Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Dinamika dan Masa Depan Politik Lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta

24 Mei 2015   18:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:39 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa di Indonesia. Keistimewaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu pada aspek kepemimpinan di DIY yaitu karena di DIY sendiri tidak berlaku pilkada untuk menentukan gubernurnya namun gubernurnya telah ditetapkan. Siapapun yang menjadi raja secara otomatis berarti juga menjadi gubernur DIY. Faktor lain yang mengistimewakan Yogyakarta yaitu pada aspek historis dimana yogayakarta dulu pernah dijadikan Ibu Kota Negara, faktor budaya dan juga faktor tanah milik keraton yang banyak tersebar di Yogyakarta dan dimanfaatkan oleh masyarakatnya yang sering disebut dengan Sultan Ground.

Semangat yang terkandung dalam UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah adalah bahwa pelaksanaan pilkada langsung pada hakekatnya di laksanakan untuk memaksimalkan demokratisasi di tingkat lokal, disamping sebagai perwujudan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pilkada langsung merupakan mekanisme yang sangat tepat sebagai terobosan atas mendeknya pembangunan demokrasi di tingkat lokal.

Saat ini dinamika politik lokal di Yogyakarta masih dibatasi oleh kekuasaan feodal melalui penetapan gubernur dan wakil gubernur secara otomatis pada Hamengku buwono dan Paku Alam. Sehubungan dengan hal tersebut sikap politik masyarakat Yogyakarta terbagi menjadi dua kubu besar. Pertama, yaitu mereka yang menginginkan tuntutan demokrtisasi melalui mekanisme demokrasi yang prosedural dan kedua yaitu mereka yang beranggapan bahwa pelaksanaan demokrasi prosedural mengikuti aturan konstitusi dianggap belum tentu akan mencapai tujuan demokrasi secara substansial, mereka yang demikian berpendapat bahwa demokratisasi tidak hanya diwujudkan melalui proses demokrasi yang prosedural.

Dalam benak sebagian besar masyarakat Yogyakarta memang telah tertanam sepenuhnya bahwa posisi sultan adalah sebagai pengayom budaya dengan sekaligus sebagai gubernur DIY. Masyarakat Yogyakarta sendiri merasa khawatir jika dilaksanakan pilkada langsung nantinya akan mengganggu nilai-nilai kearifan lokal Yogyakarta, yaitu nilai-nilai musyawarah tradisional dan kedekatan rakyat dengan sultannya yang selama ini terjaga. Pelaksanaan demokrasi prosedural mengikuti aturan konstitusi dianggap belum tentu akan mencapai tujuan demokrasi secara substansial.

Jika dilihat dari dinamika politik lokal yang terjadi di Yogyakarta saat ini, dapat di prediksikan bahwa kehidupan politik lokal di DIY di masa depan akan stagnan dan tidak berkembang. Demokrasi prosedural menurut aturan konstitusi yang khususnya dalam hal ini yaitu pilkada langsung memang bukan satu-satunya jalan menuju demokratisasi. Namun salah satu parameter untuk mengetahui tingkat demokratisasi di tingkat lokal yaitu melalui pilkada langsung.

Posisi sultan sebagai raja Yogyakarta memang memiliki kharisma tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta, namun untuk posisi seorang gubernur Yogyakarta sendiri tidak hanya diperlukan sosok yang memiliki kharisma tersebut melainkan yang terpenting yaitu perlu juga sosok yang memiliki akuntanbilitas. kiranya masyarakat Yogyakarta juga berhak untuk memilih dan menetukan sosok gubernur yang terbaik untuk Yogyakarta dengan tanpa mengurangi rasa hormatnya pada sultan dan kharisma sultan sebagai raja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun