Di sisi lain, United Nations for Environment Program (UNEP) telah mencatat bahwa hampir 90% karbon dioksida global saat ini berasal dari bahan bakar fosil. Lebih lanjut, UNEP melaporkan bahwa ternyata data produksi energi kotor seperti batu bara, minyak, dan gas di 20 negara produsen utama malah tidak sesuai dengan batasan produksi global dalam Perjanjian Paris.Â
Tentunya, hal ini akan jadi malapetaka jika dunia tak segera tobat dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Pada akhirnya, hasil dari setiap pertemuan pemimpin dunia guna mengatasi perubahan iklim tersebut hanya sekadar ruang mimbar bagi para elite global.Â
Tidak hanya dalam skala global, kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Langkah menuju Net Zero Emission di dalam negeri justru diperparah oleh kerusakan sumber daya alam (SDA).Â
Net Zero Emission di Indonesia Dibelenggu Eksploitasi SDA
Indonesia memang dikenal sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber daya alamnya terutama pada bahan bakar fosil. Namun, kekayaan ini kian menjerumuskan Indonesia untuk terus memanfaatkan energi kotor.Â
UNEP melaporkan bahwa Indonesia termasuk negara yang ekonominya sangat bergantung pada energi fosil. Tercatat, industri minyak dan gas masih menyumbang hingga 12% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.Â
Saat ini, data Kementerian ESDM menunjukkan, pemanfaatan energi terbarukan secara nasional baru mencapai 12,3% pada 2022. Sedangkan pemerintah Indonesia menargetkan angkanya mencapai 23% pada 2025. Target yang rasanya hampir tidak mungkin mengingat batu bara masih merajai sumber energi di tanah air.Â
Bisa dikatakan transisi energi di Indonesia berjalan lambat dan ironisnya lagi hal tersebut disertai pemanfaatan SDA secara ugal-ugalan. Ada dua Program Strategis Nasional (PSN) yang digagas pemerintah saat ini, yakni food estate dan hilirisasi.Â
Kedua proyek tersebut amat dibanggakan lantaran menguntungkan secara ekonomi. Realitanya, proyek-proyek inilah yang telah membabat jutaan hektar hutan di Indonesia.Â
Misalnya pada food estate, program yang dicanangkan sejak era Presiden Soeharto ini berhasil menggunduli 1,45 juta hektar hutan di lahan gambut di Kalimantan Tengah. Lalu, pada era pemerintahan Jokowi dilaporkan lebih dari 1.500 hektar hutan di Kalteng dibuka untuk ditanami komoditas food estate.Â
Sementara pada program hilirisasi, Climate Rights International (CRI) melaporkan telah terjadi kerusakan hutan setidaknya seluas 6.000 lapangan sepak bola akibat aktivitas tambang nikel. Pemerintah menilai nikel sangat ekonomis sebagai salah satu bahan dalam industri mobil listrik.Â
Namun, keuntungan yang didapatkan jelas tak sepadan dengan kerusakan yang ada. Baik food estate maupun hilirisasi tambang nikel tidak lebih dari keserakahan penguasa dengan dalih peningkatan ekonomi bagi masyarakat.Â