Mohon tunggu...
Lia Wahab
Lia Wahab Mohon Tunggu... Jurnalis - Perempuan hobi menulis dan mengulik resep masakan

Ibu rumah tangga yang pernah berkecimpung di dunia media cetak dan penyiaran radio komunitas dan komunitas pelaku UMKM yang menyukai berbagai jenis kerja kreatif

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Karena Bohong Setitik, Rusak Kepercayaan Sebelanga

10 Juli 2014   15:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:46 3120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah melalui hari-hari berat masa kampanye pilpres dimana dua kubu pendukung rajin menyerang lawan, membela diri dan membanggakan jagoannya, hari-hari ketika media massa terpolarisasi sedemikian mencoloknya, momen 9 Juli pun tiba. Dengan berdebar saya ikut andil mencoblos pilihan saya yaitu nomer 2 dan tak sabar untuk mengetahui siapa yang lebih banyak dipilih rakyat. Jam 7 pagi TPS sudah dibuka dan beberapa pemilih sudah menunaikan haknya. Sekitar jam 10-11 pagi pun beberapa televisi sudah mulai menayangkan hasil hitung cepat sementara (baca: quick count). Sekedar menyamakan persepsi, quick count itu metode penghitungan hasil pemilu dengan mengambil beberapa sampel TPS di setiap propinsi dan menginput hasil penghitungan suara dari TPS-TPS sampel itu untuk dijumlahkan hasilnya.

Sekitar pukul 12.30, saya pun mulai mengikuti info hasil-hasil quick count tadi. Dengan konsentrasi ke televisi, tangan saya pun aktif memencet remote untuk mengganti channel demi channel. Stasiun TVRI, SCTV, Indosiar, Trans TV-TRANS 7, Metro TV, Net TV, Kompas TV dan ANTEVE memperlihatkan persentase hasil yang menunjukkan kemenangan pasangan nomor 2 di kisaran 50,8% lebih. Dan saya pun terbengong-bengong saat memindah channel ke stasiun TV One, RCTI, MNC dan Global TV yang menunjukkan angka sebaliknya, yaitu kemenangan pada pasangan nomor 1. Bahkan berselang satu jam dari itu, ANTEVE yang satu kepemilikan dengan TV One pun menayangkan jumlah yang sama dengan TV One dan bertuliskan (sumber:TV One). Aneh!

Saya mencoba membandingkan lembaga survey yang digunakan kesemua tv itu.. Yang mencolok itu adalah TV One grup dan MNC grup yang 'tampil beda tapi kompak'. Secara kasat mata politik saja saya sudah bisa membaca kalau kedua grup stasiun tv besar di tanah air ini punya satu kepentingan untuk memenangkan tim Prabowo. Lembaga survey yang dipakai mereka yaitu LSN, IRC, Puskaptis dan JSI. Semalam Metro TV menyiarkan dialog dengan Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute, Hanta Yudha, yang angkat bicara soal perbedaan hasil hitung cepat di Pilpres 2014 kali ini. Menurut Hanta Yudha , perbedaan hasil ini tidak akan terjadi jika tvOne tidak melibatkan tiga lembaga survei Puskaptis, JSI dan LSN. Hanta bercerita, awalnya memang tvOne sepakat bekerja sama dengan Pol-Tracking Institute untuk mempublikasikan hasil hitung cepat di Pilpres 9 Juli ini. Namun dia membatalkan, karena tiba-tiba TvOne melibatkan tiga lembaga survei lain yakni Puskaptis, JSI dan LSN. Dia sendiri baru diberitahu pada pukul 9 paginya kalau ada 3 lembaga lain. Karena berbagai pertimbangan lantas pada pukul 10paginya Pol-Tracking membatalkan kerjasama. Kalau saja TV One tidak keluar jalur dari perjanjian sebelumnya (bahkan sudah diiklankan), maka hasil quick countnya tidak akan jauh beda dengan lembaga survey yang digunakan televisi-televisi lainnnya dimana hasilnya adalah pasangan Prabowo-Hatta 46,63% dan Jokowi-Kalla 53,37%.

Belakangan saya mendapatkan informasi bahwa lembaga survey LSN yang pernah diberitakan sebagai lembaga survey pesanan Mahfud MD (link) kurang kredibel kerjanya karena menggunakan metode survey cepat tanpa turun ke lapangan yang dipertanyakan Dewan Elit Perhimpunan Survei Opini Republik Indonesia (PERSEPI). Sementara itu, lembaga Puskaptis punya catatan buruk ketika di bulan September 2013 direkturnya diamankan polrestabes Palembang karena memanipulasi data pada perhitungan hasil pilgub di Sumatera Selatan. Dan, pada tahun 2008 lembaga ini merilis hasil quick count pilkada Palembang yang memenangkan Syahrizal Oesman dengan angka 51, 11% dan angka untuk Alex Noerdin sebesar 48,89% padahal hasil hitungan KPU adalah sebaliknya, Alex Noerdin menang dengan persentase 51,4% dan Syahrizal Oesman 48,6%. Puskaptis pun merilis hasil quick count pilgub Jabar pada tahun 2009 lalu yang menunjukkan persentasi kemenangan bagi Danny Setiawan disusul Agum Gumelar lalu Ahmad Heryawan, padahal kondisi sebenarnya justru sebaliknya, Ahmad Heryawan yang memenangkan pemilihan versi KPU.

Di sisi lain, lembaga survey JSI di bulan Juli 2012 membuat publikasi pemenangan cagub DKI yang menunjukkan angka 49,6% untuk Fauzi Bowo-Nara dan 15,8% untuk Jokowi-Ahok padahal angka real justru sebaliknya, pilkada dimenangkan oleh Jokowi-Ahok. Lembaga survey IRC bahkan diketahui berkantor di MNC tower dan lembaga ini milik Harry Tanoe. Sebelum Harry Tanoe bergabung ke Prabowo-Hatta, survey IRC ini banyak mengunggulkan Wiranto. Kita lihat hasil sebenarnya kan? Elektabilitas Wiranto dan Harry Tanoe justru sangat kecil.

Kalau sederetan televisi yang menayangkan hasil survey dengan angka memenangkan Jokowi dibilang direkayasa rasanya sangat mustahil karena itu bukan jumlah yang sedikit. Toh selama masa kampanye terbukti televisi seperti Indosiar, SCTV, Trans TV grup cukup berimbang dalam pemberitaan. Apalagi di antara sederetan televisi ini ada tv milik pemerintah yaitu TVRI. Apa TVRI juga mau dituding disetir timses Jokowi? Ah, terlalu mengada-ada rasanya.

Apa skenario di balik semua ini? Apa benar ada praktek kebohongan diterapkan oleh keempat lembaga survey pesanan TV One cs? Jawabannya menunggu dewan etik PERSEPI melakukan penyelidikan soal perbedaan hasil quick count ini.
"Kalau kita melihat polarisasinya, TV One itu aneh sendiri memenangkan Prabowo. Kita bisa lihat yang terafiliasi dengan Prabowo memenangkan Prabowo, sementara yang memenangkan Jokowi itu independen," kata Hamdi, anggota Dewan Etik PERSEPI.

Jika di balik semua ini ada skenario rekayasa, alangkah rendahnya momen pemilihan pemimpin bangsa kita ini dipandang. Kalau rekayasa survey pada saat kampanye, meskipun salah, masih bisa dimaklumi karena mungkin untuk mendongkrak elektabilitas nyata bagi sang capres. Tapi ini? Rakyat sudah memilih calon pemimpinnya dan tinggal menunggu hasil perhitungan nyata. Bukan mimpi lagi atau elektabilitas pancingan yang dibutuhkan. Sudah waktunya kita menerima kenyataan. Toh 'menghibur diri' dengan cara rekayasa tersebut justru akan menyakiti para pendukung yang sudah punya semangat dan niat baik dalam mendukung Prabowo-Hatta. Jika seorang Prabowo tidak mengetahui adanya permainan dari elit tim suksesnya ini, maka tim sukses itu telah serta merta merusak nama baik Prabowo yang punya banyak jasa untuk bangsa ini. Ini bisa mempermalukan semua kalangan yang menjagokan sang macan Asia itu. Ini mempermalukan Indonesia. Jangankan mau memberi citra bahwa kita bangsa yang disegani.. ini malah membuat citra bangsa kita jago tipu-tipu. Selain itu, kalau benar rekayasa quick count terjadi, apa tujuannya? Toh hasil akhir akan membuktikan juga kenyataan sebenarnya... Apa ada skenario 'gerilya perhitungan suara KPU' juga? Wallahua'lam bishawab.. Semoga itu cuma prasangka buruk saya... Saya tak mau dipimpin presiden yang terpilih hasil tipu-tipu.

Teman-teman, khususnya pendukung Prabowo-Hatta saya mau mengajak kita untuk objektif melihat. Beberapa bukti sudah ditunjukkan dari cuplikan angka-angka hasil quick count di TV One cs yang tak realistis (ada yang totalnya melebihi 100% dan ada yang total suaranya masih di bawah 95%). Teman-teman pasti tak mau juga kan membohongi diri sendiri cuma untuk kebanggaan sesaat? Teman-teman pasti juga tak mau kan tertipu? Lebih baik selamatkan nama baik Prabowo-Hatta dan pendukungnya dengan tidak mempercayai survey non kredibel. Saya ingat kutipan kata-kata Prabowo sebelum hari pencoblosan "saya siap kalah dan menyerahkan semuanya pada pilihan rakyat". Tapi, kalau kondisinya seperti ini, sepertinya kata-kata itu tidak relevan lagi.. justru lebih kepada "saya tak boleh kalah". Kalau indikasi rekayasa itu terjadi, bagaimana rakyat mau percaya juga kebenaran sejarah Prabowo yang mengatakan bahwa justru dia adalah pahlawan HAM bangsa yang terdzalimi karena skenario kekuasaan yang sering didengungkan pendukungnya. Kalau hasil pasti penentu masa depan bangsa saja bisa direkayasa apalagi catatan pengalaman pribadi..?!

Prabowo pernah meneriakkan "jangan sampai bangsa kita dipimpin oleh maling". Ucapan tersebut sebaiknya sama-sama kita camkan untuk kewaspadaan, bukan membuka peluang berbagai maling bekerja termasuk maling fakta. Dan seburuk-buruknya maling itu adalah maling yang berteriak maling kepada orang lain. Naudzubillahi mindzalik...

Teman, kesampingkan dulu gengsi kalian yang telah sekuat tenaga membanggakan seorang Prabowo dan menuding hal-hal negatif seorang Jokowi. Kesampingkan dulu gengsi kalian saat mengetahui jagoan yang kalian usung kalah. Masa depan dan harga diri bangsa lebih berharga dari sekedar gengsi yang membuat diri kita menutup mata pada kenyataan. Saya sebelumnya berharap pilpres ini berakhir cantik walau diawali dengan proses saling gontok-gontokan. Saya berharap saat satu nama pasangan telah dinyatakan menang versi penghitungan, pasangan lainnya mau dengan legowo menerima kenyataan dan mengucapkan selamat. Pasangan yang menang pun tidak boleh lupa diri dengan tetap berterima kasih pada pasangan lawannya. Tapi ini, kisaran hasil sudah terbaca tapi kita masih sibuk berbantah-bantahan. Yang sana deklarasi yang sini pun deklarasi. Mending kita pantau saja bersama proses yang dilakukan KPU sampai tanggal 22 Juli nanti. Dan, semua dari kita harus benar-benar ikhlas menerima hasil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun