Mohon tunggu...
Lia Cisilia
Lia Cisilia Mohon Tunggu... -

seorang wanita yang sedang belajar menjadi ibu yang baik dan selalu ingin belajar tentang kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

satu kata ajaib, IKLAS!!

3 Desember 2011   23:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:52 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sepulang aku dari rawat inap di rumah sakit, aku masih belum tahu aku ini sakit apa kok sampai harus rawat inap di rumah sakit. Berbagai tes dan CT scan aku jalani selama aku opname. Tapi aku tahu betul, pasti ada yang salah pada diriku, pasti ada yang tidak beres pada kesehatanku dan pasti ada yang ditutupi oleh suamiku. Aku selalu tahu jika ada yang disembunyikan oleh suamiku.

Suatu sore,sepulang aku di rumah sakit, aku minta dengan sungguh sungguh pada suamiku untuk memberitahuku tentang penyakitku. Aku tahu, dia berat hati mengatakannya. Lalu, sambil menggenggam tanganku, dia bilang, "Honey... kamu terdiagnosa radang selaput otak. Tapi masih ringan." Mendadak aku sangat ketakutan, meski aku menyimpan rasa itu di balik senyumku yang kaku. Radang selaput otak, penyakit karena suatu virus yang mematikan. dan meskipun suamiku berkata "masih ringan" tapi rasanya sudah kronis buatku. Bagaimana jika radang itu tak lagi menjadi ringan dan bertambah parah? Bagaimana jika radang itu menggerogoti seluruh lapisan otakku? Bagaimana jika aku harus mati karena penyakit ini?? Otakku tak hanya terjadi radang tapi mendadak penuh dengan pertanyaan pertanyaan yang aku sendiri tak mampu menjawabnya. Dan aku bukanlah manusi berhati malaikat. Aku manusia biasa yang punya rasa takut, rasa panik dan rasa bimbang yang amat sangat.

Berjuta hal buruk muncul di otakku. Ketakutan, kecemasan dan perasaan campur aduk di dalam diriku. Hingga aku bertanya dalam hati, "Tuhan, apakah aku akan mati karena penyakit ini?"
Aku nyaris tak bisa tidur semalaman. Suamiku mengerti tentang kegelisahanku dan dia pun tak tahu bagaimana menghiburku lagi. Meski mungkin aku masih jauh dari sakratul maut, tapi jujur... diagnosa itu membuatku merasa telah memasuki sakratul maut. Saat aku dalam kesedirianku, aku bicara pada Tuhan. Aku bicara apa saja, bahkan mungkin buat Tuhan itu nggak penting. Sampai akhirnya aku berkata ," Tuhan, ini hidup yang kau berikan pada ragaku. Jika Engkau mengambilnya, ambillah Tuhan. Aku siap dan iklas. " Pada saat aku membuka mataku, ada satu hal yang menyusup dalam hatiku, aku harus iklas!!!

**********

Bukan hal mudah memang dalam kita bersikap iklas. Apalagi jika kita harus mengiklaskan sesuatu yang kita cintai, yang kita miliki, apalagi mengiklaskan hidup kita. Tapi itulah yang menjadi perenungan kita. Sampai kapan kita menjadi tidak iklas dan saat kapan kita menjadi iklas.

Buat saya, iklas itu butuh proses. Dan proses itu butuh waktu. Hanya saja waktu yang kita perlukan untuk iklas itu berbeda beda. Saat saya harus kehilangan sepeda motor saya, karena di curi orang, tentu keiklasan saya berbeda saat sahabat saya mengkhianati saya. Saya mungkin butuh waktu yang nggak lama untuk mengiklaskan motor saya. Ya sudah, dicuri orang, hilang, mau bagaimana lagi. Paling lapor polisi dan mengurus asuransi motor saya. Selesai.
Tapi saat sahabat saya, orang yang hampir tiap hari bertemu dengan saya, ngobrol dengan saya dan kami berbagi dalam banyak hal, tiba tiba menyakiti hati saya, menghancurkan keindahan persahabatan kami tanpa satu alasan yang tepat, tentu saja saya akan butuh waktu lama mengiklaskan persahabatan itu.

Saya belajar iklas salah satunya justru dari anak saya yang masih kelas 1 SD. Ketika temannya atau saudaranya merusakkan mainannya atau menghilangkan barangnya, dia selalu bilang, " Ya sudah, Ma... mau bagaimana lagi. Sudah rusak kok....." atau dia akan bilang, "Ya wis nggak apa apa. Nanti pasti Tuhan mengganti mainanku."
Meskipun jujur saja, kalau saya di posisi anak saya, tidak mudah buat saya untuk melakukan apa yang dilakukan anak saya itu. Dan ternyata memang benar, berulang kali saya menggerutu karena harus kecewa kehilangan sesuatu atau sedih karena suatu peristiwa yang buat saya menyakitkan, saya kadang teringat akan pola pikir anak saya yang masih 7 tahun itu. Anak sekecil itu tanpa sadar, sudah memunculkan sikap iklas dalam dirinya sendiri. Jika dia saja bisa bersikap begitu, mengapa saya sebagai ibunya tidak bisa????
Dan satu kalimat yang diucapkan Maria saat malaikat gabriel mengatakan dia hamil, " aku ini hamba Tuhan, terjadilah kepadaku, menurut kehendakMU," adalah satu kalimat kekuatan buat saya untuk melalui proses iklas tersebut.

Belajar iklas, menerima keadaan yang menyakitkan dengan tulus adalah proses pembelajaran hidup yang luar biasa hebatnya. Dan dalam proses pembelajaran yang membutuhkan pergulatan batin itu, kita akan mendapatkan satu hasil yang luar biasa hebatnya pula. Yang mampu mengubah mindset kita bahkan mampu membuat diri kita bangga.

Dan saat kita harus mengiklaskan satu satunya yang kita punya, yaitu hidup kita... Kita akan menjadi pribadi yang lebih bisa menghargai apa yang sebelumnya tak pernah kita hargai. Kita akan menjadi pribadi yang pasrah dan percaya, bahwa DIA yang memberi hidup, pasti akan memberikan "kehidupan" yang lebih indah lagi bagi kita.

Tuhan memberkati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun