Mei 2024, aku memutuskan untuk menjadi bagian dari perantau ibukota di Jakarta.Â
Bukan tanpa alasan yang kuat, memasuki 24 tahun aku merasa semakin stagnan hidup dengan model itu-itu aja dan sangat membosankan. Aku tertantang untuk bertaruh hidup di Ibukota untuk pertama kalinya. "tidak ada satupun anggota keluarga kita yanng merantau, dan kau perempuan malah memilih merantau membuang diri ke tanah yang kejam itu? apa kau waras?" kata mamaku.
Alih-alih pesimis dan mengurungkan niat, aku merasa tertantang. Dibenakku muncul pikiran "sekeras apasih Jakarta? masa perempuan tangguh yang sering dikasi julukan ayam betina dari timur ga bisa menghadapinya?". Dan seperti perdebatan-perdebatanku dan mamaku, pastilah berujung seperti ini "iya nak pergi saja merantau kalau mau, mama percaya kau mampu menghadapinya". Tebak, aku selalu memenangkan hati mamaku. Aku punya 1 senjata untuk bertaruh di Jakarta, doa ibuku.
Terlepas dari banyaknya larangan untuk bertaruh hidup di Jakarta, jika doa ibuku menyertaiku, aku tidak akan pernah takut untuk tidak makan dan hidup.Â
Aku berangkat awal Mei dengan pesawat Citilink seingatku. Harga tiket pesawat diambil dari tabungan upahku sebagai Abdi Negara 1 tahun di KPU sebagai Panitia Pemilihan Kecamatan. Â Perasaan yang muncul saat pertama kali membeli tiket pesawat kira-kira seperti ini "aku membeli tiket pesawat kelas ekonomi, besok aku akan bepergian dengan kelas bisnis tanpa memikirkan tabunganku yang terkikis". Yap, usia 24 tahun adalah usia yang sangat naif untuk seseorang mencari jati dirinya.
Aku tiba di Bandara dan diselimuti dengan perasaan takjub akan ibukota (meskipun ibukota telah pindah ke IKN mungkin, tapi Jakarta tetap menjadi ibukota dipikiranku". Kereta paralayang sangat menggugah semangatku untuk hidup, koper abu-abuku pun mungkin akan sangat merasa nyaman dengan lantai keretanya yang bersih.  Aku menuju ke Pusat kota Jakarta, Menteng Raya dengan mengendarai kereta api bandara  dan transit di Manggarai.Â
Ekspektasiku mulai memudar setiba di Stasiun Manggarai. "mungkin ini lautan manusia yang selalu aku lihat di TikTok dan story seniorku di PP IPM", "kok bisa orang sebanyak ini berlarian seperti film Train  To Busan", "bangunan ini bahkan lebih luas dari tempat transit kereta bandara", "apa aku sanggup dengan hari seperti ini? ini terlalu ramai untuk orang introvert sepertiku". Masih ada puluhan pertanyaan positif ataupun negatif dibenakku, mungkin bunyi pertanyaan paling dominan "apa aku bisa tetap waras jika harus melewati hari dengan Manggarai?"
Namun, hari-hariku  tetap berjalan seramai apapun Jakarta dan pikiranku. Setiap hari selalu terisi dengan pertanyaan "besok makan apa?" di sudut stasiun Manggarai. Kekuatann doa dan keyakinan adalah koentji.
Beberapa hari (mungkin hingga kini), aku masih menyukai ramai dan menepi diantaranya. Menikmati pemandangan berbagai jenis dan karakter manusia membuatku lebih bersyukur untuk hidup. Menikmati suara masinis yang mengumumkan lokasi stasiun yang tak seramai Manggarai. Ada hal baru setelah Mei terlewat, yakni romansa perjalanan Juni dari Stasiun Gondangdia ke Stasiun Bogor. Yap, aku sering mengunjungi Bogor karena salah satu kampus impianku ada disana. Bogor sangat panas tidak seperti apa yang aku bayangkan sebelumnya.
Aku juga mendapat teman ternyaman ketika sampai di Stasiun Bogor, sudut stasiun dengan Roti O diantaranya adalah tempat paling nyaman untuk merenung dan berjalan lebih lambat ditengah banyaknya manusia menngejar kereta arah Depok dan Jakarta Kota per 5-10 menit.