Mohon tunggu...
Lia Puspitasari
Lia Puspitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jangan takut gagal dalam mencoba hal baru

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menimbang Pola Asuh Otoriter: Apakah Efektif untuk Generasi Masa Depan?

27 September 2024   22:22 Diperbarui: 27 September 2024   22:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan penting dalam pembentukan karakter, nilai, dan norma individu. Orang tua adalah contoh yang bisa dilihat dan ditiru oleh anak-anak dalam keluarga. Oleh karena itu, pengasuhan anak adalah tanggung jawab orang tua. Pola asuh dalam keluarga memainkan peran kunci dalam membentuk karakter dan perilaku anak. Salah satu pola asuh yang sering diterapkan orang tua adalah pola asuh otoriter. Orang tua cenderung bersikap tegas, keras, dan sering memberikan perintah tanpa memperhatikan perasaan anak. Meskipun tujuan utamanya adalah mendisiplinkan, pola asuh ini justru bisa menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah kecenderungan anak untuk berbohong.

Pola asuh otoriter merupakan gaya pengasuhan yang ditandai dengan kontrol ketat, aturan yang kaku, dan sering kali disertai dengan hukuman yang keras. Dalam pola pengasuhan ini, orang tua menetapkan aturan yang harus dipatuhi tanpa kompromi, dan jarang memberikan kesempatan bagi anak untuk menyuarakan pendapat atau perasaannya. Meskipun bertujuan mendisiplinkan dan mengarahkan anak, penerapan pola asuh otoriter dapat membawa dampak negatif terhadap perkembangan emosional dan psikologis anak.

Pola asuh otoriter ini dapat merusak perkembangan emosional anak, memicu perilaku agresif, mengembangkan perilaku pasif-agresif, menghambat kemandirian dan kreativitas anak, serta mempengaruhi hubungan orang tua dan anak. Anak-anak yang dibesarkan di bawah aturan yang ketat sering merasa tertekan dan tidak bebas mengekspresikan diri. Ketakutan akan hukuman membuat mereka cenderung menekan emosi dan merasa tidak aman untuk berbicara jujur. Kondisi ini bisa mengakibatkan masalah emosional seperti kecemasan, depresi, dan rendahnya harga diri. Anak sering merasa takut untuk membuat kesalahan, meskipun dalam situasi belajar dan pengembangan yang seharusnya mendukung.

Pola asuh otoriter sering kali menghasilkan jarak emosional karena kurangnya komunikasi yang hangat dan saling mendukung. Anak merasa bahwa orang tua hanya hadir sebagai figur otoritas, bukan sebagai teman atau pendukung yang dapat diajak berdiskusi. Sebagai hasilnya, anak cenderung menarik diri dan lebih memilih mencari kenyamanan emosional dari luar, yang dapat berisiko jika lingkungan sekitarnya memberikan pengaruh negatif.

Dalam menghadapi berbagai dampak negatif ini, penting bagi orang tua untuk mulai menerapkan pendekatan yang lebih seimbang dan mendukung perkembangan anak secara holistik. Pola asuh yang lebih demokratis, yang fokus pada komunikasi, penghargaan, dan bimbingan yang penuh empati, terbukti lebih efektif dalam membentuk karakter anak yang positif, mandiri, dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik. Orang tua sebaiknya berperan sebagai pendamping yang bijak agar anak dapat tumbuh menjadi individu yang sehat secara emosional dan psikologis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun