Mohon tunggu...
Lidia Kristiani Sarumaha
Lidia Kristiani Sarumaha Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswa

Saya merupakan seorang mahasiswa dari Universitas Kristen Indonesia dengan jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Saya memiliki tujuan untuk terus menulis sebagai akademisi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dunia dalam Bayang-Bayang Senjata Nuklir: Ancaman atau Alat Diplomasi?

29 Oktober 2024   00:00 Diperbarui: 29 Oktober 2024   00:19 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dunia berada dalam situasi paradoks dalam hal senjata nuklir. Senjata nuklir dianggap sebagai pelindung bagi beberapa negara dan bahkan dianggap sebagai instrumen untuk dipandang serius oleh komunitas internasional. Di sisi lain, nuklir adalah ancaman yang nyata yang dapat menghancurkan peradaban dalam hitungan detik. Inilah yang membuat isu nuklir begitu kompleks dan menimbulkan pertanyaan penting: apakah nuklir benar-benar membantu perdamaian atau justru merupakan bom waktu yang mengancam dunia?.

Mengambil contoh Korea Utara, uji coba nuklir yang dilakukannya pada tahun 2006 bukan hanya tindakan pertahanan; itu adalah bukti eksistensi (Yustiningrum, 2007. Hal.13). RR Emilia Yustiningrum menjelaskan dalam jurnalnya bahwa nuklir Korea Utara adalah cara untuk menentang dominasi AS dan sekutunya. Dengan kata lain, Korea Utara seolah-olah mengatakan, "Kami mungkin negara kecil, tapi kami memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan." Ini adalah situasi di mana ancaman nuklir digunakan untuk meningkatkan tekanan politik dan mendorong negara-negara yang paling berkuasa untuk bernegosiasi. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa nuklir Korea Utara adalah alat tawar yang sangat berharga dan bukan lagi sekadar alat pertahanan. Namun, bagaimana hal itu berdampak pada keamanan global? Kasus ini menunjukkan bahwa efek domino akan terjadi ketika sebuah negara merasa perlu memiliki senjata nuklir untuk dianggap setara. Negara-negara lain juga percaya bahwa mereka harus melakukan hal yang sama untuk melindungi diri mereka dari ancaman, baik yang sebenarnya maupun yang tampak. Setiap negara merasa terancam oleh keadaan ini, yang menciptakan "lingkaran setan" yang pada akhirnya meningkatkan risiko konflik nuklir.

 

Untuk mengatasi masalah ini di Asia Tenggara, ASEAN membentuk Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara pada tahun 1995 (Prayetno, 2015. Hal.586). Tujuannya adalah agar negara-negara di wilayah ini dapat saling melindungi satu sama lain tanpa terjebak dalam konflik senjata api. Meskipun penting, langkah ini tidak berhasil meredakan ketegangan di Laut Cina Selatan yang sering melibatkan kepentingan militer negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Cina. Salah satu kelemahan dari prinsip non-interference atau non-intervensi ASEAN adalah bahwa organisasi tidak memiliki mekanisme yang kuat untuk menghadapi ancaman dari luar atau mendisiplinkan anggota yang melanggar perdamaian. Di sini ASEAN membutuhkan pendekatan yang lebih fleksibel untuk menjaga stabilitas internal dan mencegah ancaman militer dari luar.

 

Karena negara-negara pemilik nuklir tidak sepenuhnya setuju, ada ketidakpastian yang lebih besar. Pada kenyataannya, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Cina terus mempertahankan dan memperbarui arsenal nuklir mereka, meskipun mereka telah terikat dalam traktat internasional seperti Traktat Penghentian Penembakan Tes (CTBT) dan Non-Proliferation Treaty (NPT). Ini menunjukkan standar ganda yang mengganggu negara non-nuklir. Dalam keadaan seperti ini, negara-negara seperti Iran dan Korea Utara percaya bahwa nuklir adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan kedaulatan mereka. Jika negara-negara besar memiliki kemampuan untuk memiliki nuklir, kenapa negara lain tidak? Isu ini juga menunjukkan bahwa nuklir adalah simbol dominasi dan kekuatan dan bukanlah alat yang netral. Dunia akan berada dalam bayang-bayang kekuasaan yang tidak setara selama negara-negara besar yang menganggap diri mereka melindungi perdamaian memegang senjata ini. Meskipun kekuatan nuklir mereka merupakan ancaman terbesar, negara-negara besar tampaknya mengatakan bahwa mereka bertanggung jawab atas perdamaian dunia. Paradoks ini sangat berbahaya karena bahaya nuklir semakin meningkat seiring dengan perkembangan diplomasi nuklir.

 

Untuk melindungi keamanan regional, ASEAN harus mendorong kerjasama yang lebih kuat untuk mencegah negara-negara besar memasukkan kekuatan militer mereka di Asia Tenggara. Untuk memastikan bahwa wilayah tersebut netral dan aman dari pengaruh militer luar, pendekatan diplomasi ASEAN yang bebas-aktif harus ditekankan. Namun, netralitas ini harus dikombinasikan dengan komitmen yang lebih berani untuk menjaga keamanan kolektif. Ini adalah fakta bahwa jika negara-negara besar tidak benar-benar berkomitmen terhadap perlucutan senjata nuklir, senjata nuklir akan tetap menjadi alat tawar-menawar di tingkat internasional. Dunia membutuhkan tidak hanya perjanjian dan traktat yang solid, tetapi juga keberanian politik dari negara-negara pemilik nuklir untuk memulai tindakan. Itu adalah satu-satunya cara agar dunia benar-benar aman dari ancaman nuklir.

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun