Sebagaimana diketahui, setiap lampu lalu lintas (traffic light) memiliki garis berhenti. Garis berhenti, yang sering dikenal dengan istilah stop line, adalah batas yang terletak di persimpangan atau di lampu lalu lintas. Ketika lampu menunjukkan warna merah, pengendara diwajibkan berhenti dan tidak diperbolehkan melewati garis tersebut.Â
Tujuan dari adanya garis berhenti adalah untuk memberikan akses bagi pejalan kaki yang ingin menyeberang saat lampu merah menyala. Selain itu, garis berhenti juga memungkinkan pejalan kaki maupun pengemudi memiliki pandangan yang lebih luas sehingga mereka dapat berhati-hati.
Namun, kenyataannya masih banyak pelanggaran yang terjadi, di mana banyak pengendara mengabaikan aturan ini dengan berhenti melewati garis tersebut. Bahkan ada yang berhenti tepat di zebra cross atau beberapa meter melewati batas garis.Â
Pengendara yang melanggar sering kali menghambat laju kendaraan dari arah lain. Hal ini seharusnya mendapat perhatian lebih serius dari pihak berwenang karena selain mengganggu pengguna jalan lain, juga mengganggu ketertiban lalu lintas, seperti membatasi akses pejalan kaki untuk menyeberang.Â
Pelanggaran seperti ini terjadi hampir di setiap persimpangan lampu lalu lintas. Mungkin ini disebabkan oleh kurangnya edukasi tentang aturan lalu lintas atau bahkan karena budaya melanggar yang sudah mengakar di masyarakat. Mereka tahu aturan tersebut, tetapi lebih memilih untuk bersikap acuh, seolah-olah tindakan mereka tidak salah.
Ironisnya, tidak jarang pengendara yang melanggar malah marah kepada pejalan kaki yang ingin menyeberang. Hal ini menjadi salah satu penyebab seringnya terjadi adu mulut di jalan raya. Saat ini, sangat jarang ditemukan pengguna jalan yang taat aturan di Indonesia, bahkan di kalangan aparat negara. Walaupun terdengar sepele dan jarang menyebabkan kecelakaan, hal ini tetap tidak dapat dijadikan pembenaran bagi mereka yang melanggar.Â
Padahal, sudah ada aturan yang jelas tentang larangan berhenti di zebra cross, yaitu dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ), Pasal 106 ayat 2, yang berbunyi: "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda." Serta ayat 4 yang berbunyi: "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan rambu perintah atau rambu larangan."
Lalu, apa hukuman bagi mereka yang melanggar? Dalam Pasal 287 disebutkan: "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau Marka Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)."
Setelah mengetahui sanksi yang ada, apakah masih ingin melanggar? Bagi sebagian pengendara yang gemar melanggar, selama tidak ada petugas yang mengawasi, mengapa tidak? Inilah yang ada di benak para pelanggar aturan. Indonesia saat ini tengah mengalami krisis ketaatan terhadap aturan, bukan hanya di kalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan pemerintah yang kini justru sering kali mengubah aturan untuk kepentingan pribadi atau keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H