AKU DALAM ALUNAN TIDUR KU
Pagi itu, aku bersiap-siap hendak pergi ke rumah calon suamiku bersama ayah, bunda dan abang-abang ku. Tapi, entah mengapa kegelisahan yang ku rasakan saat itu tidaklah seperti kegelesihan lainnya yang pernah ku alami. Aku merasakan kegelisahan yang sangat dalam, seperti ada sesuatu yang harus kurelakan untuk selamanya. Aku mencoba untuk menghilangkan rasa itu, tapi nihil hasilnya, tetap saja rasa itu melekat dalam diriku.
Beberapa jam lalu, di ujung taman aku melihat burung Gagak hitam sedang mematuk-matuk jendela kamar ayahku, seolah memberi isyarat bahwa akan ada sesuatu yang terjadi nantinya. Tapi entah apa itu!. Burung Gagak hitam itu tidaklah seperti burung gagak lainya, mata dan paruhnya sangat tajam sekali dan hitam pekat, membuatku merinding melihatnya.
Satu hal yang membuatku heran dari burung gagak itu, “Mengapa jendela kamar ayah yang sedang dipatuk-dipatuk olehnya?, padahal itu hanyalah sebuah jendela yang terbuat dari kayu tapi kenapa burung Gagak tersebut seolah-olah sedang mencari sesuatu dari jendela itu”, pikirku. “Ah, sudahlah”, kata ku sambil berlalu tak menghiraukan burung tersebut.
Sorotan mata ku beralih di ujung pintu belakang, dimana aku melihat sosok yang sangat tak asing lagi dari pandanganku, dia adalah bunda ku yang sedang memetik bunga melati untuk dijadikan genggaman dalam tangannya selama perjalanan nantinya. Kebiasaan yang selau dilakukan oleh bundaku setiap kali hendak bepergian, entah pergi ke kota ataupun luar kota. Aku pun tersenyum lebar melihat bunda menikmati bunga-bunga melatinya di pekarangan tersebut. Terasa bahagia yang tidak ada duanya kala itu melihat bunda senang melakukan kegiatan rutinitasnya di perkarangan.
Sedangkan abang-abangku tetap saja duduk santai di ruang tamu dengan menyeruput kopi hangat buatan bundaku disambi dengan canda tawa yang terlontar dari bibir mereka, membuat ku merasa bahwa terakhir kalinya hal itu terjadi dari detik ini. Dan aku hanya bisa melihat mereka dengan tenang serta senyuman manis yang kupersembahkan pada mereka, meski hati berbalik dari gesture tubuh ku.
Firasat yang sangat ganjil ini mengusik ketenangan jiwa dan mengacaukan pikiran ku, akan tetapi segeralah ku tepis dan ku buang jauh-jauh segala macam pikiran dan prasangka yang negatif dari hal itu. “Pencipta, aku ingin selamanya merasakan kehangatan seperti ini yang selalu ada di setiap detiknya. Jangan Engkau biarkan ini hanyalah sebuah imajinasi yang tidak nyata”, batin ku sembari berlinang air mata.
Kami sekeluarga pun berangkat dengan senang menyambut sejuknya udara dan segarnya sepoi-sepoi angin yang bebas akan polusi. Jalanan yang masih bersih dan lancar membuat kami merasa semangat untuk menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Berbeda dengan sekarang, dimana-mana selalu ada polusi membuat sesak nafas dan udara serasa makin panas, angin juga tak sesejuk dan sesepoi-sepoi kala itu.
Selama perjalanan, bunda menasihati aku untuk selalu bersabar atas apapun yang sedang dialami kelak, jangan pernah sedih atas apa yang terjadi dan selalu ambil hikmah dan positifnya. Begitu lah kata bunda. “Oia bunda ngantuk, bunda tidur dulu ya, nanti bangunkan Din” kata Bunda.
“Iya bun”, sahutku.
Rasa penasaran ku semakin besar untuk mengetahui ada apa di balik kejadian ini, tidak biasanya bunda seperti ini ketika bepergian.
“Kenapa bunda tiba-tiba menasihati aku dan abang-abang ku seperti itu?”, kataku lirih. “Bunda, ayah, aku mohon jangan pernah katakan seolah-olah itu adalah pesan terakhir untuk kami” seru ku dalam hati.
“Din, kamu kenapa siih? Bukannya seneng mau ke rumah calon suami, malah suram gitu mukanya. Ada apa?” tanya abang ku sembari mengagetkanku.
“Tidak ada apa-apa bang” jawab ku dengan singkat.
“Bahagialah dan senyum dikit kenapa, nggak usah sok serius-serius gitu, nggak pantas muka kamu dipakai serius. Nggak cocok bin aneh”, goda abangku sambil tertawa terbahak-bahak berharap ku bisa melebarkan bibir ke samping kanan dan kiri.
“Eh, bang ini muka multi fungsi, bisa dibuat dan dibikin apa saja. Jadi cocok dengan bentuk apapun. Apalagi bentuk muka yang unyu-unyu. Cocok banget dah bang” balas ku.
“Unyu-unyu? yang ada malah jadi ubur-ubur kali Din” timpal abang ku yang lain.
“Ini orang, bangun-bangun nimpali aja, nggak ada colokan bisa juga balas omongan orang” jawab ku sewot.
“Looh ya, malah sewot. Katanya multi fungsi di bentuk ubur-ubur bisa donk, kan cocok tuh sama pipinya yang bergelembung” kata abang ku sambil tertawa terbahak-bahak.
“Tauk ah gelap” jawab ku.
Abang ku nomer dua ini, memang super duper nyebelin. Dimanapun ada dia, selalu saja hidup ku tidak tenang. Selalu saja ada yang disahutin tiap kali aku ngomong, serasa jengkel jadinya. Tapi, dia adalah obat hati ku meski aku tidak pernah menampakkan padanya, dia selalu membuat aku tenang dan tertawa jaim-jaim dikala aku sedang sedih seperti saat-saat sekarang yang sedang kacau pikiran ku.
Ayah yang dengan santainya menjalankan mobil hanya ketawa-ketiwi mendengar ocehan kami. “Ayah senang bisa melihat kalian tertawa lepas seperti ini, biasanya kejar-kejaran melulu padahal ya udah besar-besar tapi kok kayak Tom and Jerry” Kata ayah.
“Usahakan kalian akur terus seperti ini, ingat dan selalu dijaga saudara-saudaranya. Siapa tahu ayah tidak menangi lagi kalian tertawa lepas dan bahagia seperti sekarang ini” imbuh ayah.
“Kok ayah masih ingat film Tom and Jerry? Itu kan film kita masih kecil yah, wah jangan-jangan ayah dulu diam-diam ikut nimbrung nonton Tom and Jerry ya yah?. Hahahahaha ....”, timpal abang ku yang nomer dua sambil ngakak.
“Abang ini apa siih, ayah itu ngomong serius, malah diajak candaan gimana siih ni orang” balas ku jengkel.
“Ini namanya sebuah penyatuan nada dimana ada tone-tone dalam berbicara biar nggak sumbang nadanya. Mangkanya diimbangi dengan candaan, biar lebih rileks nggak tegang otot dan pikiran kita. Masih pagi biar fresh pikiran dan otot kita sehingga kita bicaranya juga fresh. Hahahahha . . . Bukan begitu bang?” tanya abang ku ke abang Aan.
“Bang, bang Aan, bang, abang kok malah tidur siih bang. Abang ini gimana, ditanya kok malah ditinggal tidur. Ya ampun bang” gerutu abang ku.
Aku spontan tertawa lebar melihat wajah abang ku yang memelas, tak ada yang respon. “Hahahahahaha . . . Mangkanya jangan kebanyakan ngomong, nggak ada yang dengerin tuh. Mending diam aja lah”, sahut ku.
Selang berapa menit, bunda pun terbangun dari tidurnya, menanyakan sudah sampai di kota mana perjalanan kita. Belum sempat aku menjawab tiba-tiba ‘Bruaakkkk’, kami pun terpontang-panting didalamnya bagaikan sedang beradegan slow motion. Ayah dan bunda terbenturan keras dengan kaca mobil dan mendarat di dashboard mobil, sedangkan abang-abangku terpanting menatap kaca belakang, dan parahnya lagi aku yang sedang duduk ditengah terpanting ke depan dan berakhir di tengah-tengah ayah dan ibu. Aku setengah sadar melihat tubuh ayah dan bunda tidak mengeluarkan darah sama sekali. Sedangkan abang-abang ku terus mencucurkan darah di sekujur tubuhnya. Mereka terpejam matanya tak sadarkan diri saat aku panggil lirih. Aku pun menyusul mereka tidak menyadarkan diri.
Aku sontak bangun dari tidur dangan nafas yang terengah-engah ketika bunda membangunkan aku untuk sholat. Spontan, aku menangis dan merangkul bunda dengan erat berharap mimpi itu tidak akan pernah hadir lagi. Dan aku sangat bersyukur ternyata itu semua hanyalah mimpi belaka.
*****
Gresik, 04 Juli 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H