-Ujian selalu berbanding lurus dengan keimanan dan kemampuan-
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Manusia dengan segala pikiran abstraknya sering membingunkan ya? Gue bakal bagi definisi nya dalam dua tipe. Ini bukan berarti gua lagi meniadakan tipe-tipe yang lain ya.
Tipe pertama, yang pesimis dan ngerasa jadi manusia paling menderita di dunia. Mendramatisir keadan. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Mengkambing hitamkan masalah keluarga dan lingkungan atas semua keburukannya.
"Ah gue kayak gini gara-gara keluarga gue!"
"Gue juga ngga pengen kayak gini, tapi liat, masa lalu gue udah maksa gue jadi kayak gini!"
Contoh sederhananya adalah orang yang memutuskan untuk mencuri dengan alasan kesulitan ekonomi. Apa ini benar?
Jelas tidak. Mau dilihat dari sudut pandang hukum, agama, sosial, budaya tetap tidak bisa dibenarkan.
Terus konsep we must judge something by the reason why ga berlaku dong Li?
Tunggu dulu bor. Masalahnya mencuri termasuk kriminalitas. Merugikan orang lain, korban. Lu pernah mikir ngga kalo korban pencurian lu itu bakal sakit hati gara-gara udah kerja mati-matian tapi malah diambil seenaknya? Abis itu dia marah dan depresi, lama-lama mikir buat jadi pencuri juga atas dasar sakit hatinya. Terus dikaitkan dengan ungkapan populer "orang jahat adalah orang baik yang tersakiti". Mohon maaf izin ngakak saya.
Ungkapan ini maksudnya bukan membenarkan kejahatan. Justru untuk mengingatkan sebaiknya jangan melakukan kejahatan. Takutnya nanti malah membuat orang jadi jahat. Tuh kan masyarakat kita suka sembarangan. Nyomot kutipan ayat, hadist atau quotes hanya untuk membenarkan apa yang dilakukannya. Makanya para ulama nyusun kitab tafsir yg tebelnya masyaallah itu, biar kita ngga asal menafsirkan kemudian salah menggunakan.
Ungkapan orang baik adalah orang jahat yang tersakiti juga ngga bisa lah di terapkan dalam semua kejadian. Konsep ini buru-buru tertolak oleh sikap yang tunjukan Rasulullah atas semua kejahatan yang beliau terima. "Eh, beda lah Li, rasul mah emang manusia mulia. Ngga bisa lah disamain sama kita".
"Iya, emang beda. Ya kali disamaain sama gue yang cuma remahan rengginang ini. Tapi jangan lupa, dipilihnya manusia sebagai teladan kita juga kan tujuannya biar kita ngerasa bisa meneladani, minimal selalu berusaha buat hidup dengan mengikuti tata cara beliau hidup. Kalo selama ini kita ngerasa mustahil buat neladani beliau lah terus yg jadi teladan hidup lu siapa? Dajjal?"
Lagian judging dalam bahasa Indonesia artinya menilai atau menghakimi. Kita hidup dalam standar yang beragam kan?
Sini gue ingetin. Dunia ini dinamis, ngga statis. Standarnya ga cuma kalo ngga A berarti B. Misal panas deh. Panas itu mutlak, ada. Lawannya apa? Dingin? Bukan. Ngga ada lawannya.
Dingin adalah keadaan saat tidak ada panas. Sama aja kayak cahaya. Apa lawannya cahaya itu gelap? Engga kan? Gelap adalah kondisi dimana tidak adanya cahaya. Jadi tidak mutlak bahwa jika tidak A berarti B. Hei. Masih banyak abjad lain yang tersedia. Dengan ini mari bersepakat bahwa standar yang kita terapkan dalam hidup kita, bisa jadi berbeda dengan orang lain. Jika menurut kita itu tidak tepat, bisa jadi berdasarkan standar yang lain dia benar. Selama tidak merugikan orang lain gue rasa konsep ini perlu diterapkan. Dan tolong yang biasanya bikin standar-standar di masyarakat itu cepetan mati dong. Wkwk. Cantik itu yang putih, kurus, bla bla bla. Kalo yang engga berarti jelek. Aduh, mengkerdilkan standar ini. Abjad yang 24 lagi lu buang kemana kalo cuma mentingin liat A atau B doang?
Intinya kalau kita (netizen) udah ngerasa berhak menilai dan menghakimi baik dan buruk, mahasiswa hukum nangis liat ini. Belajar segala macem UU, etika hakim dll jadi keliatan sia-sia. Udah ya, kurang-kurangin nilai ukuran kaki orang lain berdasarkan sepatu yang kita pakai.
Tipe ke dua, orang yang dengan angkuhnya bilang
"Ah masalah gitu doang"
"Kalau gue di posisi lu gue ngga bakal kayak gitu"