Saya kemudian teringat dengan keluarga yang ditinggalkan oleh Pak Samin mengadu nasib ke Jakarta, Pak Samin memiliki seorang istri bernama Sati. Mereka memiliki 4 orang anak : anak pertama laki-laki bernama Cecep (18 tahun) sekarang bekerja di sebuah warung makan pecel lele di tanjung priok, anak kedua perempuan bernama Nur (13 tahun) sekarang kelas 3 sekolah menengah pertama menurut Pak Samin, jarak tempuh Nur dari rumah ke sekolah kurang lebih 2 km, anak ketiga bernama Edi (6 tahun) sekarang kelas 1 sekolah dasar, jarak antara rumah dan sekolah 1 km, yang bungsu bernama Eha (2,5 tahun) belum bersekolah. Walaupun rasa rindu selalu melanda Pak Samin tapi beliau harus menahan rasa itu karena pendapatan yang tidak menentu sehingga Pak Samin pulang ke kulon 2 minggu sekali, Pak Samin agak sedikit lega dengan adanya kereta api dengan tarif murah, biayanya beliau naik kereta kalimaya Rp 15.000 / sekali trip jadi pulang pergi Rp 30.000.
Setelah ngobrol kurang lebih 1, 5 jam saya pamit pulang dengan Pak Samin dkk karena hari mulai sore dan toko-toko disekitar kami duduk sudah bersiap-siap untuk tutup. Ketika berpamitan saya enggak tahu kenapa ada rasa sedih dan kehilangan, saya bersalim tangan dengan Pak Samin dan berkata ingin kesini lagi jika ada kesempatan dan waktu. Ketika itu karena Pak Samin pulang dengan berbeda arah maka saya diantar oleh salah 1 teman Pak Samin, saya sudah berkenalan dan ngobrol tapi lupa namanya. Kebetulan bapak yang mengantar saya memiliki kontrakan searah dengan stasiun tanah abang, kontrakan beliau ternyata dekat dengan tempat kerjanya lalu saya berpamitan dan menyalim tangan bapak itu.Â
Walaupun bapak itu sudah berada didepan kontrakannya beliau menunggu saya berjalan sampai berada dibelokan pasar, dy memberitahu saya untuk belok dari situ tinggal lurus saja. Jujur ketika perpisahan itu saya mau menangis begitu juga ketika saya menulis laporan ini. Aneh dengan sikap saya ini, padahal saya kenal mereka tidak sampai 3 jam tetapi perpisahan ini ada rasa kehilangan. Sepanjang perjalanan saya bersyukur dapat melakukan observasi dengan baik dan saya juga bersyukur karena bertemu para porter yang luar biasa dengan segala kesulitan, tantangan, dan persaingan mencari nafkah tidak tergaris diwajah mereka segala kesedihan itu.
Terima kasih atas tugas observasi ini, saya jadi tahu apa arti hidup dan bersyukur walaupun pengalaman ini belum seberapa tetapi setidaknya saya ikut terjun langsung kedalamnya. Saya tidak hanya mengerti secara teori tetapi saya benar-benar mendengar langsung dari hasil observasi dengan para porter dan juga merasakan suasana tempat mereka sehari-hari bekerja.
Oya teman-teman kompasiana, Pak Samin yang menggunakan kaos bernomor 91… Terima Kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H