Bahasa adalah simbol berupa kata, gerakan, atau bunyi-bunyian lain yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Setiap bahasa memiliki kekhasannya masing-masing baik dari bunyi atau ruang lingkup demografinya.
Secara khusus, judul ini berangkat dari pengalaman saya sebagai guru Bahasa Inggris di SMA Cinta Kasih Tzu Chi. Di kelas, Bahasa Inggris yang digunakan adalah bahasa Inggris yang baku.
Namun diluar kelas muncul percampuran bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang dinamakan Englonesian. Generasi Z pasti sangat familiar dengan penggunaan bahasa campuran ini.
Mereka gunakan gaya berbahasa ini setiap hari dalam berkomunikasi. Fenomena ini dianggap populer atau gaul dikalangan generasi Z. Penggunaan bahasa campuran ini pada mulanya muncul di kota-kota besar terutama Jakarta pada umumnya.
Bahasa adalah saluran untuk menyampaikan semua apa yang dirasakan, dipikirkan, dan diketahui oleh seseorang kepada pendengarnya ataupun oranglain secara langsung, Pateda (1987)
[1]. Bahasa berperan penting untuk sebagai alat komunikasi untuk pemersatu dari sekian banyak bahasa di dunia. Di Indonesia sendiri, kita memiliki bahasa pemersatu yakni bahasa Indonesia.
Beberapa tahun terakhir ini, pemakaian bahasa Indonesia sendiri dalam kehidupan sehari-hari mulai sedikit bergeser digantikan dengan gaya bahasa gaul dan sekarang lebih dikenal dengan gaya bahasa “Englonesian”. Dan gaya bahasa ini sering kita dengar di SMA Cinta Kasih Tzu Chi.
Gaya bahasa generasi z terutama siswa siswi SMA Cinta Kasih Tzu Chi menarik untuk didengarkan. Fenomena ini secara umum menimbulkan pro dan kontra, artinya ada yang menganggap penggunaan gaya bahasa tersebut wajar.
Namun, ada yang menganggap kebiasaan berbahasa ini tidak wajar. Sangat mudah untuk memahami sisi pro dan kontra dari pendengar. Pada umumnya yang pro sangat mudah untuk memahami gaya bahasa seperti itu. Kebalikannya yang kontra susah memahami atau merasa aneh dengan gaya bahasa demikian (Englonesian).
Bernadette Kushartanti dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang menggunakan istilah “Indonenglish”; dan Ivan Lanin, ahli linguistik bahasa Indonesia menyebutkan fenomena ini sebagai “code mixing”.[2]
Kedua ahli di atas menjelaskan bahwa percampuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak sepenuhnya menghilangkan arti kata bahasa itu masing-masing. Setiap kata yang digabungkan tidak akan mengubah arti kata itu sendiri.