"Vitamin yang aku beli kemaren mana ya?" Najma sibuk mengacak-acak kotak p3k yang sengaja kami letakkan di setiap sudut ruangan. Loker kayu kecil berbentuk kotak itu menjadi furniture wajib di rumah ini. Pun di rumah kami yang sebelumnya. Kami juga menyiapkan dua washtafle pencuci tangan lengkap dengan handwash rasa Strowberry, di depan setiap pintu masuk. Rumah ini juga dilengkapi dengan ventilasi udara yang baik dan jendela kaca besar di setiap ruangan. Saya buat ketika tahu bahwa Najma mengidap phobia terhadap ruangan sempit dan gelap.
"Kamu liat nggak yang?" tanyanya, ketika saya sedang sibuk memakai jaket denim berwarna blue jeans membalut kaos putih polos saya.
"Apa sayang apa, kamu nyari apa?" saya berbalik memunggungi cermin, menemukannya sedang berjongkok di depan laci meja kecil sampimg tempat tidur kami. Najma terlihat anggun dengan setelan gamis berwarna merah muda dan pashmina yang bagian ujungnya dililit ke belakang leher.
"Vitamin," Najma mengambil jeda nafas "Tadi malem udah aku siapin."
Najma memang menyukai hal-hal sederhana terkait penampilan. Tapi tentang kesehatan, wanita lulusan sekolah farmasi 15 tahun lalu ini, sangat detail dan teliti. Terkesan agak berlebihan kadang. Tapi kami sudah terbisa. Kedua anak kami sedikit banyak mewarisi kebiasaan kami. Mereka terbiasa melakukan protokol kesehatan yang berlebihan dibanding orang pada umumnya.Â
Seperti mencuci tangan dengan sabun setiap saat. Memakai masker sebelum keluar rumah. Menggunakan hand sanitizer setelah bersalaman dan memegang fasilitas umum, juga membawa alat makan sendiri ketika pergi ke restoran. Tidak ada yang salah.Â
Maksud saya, kebiasaan baik ini seharusnya diterapkan oleh setiap individu. Bukankah, semua orang tahu bahwa kuman dan virus dapat berpindah lewat sentuhan-sentuhan fisik yang kita lakukan sehari-hari.
"Mending kita undur aja perjalanannya. Kita nggak mungkin pergi tanpa itu" setelah beberapa menit berkutat dengan pencarian terhadap vitamin yang ia maksud, akhirnya Najma bangkit. Wajahnya terlihat lemah dan pasrah.
"Sayang..." saya memegang tanganya menenangkan. Najma mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertunduk dalam. Saya paham sekali perasaannya.
"Kita tetep pergi. Nanti kita beli di apotek sepanjang jalan," kata saya meyakinkan.
"Kita nggak bakal kemana-mana dengan satu saja perlengkapan yang kurang," tegasnya.