Pengalaman yang indah dan berharga ini berawal dari kegiatan Kampus Orang Muda Jakarta (KOMJak) yang saya ikuti, kegiatan yang tidak terduga mengajarkan kami para peserta keluar dari zona aman kami sesuai dengan slogan angkatan kami ke 7 “Break Your Limit”. Nama Kampus membuat konotasi kegiatan ini seperti orang kuliah ada dosen duduk diruangan AC, tapi apa yang kami rasakan dengan mengikuti Komjak berbeda sama sekali. Di komjak pembelajaran kami terbagi 3 modul dan pada modul 1 kami diberi tugas untuk observasi ke berbagai tempat dan melakukan wawancara kepada berbagai profesi yang jelas bukan dokter, professor, pengacara, dll tetapi kaum marjinal.
Kaum marjinal (Marginal -> bahasa inggris) yaitu orang-orang yang masuk dalam kategori menengah kebawah dan terpinggirkan. Misalnya pemulung, kuli angkut pasar, pengupas kulit kerang, dsb. Hal ini yang membawa saya kepada perjumpaan dengan Pak Samin, siapakah dan apakah profesi Pak Samin?
Petualangan observasi saya dimulai hari sabtu, 5 Maret 2016 disaat matahari sedang tidak bersahabat dengan sengatannya yang membakar kulit dan memacu keringat untuk keluar dari pori-pori. Kondisi itu mulai terasa ketika kaki saya melangkah dari Stasiun Tanah Abang ke Pasar Tanah Abang (Pasar Tekstil Terbesar se Asia Tenggara) walau ragu dan agak takut karena ini pertama kalinya berada ditempat asing seorang diri. Karena saya tidak tahu dimana kuli angkut pasar berada maka saya berpura-pura beli gorengan dan sambil menunggu gorengan saya dibungkus, saya bertanya kepada abang penjual gorengan dimana banyak terdapat kuli angkut pasar dan dengan cepat bapak itu menjawab kuli angkut pasar atau bahasa kerennya porter banyak berada di Blok F.
Dengan berbekal keterangan dari tukang gorengan itu saya mulai masuk kedalam gang-gang kecil pasar tanah abang, saya melewati pedagang-pedagang baju dan rumah-rumah penduduk. Ketika melewati rumah-rumah penduduk yang padat dengan gang sempit membuat para pengunjung pasar sesekali berdesakan dan harus bergantian untuk melawan arus masuk dan keluar pasar tanah abang.
Setelah beberapa kali bertanya kepada penduduk dan tukang parkir, saya mendapati informasi bahwa target saya memang banyak berada di Blok F tepatnya dibawah tangga escalator. Saya mulai masuk kedalam Blok F dan benar ketika saya berjalan mendekati tangga escalator saya melihat seorang pria paruh baya yang berpakaian berwarna orange, ketika kaki saya semakin bergerak maju terlihat beberapa bapak-bapak yang juga berpakaian warna orange bersama pedagang asongan sedang menunggu pengunjung pasar yang bersedia untuk menggunakan jasa angkut mereka dan membeli barang dagangan mereka.
Dalam hati saya berbicara bapak yang saya lihat pertama kali dialah yang akan saya jadikan subjek observasi dan langsung duduk disebelah bapak itu. Awalnya bapak itu saya ajak bicara basa basi si bapak agak takut. Setelah saya berterus terang dan meminta persetujuan beliau untuk diwawancara guna tugas kampus beliau bersedia dan didapati informasi bapak target saya bernama Samin yang usianya 43 tahun seorang kuli angkut pasar atau bahasa kerennya Porter Tanah Abang.
Observasi dengan Pak Samin diawali dengan pertanyaan-pertanyaan saya mengenai bagaimana awal Pak Samin bisa bekerja sebagai Porter Tanah Abang. Beliau bercerita bahwa dy diajak kerja oleh teman 1 kampungnya di Kulon Kab. Rangkas, bahwa dijakarta ada pekerjaan dengan pendapatan per hari Rp 150.000. Mendengar tawaran yang menggiurkan itu Pak Samin rela meninggalkan keluarga dan memberanikan diri mengadu nasib ke Jakarta serta menggadaikan kebun karet yang menjadi sumber mata pencaharian selama tinggal dikampung. Kebun karet yang digadaikan kurang lebih 300 meter dengan harga Rp 1.000.000, uang itu sebagai ongkos berangkat ke Jakarta dan biaya pendaftaran sebagai porter kala itu Rp 900.000. Dari biaya pendaftaran Pak Samin mendapat kaos berwarna orange dan hitam serta kartu keanggotaan sebagai Porter Tanah Abang (Pekerja Bongkar Muat – PBM).
Pak Samin bersama Porter yang lain datang ke Jakarta pada tanggal 31 Desember 2003 jadi Pak Samin dkk sudah menjadi Porter kurang lebih 12 tahun, pada saat tiba ruko blok F baru selesai dibangun dan baru terisi di lantai dasar saja belum seramai sekarang. Pendapatan kala itu juga masih sedikit dan tidak menentu sampai kurang lebih tahun 2007 pasaran mulai ramai hingga sekarang. Para Porter kebanyakan tinggal kontrak didekat kawasan Tanah Abang, dan Pak Samin sendiri tinggal dikawasan petamburan kurang lebih 20 menit dari tanah abang.
Lalu saya melanjutkan pertanyaan kepada Pak Samin bagaimana sikapnya terhadap teman Pak Samin yang sudah “menipu” dirinya, dengan jawaban polos yang membuat saya terharu dan salut dengan Pak Samin. Beliau bilang “saya tidak apa-apa yang penting saya ada pekerjaan tetap setidaknya ada penghasilan setiap hari walau tidak menentu jumlah uang yang diterima”. Pak Samin berkata lebih baik di Jakarta daripada di kampung, kerja serabutan apalagi kalo musim hujan, karet pun tidak bisa diambil getahnya. Jadi kebun karet yang bapak punya cuma bisa menghasilkan ketika musim kemarau tiba.
Pertanyaan saya berlanjut pada pendapatan sehari-hari Pak Samin sebagai Porter, beliau berkata pendapatan kalo sedang sepi pernah Pak Samin pulang dengan tidak membawa uang sama sekali. Dan ketika pasar sedang ramai seperti saat menjelang lebaran Pak Samin bisa mendapat uang dalam sehari Rp 250.000. Jam kerja Pak Samin dimulai pukul 08.00 – 16.30 WIB. Saya iseng bertanya orang paling sedikit pernah kasi Pak Samin berapa dengan senyuman menjawab Rp 4.000 dan saya tanya benarkah dan seberapa berat yang dipikul oleh beliau, dy menjawab ringan “ya benar namanya jasa angkut seperti ini tergantung dari kebaikan hati si “customer” pengguna tenaga Pak Samin, kurang lebih beratnya 30 kg. Saya sempat kaget mendengar perkataan Pak Samin itu, 30 kg saya membayangkan Pak Samin mengangkat beban yang berat itu lalu hanya diupahi Rp 4.000.
Setelah pernyataan yang membuat hati miris itu, saya beralih kepada “customer” yang paling baik Pak Samin berkata dy pernah diberi upah Rp 100.000. Dengan penghasilan yang tidak menentu dan pendaftaran diawal kepada mandor Rp 900.000 ternyata Pak Samin masih ada biaya penyetoran uang kepada mandor setiap hari Senin dan Kamis Rp 5.000 / 1 x setor. Dan saya bertanya juga berapa banyak Porter di Blok F itu kepada Pak Samin, kurang lebih ada 152 orang itu terbagi Blok F Lama, F1, dan F2. Mendengar itu saya memandangi Pak Samin serta porter yang duduk bersama-sama kami. Saya merasa sedih bagaimana mereka harus berjuang menafkahi diri mereka serta keluarga di kampung bersaing dengan ratusan orang yang bernasib sama dengan mereka.