Pesantren Zawiyah Darussufi, sebuah lembaga spiritual yang berakar sejak tahun 2008 di Samarang, Garut, telah melalui perjalanan yang begitu dinamis. Transformasinya mencerminkan respons terhadap kebutuhan masyarakat Muslim Garut, bukan sekadar fokus pada kegiatan keagamaan, melainkan juga sebagai pusat pendidikan yang inklusif. Dengan membuka sekolah diniyah pada tahun 2008, pesantren tidak hanya memberikan bekal rohani, tetapi juga memberdayakan masyarakat melalui pendidikan.
Sejarah masuknya Tarekat Tijaniyah ke Indonesia, khususnya di Cirebon pada tahun 1928, menjadi landasan spiritual pesantren ini. Ajaran-ajaran Tarekat Tijaniyah, seperti Sholawat Fatih dan Talqin Barzakhi, tidak hanya dipahami sebagai ritual, tetapi juga sebagai bagian penting dalam praktik keagamaan di pesantren. Meskipun pernah dipertanyakan keabsahannya dalam forum kongres Nahdatul Ulama, pesantren ini tetap kukuh menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Tarekat Tijaniyah. Lebih dari sekadar lembaga kesufiaan, Pesantren Zawiyah Darussufi adalah hasil inisiatif Dr. H. Asep Achmad Hidayat, M. Ag, yang pada tahun 2003 mendirikan lembaga ini di tengah-tengah pemukiman Perumahan Jatiputra Cibunar, Garut. Visinya bukan hanya menciptakan lingkungan keagamaan, tetapi juga tempat yang humanis, memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat sekitar.
Dalam menjawab permasalahan kontribusi pesantren, penelitian ini mengadopsi metode sejarah. Tahap heuristik (pengumpulan data) tidak hanya merinci perkembangan pesantren tetapi juga menggali makna di balik kegiatan yang dilakukan. Kritik sumber (verifikasi) bukan hanya sekadar mencocokkan data, tetapi juga mengidentifikasi nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam setiap catatan sejarah. Interpretasi (penafsiran) tidak hanya membahas fakta sejarah, tetapi juga menyoroti dampak sosial dan kemanusiaan dari setiap kebijakan pesantren. Historiografi tidak hanya menjadi narasi, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai humanis yang diterapkan dalam perkembangan pesantren. Dalam melakukan analisis terhadap peristiwa sejarah yang terjadi, di dalam penulisan ini analisis yang digunakan adalah teori dialektika yang dikemukakan oleh Hegel. Teori dialektika merupakan pertentangan anatara sebab dan akibat dari suatu fenomena sejarah
Pesantren Zawiyah Darussufi, bukan sekadar menyelenggarakan majlis dzikir dan pengajian, melainkan telah tumbuh menjadi entitas yang mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap langkahnya. Pembangunan asrama Fathoniyah pada tahun 2012 sebagai tanggapan terhadap kebutuhan dua anggota Muslim dari Pattani, Thailand, mencerminkan bukan hanya kepedulian spiritual, tetapi juga perhatian terhadap aspek sosial dan kemanusiaan.
Konflik yang muncul selama proses pembangunan asrama menjadi bukti bahwa pesantren tidak hanya berkembang dalam kesuksesan, tetapi juga belajar dari tantangan. Sintesis yang dicapai pesantren, dengan menyediakan solusi konflik dan memberikan tempat rehabilitasi, adalah bentuk konkret dari komitmen terhadap pendidikan, rehabilitasi, dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Madrasah yang dibentuk pada tahun 2014 tidak hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan, tetapi juga sebagai wadah untuk menerapkan nilai-nilai kemanusiaan dalam praktik sehari-hari. Perkembangan pesantren ini bukan hanya berhenti pada pencapaian sintesis, tetapi terus berkembang, menandai langkah lanjutan dalam menghadirkan pendidikan bagi komunitas.
Pesantren Zawiyah Darussufi, melalui perjalanan dinamisnya, tidak hanya mencerminkan pertumbuhan keagamaan, tetapi juga evolusi sebagai lembaga yang mengakui dan menerapkan nilai-nilai kemanusiaan. Proses pembangunan asrama Fathoniyah, meskipun diwarnai konflik, mencerminkan kemampuan pesantren untuk menghadapi permasalahan sosial konkret dan mencari solusi yang humanis.
Sintesis yang dicapai pesantren adalah bukti bahwa pertumbuhan tidak selalu datang tanpa hambatan, tetapi juga melalui pemahaman dan penanganan masalah dengan pendekatan yang humanis. Pesantren terus berkembang, bukan hanya dalam hal pendidikan agama, tetapi juga dalam memberikan dampak positif yang lebih luas pada masyarakat.
Dalam perjalanan pesantren ini, kemanusiaan bukan sekadar nilai tambahan, melainkan menjadi inti dari setiap kebijakan dan tindakan. Pesantren Zawiyah Darussufi adalah contoh nyata bagaimana lembaga agama dapat menjadi agen perubahan sosial yang mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dalam seluruh aspek kehidupannya. Melalui pendekatan sejarah dan dialektika perubahan yang terus-menerus, pesantren ini terus menjadi pusat pengembangan Tarekat Tijaniyah, sekaligus menjadi model inspiratif tentang bagaimana spiritualitas dapat bersinergi dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam menyentuh kehidupan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H