sosial seperti eksklusivitas komunitas dan ketidakpercayaan terhadap pihak luar juga berperan signifikan. Warga setempat sering kali merasa bahwa kehadiran jemaat luar adalah bentuk gangguan terhadap ketenangan dan keteraturan sosial mereka, meskipun jemaat hanya berniat melaksanakan ibadah secara damai. Dalam konteks ini, konflik agama menjadi manifestasi dari ketegangan sosial yang lebih luas, termasuk masalah kepemilikan ruang sosial dan batasan administratif. Sebagai negara dengan keberagaman agama yang besar, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan prinsip Bhineka Tunggal Ika
Kasus pelarangan ibadah Natal di Cilebut memberi pemahaman tentang pentingnya membangun interaksi antarumat beragama yang efektif untuk mengurangi potensi konflik. Kesimpulannya, konflik di Cilebut bukanlah fenomena yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari pola yang lebih luas dalam dinamika hubungan mayoritas-minoritas di Indonesia. Studi lebih lanjut tentang kasus serupa dapat membantu mengidentifikasi solusi untuk mencegah konflik serupa di masa depan, diperlukan edukasi yang lebih kuat tentang kebebasan beragama, peningkatan interaksi antarkomunitas, serta penegakan hukum yang adil terhadap hak beribadah di Indonesia. Dalam kasus Cilebut, pelanggaran terhadap ibadah Natal mencerminkan adanya pembatasan kebebasan beragama oleh pihak tertentu.
Â
REFERENSI
Efendi, A. (2022). jurnal online. teori konflik lewis jenis dan fungsi positif, 59-67.
Ikhsan, k. (2022, Desember 26). video dugaan pelanggaran ibadah natal di cilebut bogor . Diambil kembali dari kompas.com : https://bandung.kompas.com/read/2022/12/26/153835178/viral-video-dugaan-pelarangan-ibadah-natal-di-cilebut-bogor-ini-kata-polisi
Mahendra, r. a. (2022, desember 27). kasus viral warga dilarang beribadah natal di cilebut bogor berakhir damai. Retrieved from news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-6483795/kasus-viral-warga-dilarang-ibadah-natal-di-cilebut-bogor-berakhir-damai
Mendrofa, Otniel Ogamota. "Pembatasan Kebebasan Beragama Berdasarkan Teori Keadilan Dan Hak Asasi Manusia." Milthree Law Journal 1.1 (2024): 30-61.
Novelino, a. (2022, Desember 26). viral warga larang ibadah natal di cliebut, polisi buka suara . Retrieved from cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221226174122-12-892264/viral-warga-larang-ibadah-natal-di-cilebut-polisi-buka-suara
Rizalhadizan. (2022). teori konflik menurut perspektif Lewis A Coser. teori konflik menurut perspektif Lewis A Coser.
Situmorang, v. h. (2019, Juli 18). kebebasan beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia. Retrieved from core.ac.uk: https://search.app/pziqSPraQzgSRu8PA
Suhardin, Yohanes. "Konsep Keadilan Dari John Rawls Dengan Keadilan Pancasila (Analisis Komparatif)." Fiat Iustitia: Jurnal Hukum (2023): 200-208.
Taufik, Muhammad. "Filsafat John Rawls tentang teori keadilan." Mukaddimah: Jurnal Studi Islam 19.1 (2013): 41-63.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H