[caption caption="basreng"][/caption]
Beberapa hari setelah pembagian raport kenaikkan kelas, tepatnya dua hari jelang “munggahan” Ramadhan tahun ini, aku dan kakang di jemput ayah untuk sekedar bermain. Sudah takdir kami merasakan indahnya berorang tua tunggal. Aku dan kakang selama ini tinggal dan di asuh oleh ibu yang selalu hadir untuk kami, hatiku senang-senang saja ketika ayah menjemput di rumah nenek, meskipun itu bukan atas kemauanku entah perasaan kakang aku tidak tahu. Kakang lebih mengerti sifat dan karakter ayah yang seringkali lebih mempedulikan kegiatan sosialnya daripada anak-anaknya, hingga ia seringkali enggan jika harus bertemu dengannya.
Yamaha matic biru ber-sasis pendek kepunyaan ayah telah menunggu depan rumah nenek,
“Adik duduk di depan aja, kakang di belakang! “ seru ayah. Seakan mengerti jok motor nya terlalu sempit untuk kami bertiga.
Sepanjang perjalanan tak ada satu orangpun yang membuka obrolan, hingga tiba di salah satu ujung jalan dimana motor ayah siap memasuki jalan kecil menuju rumah abah dan umi.
“Bener kan kata kakang juga, pasti kesini!” seru kakang setibanya di rumah abah dan umi.
“ Emang gak ada tempat lain ya selain ini!” tambah kakang kesal namun ia tak berani berucap langsung pada ayah.
Selepas kami turun, ayahpun turut berpamitan untuk mengajar anak-anak di sekolah.
Aku dan kakang lantas menemui abah dan umi,
“mana ayahnya?” Tanya umi, yang kami temui di warung.