Seorang dosen bukanlah guru bagi mahasiswanya, karena profesi utamanya adalah scientist (ilmuwan) dengan tugas pokoknya: mengajar, melakukan penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Motivasi adalah kata kuncinya, bukan mendidik; sehingga tidak patut seorang dosen untuk digugu dan ditiru, karena saat dia patut untuk digugu dan ditiru maka seorang dosen telah meraih level tertinggi keilmuwannya menjadi Guru Besar. Seorang dosen hanya mentransformasikan pengetahuannya kepada mahasiswa. Kelas adalah ruang diskusi, sehingga semestinya entitas dosen dan mahasiswa harus memanfaatkan secara maksimal.
Semestinya seorang mahasiswa juga harus instropeksi apakah intelegensia dan mentalnya sudah cukup 'mumpuni' menimba ilmu di bangku perguruan tinggi. Sebutan mahasiswa diberikan untuk menunjukkan bahwa dirinya telah mandiri dan dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut dalams setiap kegiatan sivitas-akademika kampus. Dan seyogyanya seorang mahasiswa harus melampirkan test psikologinya untuk memeriksa kejiwaan apakah cocok menimba ilmu yang akan dikuasainya; tentu saja disesuaikan dengan keilmuan yang akan digelutinya.
Kasus pembunuhan di kampus UMSU Medan semestinya menyadarkan sivitas-akademika kampus bahwa perguruan tinggi tersebut bukanlah industri pendidikan, bukan juga sebuah sekolah yang masih 'haus' akan didikan dan timang-asuh. Semestinya dosen harus selalu membuka ruas-diskusi ilmiah kepada seluruh sivitas-akademika khususnya mahasiswa (apalagi mahasiswa bimbingannya).Â
Justru geleng-geleng kepala jika seorang dosen yang kembali menimba ilmu di bangku doktoral masih diperlakukan seperti 'anak sekolahan', padahal mahasiswa tsb memegang titel Magister (MT lagi...) sungguh sangat ironis. Tentu saja seseorang yang memiliki intelegensia tinggi justru diperlakukan seolah-olah mahasiswa yang tidak tahu apa-apa. Ini adalah dosa seorang profesor yang 'tidak cerdas' memperlakukan mahasiswa S3-nya sesuai intelegensianya.
Artinya jika seorang mahasiswa S3 saja masih diperlakukan 'semena-mena' terlebih lagi seorang mahasiswa S1. Demikian juga seorang mahasiswa (khususnya S1/D3) semestinya intropeksi akan kebutuhan dan kepentingan studinya, bahwa tidak mungkin meluluskan seseorang jika komponen tugas atau sejenisnya tidak pernah mengumpulkan, saat ujian contek/kerjasama, atau paling tragis memiliki cara-berpikir bahwa tugas teman tugas saya nilai teman harus sama dengan nilai saya. Ironis, sangat ironis bila mahasiswa seperti ini harus diloloskan kepada masyarakat. Wajar jika negara lain sudah maju teknologinya, Indonesia masih berkutat dengan pembenahan administrasi pendidikan dan tata-kelola dokumentasi
Selamat jalan rekan sejawat, bagaimana pun pandangan mahasiswa anda namun kami tetap menaruh hormat atas dedikasi anda di kampus UMSU Medan. Semoga apa yang telah anda perjuangkan dan idealisme yang tetap di pundak selalu menjadi peringatan kepada rekan-rekan anda di seluruh kampus di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H