[caption caption="Logo Hari Nusantara. Gambar : cerana.net"][/caption]Hari ini, Minggu 13 Desember 2015, kita memperingati “Hari Nusantara” yang ke 15. Acara puncak peringatan Hari Nusantara secara Nasional dipusatkan di kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kenyataan yang ada di kalangan masyarakat kita, masih banyak yang belum mengetahi atau memahami tentang apa itu Hari Nusantara, dan bagaimana sejarah yang melatar-belakanginya.
Peringatan Hari Nusantara adalah untuk memperingati dicetuskannya “Deklarasi Djoeanda” oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu, Djoeanda Kartawidjaja pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia yang terdiri dari laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Konsep deklarasi ini mendasari perjuangan bangsa Indonesia untuk menjadi rejim negara kepulauan (Archipelagic State).
Bertolak dari Deklarasi Djoeanda tersebut, maka pada tahun 1999 tepat pada tanggal 13 Desember dicanangkan sebagai "Hari Nusantara”. Dua tahun kemudian, pada tanggal 11 Desember 2001, Presiden RI saat itu Megawati Soekarnoputri, melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 126 Tahun 2001, menetapkan bahwa tanggal 13 Desember dinyatakan sebagai ”Hari Nusantara”.
Peringatan Hari Nusantara tahun ini bertema “Kekayaan Energi dan Sumber Daya Mineral untuk Pembangunan Indonesia sebagai Poros Maritim, Guna Mewujudkan Kejayaan dan Kemakmuran Bangsa’. Hal itu sehubungan dengan ditetapkannya Kementerian ESDM sebagai Panitia Pelaksana dengan Menteri ESDM, Sudirman Said sebagai Ketua Panitia. Tema ini untuk menunjukkan, bahwa kekayaan energi dan sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia sebagai salah satu sumber ekonomi bangsa yang berasal dari laut, diharapkan mampu mendorong pencapaian cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia.
[caption caption="Pengeboran minyak dan gas lepas pantai, sebagai salah satu bentuk pemanfaatan sumber daya laut. Foto : harnas.com"]
Deklarasi Djoeanda
Pada abad ke-20, melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939 No. 422) yang disingkat dengan Ordonantie 1939, wilayah laut dari suatu pulau di Nusantara memiliki ketetapan hukum yang diakui secara internasional. Ordonantie 1939 menetapkan jarak laut teritorial tiap-tiap pulau sejauh tiga mil. Peraturan ini memunculkan “kantong-kantong” laut bebas di tengah-tengah wilayah negara yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas.
Keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik Indonesia jelas sangatlah janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu bangsa, sehingga tidak mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya. Oleh sebab itu, mulai muncul gagasan untuk merombak sistem hukum laut Indonesia.
Pemikiran untuk mengubah Ordinantie 1939 dimulai pada tahun 1956. Pada 17 Oktober 1956, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memutuskan membentuk suatu panitia interdepartemental yang ditugasi untuk merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956. Panitia itu di bawah pimpinan Kolonel Laut R.M.S. Pirngadi. Setelah bekerja selama 14 bulan, “Panitia Pirngadi’ berhasil menyelesaikan konsep RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Pada prinsipnya, RUU ini masih mengikuti konsep Ordonansi 1939, perbedaannya adalah bahwa laut teritorial Indonesia ditetapkan dari tiga mil menjadi 12 mil.
Sebelum RUU disetujui, Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar dan digantikan oleh Kabinet Djoeanda. Sejalan dengan ketegangan yang terjadi antara Belanda dan RI, pemerintahan Djoeanda lebih banyak mencurahkan perhatian untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi RI dalam melawan Belanda, yang lebih unggul dalam pengalaman perang dan persenjataan. Untuk itu, sejak 1 Agustus 1957 Djoeanda mengangkat Mr. Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah RI. Hasilnya, ia mengusulkan “asas archipelago” yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada 1951, sehingga kemudian disusun konsep “asas negara kepulauan”.
Dengan menggunakan asas archipelago sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau “archipelagic state”. Dalam sidang 13 Desember 1957, Dewan Menteri akhirnya memutuskan penggunaan “Archipelagic State Principle” dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya “Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia”. Dalam pengumuman itu, pemerintah menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.