Adalah sebuah alkisah di sebuah kampung bernama Proto, hiduplah satu laki-laki dan empat perempuan. Kampung itu sangat menjunjung tinggi adat-istiadat, norma khususnya garis patrialis. Suatu ketika terjadi musibah pada anak perempuan pertama; dia tak sengaja membunuh seekor harimau yang disucikan. Hukumannya, haruslah mati; namun si anak laki-laki pasang badan membela saudarinya. Jerihpayahnya tidak sisa-sia, si anak perempuan pertama bebas dari hukuman dan maut. Selanjutnya pada beberapa saat setelah itu terjadi lagi musibah kepada perempuan ke-2, tak sengaja dia menghilangkan barang-pusaka yang dikeramatkan oleh seisi kampung secara adat; dan hukumannya adalah dipancung. Namun si anak laki-laki kembali membela dan pasang-badan kepada saudarinya tsb. Dan akhirnya si anak perempuan ke-2 dibebaskan. Selanjutnya anak perempuan ke-3, suatu saat melakukan tindakan yang sangat mencoreng nama baik keluarga karena mencatut nama orang tua untuk menipu orang lain. Hukumannya haruslah mati; namun sekali lagi si anak laki-laki membela dengan argumentasi yang bisa diterima oleh orang-orang se-kampung. Kembali lagi si anak perempuan ke-3 selamat oleh pembelaan saudaranya laki-laki tsb. Beberapa bulan kemudian, kembali terjadi musibah pada keluarga tsb dimana si anak perempuan ke-4 melakukan onar sehingga orang se-kampung tersebut emosi dan marah serta ingin membakar si anak perempuan tsb. Akan tetapi si anak laki-laki kembali membela dan pasang badan untuk keluarga. Si perempuan itu akhirnya selamat dari amuk-murka orang-orang se-kampung. Demikianlah pengorbanan dari si anak laki-laki untuk membela keempat saudarinya. Waktu terus berjalan, dan pada saatnya mereka berlima sudah semakin tua. Suatu saat, si anak laki-laki jatuh sakit yg sangat parah. Lalu si anak laki-laki menyuruh istrinya untuk mendatangi keempat saudarinya untuk menanyakan mengapa tdk pernah mengunjungi selama sakit. Namun keempat saudarinya itu masing-masing menghardik si istri anak laki-laki dengan ucapan menyakitkan oleh sebab masih banyak urusan dan pekerjaan. Sekali lagi si istri anak laki-laki mengunjungi keempat saudari tsb untuk setidaknya memberi bantuan obat atau pendapat perihal penyembuhan; dan sekali lagi bukan jawaban yang menyejukkan yg didapat, melainkan caci-maki dan omongan kasar. Akhirnya si anak laki-laki menyadari bahwa keempat saudarinya tsb telah lupa kacang akan kulitnya, dan tdk menjunjung adat-istiadat kampung bahwa hrs menghormati saudari laki-laki. Akhirnya, dengan perjuangan dan dorongan yang kuat si anak laki-laki berusah mandiri untuk sembuh dari penyakit dengan meminta informasi dari para sanak-saudara dan teman dibantu oleh sang istri agar bisa sembuh dari penyakitnya. Dan, Sang Hyang Widhi memberkati usaha dan kerja-kerasnya; dan si anak laki-laki itu sembuh dari sakit parahnya.
Perumpamaan ini hanyalah potret kecil dari kehidupan kita sehari-hari, bagaimana kenyataan yang kita terima bertolak-belakang dengan apa yang kita impikan. Telah berbuat baik, malah mendapatkan musibah. Terlebih kenyataan yg kita dapatkan jauh lebih dahsyat dan di luar dugaan terpikir terjadi. Kita sudah selalu jujur dalam bekerja, tekun dalam berusaha, tidak tergoda untuk melakukan hal-hal yang jahat di mata hukum dan agama; di saat korupsi, kolusi, dan nepotis serta kebohongan dan kemunafikan terus terjadi yang menyebar ke setiap lapisan dan golongan masyarakat; kita terus berusaha tidak terseret arus. Namun kenyataannya, kita semakin terpuruk dan terus terpuruk. Mungkin hanya satu solusi, biarlah ajal menjemput asalkan saya tetap jujur dan terus tekun untuk tetap taat kepada norma Sang Pencipta serta perintah-Nya; karena tujuan hidup untuk memberi buah positip kepada orang lain terlebih kepada keluarga dan diri sendiri.
Mati untuk Kejujuran, pasrah untuk tetap santun di jalan yang benar.
Apakah anda mau?
... kalau saya ditanyakan...
Saya mau :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H