Bahasa merupakan salah satu ciri utama yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Sebagai makhluk sosial, manusia memanfaatkan bahasa untuk berkomunikasi dan mengekspresikan pikiran. Di era digital saat ini, dua generasi yang sangat memengaruhi perkembangan bahasa adalah Gen Z dan Gen Alpha. Kedua generasi ini tidak hanya hidup dalam lingkungan yang didominasi teknologi, tetapi juga menjadi inovator dalam menciptakan pola komunikasi baru yang sering kali berbeda dari aturan bahasa baku. Pola bahasa yang digunakan oleh Gen Z dan Gen Alpha ditandai oleh kreativitas, fleksibilitas, dan simbol visual seperti emoji yang semakin memperluas bentuk komunikasi di antara mereka. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah kreativitas bahasa yang mereka ciptakan ini menjadi ancaman bagi bahasa baku?
Gen Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga tahun 2012. Gen Z tumbuh di era digital yang dipenuhi oleh media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform berbasis video. Mereka sangat terbiasa dengan bahasa yang digunakan dalam platform digital seperti Instagram, Twitter, TikTok, dan Y ouTube yang cenderung mengedepankan kecepatan dan efisiensi. Dalam platform tersebut, karakter terbatas memaksa pengguna untuk menciptakan bentuk bahasa baru yang lebih singkat dan efisien. Hal ini memunculkan kecenderungan untuk menyederhanakan kata-kata, memperkenalkan singkatan, serta menggunakan simbol dan emoji dalam menyampaikan pesan. Misalnya, singkatan seperti "LOL" (laughing out loud), "OTW" (on the way), dan YTTA (yang tau tau aja) telah menjadi bagian dari kosakata sehari-hari mereka.
Selain singkatan, Gen Z juga memperkenalkan banyak kata baru yang berkembang dari tren dan pencampuran bahasa, di mana bahasa Indonesia dicampur dengan istilah dalam bahasa Inggris atau bahkan bahasa daerah. Misalnya, kata “ghosting” yang digunakan untuk menggambarkan tindakan ketika seseorang memutuskan hubungan dengan orang lain tanpa memberi penjelasan. Kreativitas dan fleksibilitas dalam bahasa Gen Z sering diartikan sebagai bentuk adaptasi terhadap perkembangan teknologi yang cepat. Namun, hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai bagaimana perubahan ini memengaruhi bahasa baku yang selama ini menjadi acuan dalam komunikasi resmi dan akademik. Penggunaan bahasa gaul, singkatan, dan bentuk komunikasi visual yang berkembang di kalangan. Gen Z dapat mengaburkan batas antara bahasa informal dan formal, serta menentang aturan-aturan baku.
Di sisi lain, Generasi Alpha yang lahir setelah tahun 2013 adalah generasi yang bahkan lebih terpapar pada dunia digital dibandingkan Gen Z. Sejak usia dini, mereka sudah akrab dengan perangkat pintar, media sosial, serta berbagai platform komunikasi visual seperti TikTok dan YouTube. Tentunya, Gen Alpha juga memiliki kosakata baru dan berbeda dengan generasi sebelumnya seperti, “gyatt”, “sigma”, “rizz” dan juga “skibidi”. Terdapat perbedaan mencolok antara Gen Alpha dan generasi sebelumnya, salah satunya adalah dominasi elemen visual dalam komunikasi mereka. Emoji, GIF, dan stiker menjadi bahasa yang mereka gunakan untuk mengekspresikan emosi, ide, dan reaksi. Kemampuan untuk memahami simbol ini menjadi penting dalam komunikasi antar generasi.
Selain itu, terdapat juga fenomena “typing cantik” atau penulisan dengan gaya yang unik dan kreatif di kalangan pengguna media sosial, terutama di kalangan Gen Z dan Gen Alpha. Meskipun typing cantik tampak menarik tapi penggunaan typing cantik sering kali merusak tatanan bahasa baku yang ada. Misalnya, penggunaan huruf kapital yang tidak konsisten, penggantian huruf dengan simbol, dan penambahan elemen dekoratif.
Perubahan dan fenomena ini memunculkan tantangan bagi penggunaan bahasa baku yang lebih formal. Dalam lingkungan pendidikan dan profesional, komunikasi yang jelas dan terstruktur tetap menjadi hal yang penting. Penggunaan ejaan, tanda baca, dan simbol visual tidak dapat menggantikan kejelasan dan presisi bahasa tertulis terutama ketika kita dihadapkan pada situasi yang membutuhkan analisis mendalam. Oleh karena itu, meskipun bahasa Gen Z dan Gen Alpha memberikan cara baru untuk berkomunikasi, tetapi perlu diingat jika penggunaan bahasa tersebut tidak bisa digunakan dalam lingkungan pendidikan dan profesional yang membutuhkan kejelasan komunikasi di dalamnya.
Bahasa baku masih memegang peranan penting dalam menyatukan dan mengatur komunikasi di masyarakat. Dengan aturan tata bahasa yang jelas dan konsisten, bahasa baku memungkinkan orang untuk berkomunikasi dengan efektif. Dalam hal ini, EYD dan KBBI berfungsi sebagai pedoman utama dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, tantangan besar yang dihadapi adalah menurunnya kesadaran generasi muda terhadap pentingnya bahasa baku. Gen Z dan Gen Alpha yang lebih terbiasa dengan gaya komunikasi singkat dan visual mungkin merasa bahwa bahasa baku terlalu kaku dan tidak sesuai dengan bahasa mereka. Akibatnya, ada kecenderungan untuk mengabaikan tata bahasa yang benar, penggunaan tanda baca yang tepat, serta struktur kalimat yang jelas. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengakibatkan penurunan kemampuan berbahasa yang baik dan benar di kalangan generasi mendatang.
Tidak hanya itu, kesenjangan komunikasi antar generasi menjadi semakin terlihat. Bagi generasi sebelumnya atau mereka yang tidak akrab dengan hal itu, bahasa yang dipakai oleh Gen Z dan Gen Alpha terkadang terdengar membingungkan karena mengandung istilah baru. Hal tersebut dapat menciptakan potensi terjadinya miskomunikasi antar generasi, terutama dalam lingkungan pendidikan dan profesional.
Meskipun tantangan yang dihadapi oleh bahasa baku cukup signifikan, hal ini tidak berarti bahwa bahasa tersebut akan hilang. Penting untuk kita ingat bahwa bahasa selalu berkembang dan beradaptasi dengan kondisi sosial serta teknologi yang ada. Y ang kita perlukan adalah upaya untuk menjaga keseimbangan antara inovasi bahasa yang diperkenalkan oleh Gen Z dan Gen Alpha dengan pelestarian bahasa baku.
Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan memperkuat pendidikan bahasa di sekolah. Kurikulum harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak hanya mengajarkan aturan tata bahasa dan kosakata baku, tetapi juga mengakui dan memanfaatkan kreativitas bahasa yang digunakan oleh generasi muda. Dengan demikian, siswa dapat memahami kapan dan di mana penggunaan bahasa informal dapat diterima, serta kapan mereka perlu menggunakan bahasa yang lebih formal dan sesuai kaidah.
Selain itu, media sosial dan platform digital juga dapat menjadi alat untuk mempromosikan penggunaan bahasa yang baik dan benar karena dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya bahasa baku. Di sisi lain, generasi yang lebih tua juga perlu lebih terbuka terhadap perubahan bahasa yang diperkenalkan oleh Gen Z dan Gen Alpha.