Mohon tunggu...
Trisno Utomo
Trisno Utomo Mohon Tunggu... Pensiun PNS -

Insan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bonus Demografi, Sulit untuk Kita Manfaatkan Secara Optimal

17 Agustus 2016   11:22 Diperbarui: 17 Agustus 2016   11:39 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: bahaskependudukanindonesia.blogspot.com

Momen kependudukan yang disebut dengan nama bonus demografi saat ini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, karena negara dan bangsa kita kini sedang mengalami kondisi tersebut.

Sejak tahun 2012, Indonesia telah menikmati bonus demografi, yaitu kondisi saat rasio jumlah penduduk usia produktif yang menanggung penduduk usia tidak produktif berada di bawah angka 50 (Sumber_1). Dapat juga dikatakan sebagai meningkatnya proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun), yang diikuti dengan penurunan proporsi penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas), sehingga menyebabkan penurunan rasio ketergantungan (Sumber_2).

Titik terendah rasio ketergantungan ini diperkirakan akan terjadi pada tahun 2020-2030. Pada titik ketergantungan terendah itulah yang merupakan periode emas, dan sering disebut sebagai the window of opportunity. Setelah periode itu terlewati, rasio ketergantungan akan kembali naik. Diperkirakan bonus demografi akan berakhir pada tahun 2045. Dan bonus ini hanya terjadi satu kali pada suatu bangsa.

Selama periode bonus demografi, setiap negara memiliki peluang pembangunan yang lebih baik dengan meningkatnya angkatan kerja usia produktif. Terjadi peningkatan penawaran tenaga kerja yang disertai dengan naiknya tabungan masyarakat. Kedua hal ini menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.

Presiden Joko Widodo juga sudah memperingatkan, bahwa bonus demografi ibarat pedang bemata dua. Satu sisi adalah berkah, jika kita berhasil mengambil manfaatnya. Dan satu sisi lainnya adalah bencana, apabila kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bonus ini dapat diperoleh bukanlah tanpa prasyarat. Pemenuhan prasyarat dan adanya kondisi-kondisi tertentu, akan menyebabkan kita sulit untuk memanfaatkan bonus demografi tersebut secara optimal, antara lain :

1. Terlambatnya persiapan

Bangsa kita selalu mengalami keterlambatan dalam mempersiapkan diri menghadapi momen-momen penting, termasuk dalam pemanfaatan bonus demografi yang sudah berlangsung saat ini. Apabila kita ambil umur produktif penduduk adalah 15 tahun, dan bonus demografi dimulai pada tahun 2012, maka seharusnya persiapan sudah dimulai minimal sejak tahun 1997 (15 tahun yang lalu). Dan apabila dihitung dari saat mulai rendahnya rasio ketergantungan (2020), maka persiapan harus sudah dimulai sejak tahun 2005.

Keterlambatan itu terutama dalam hal membangun kapasitas manusia Indonesia sebagai pusat pembangunan sekaligus sebagai pelaku pembangunan. Antara lain dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pertumbuhan penduduk. Karena pembangunan dalam bidang ini hasilnya tidak dapat terwujud dalam waktu sekejap.

Separuh tenaga kerja kita saat ini hanya tamatan sekolah menengah pertama. Rata-rata lamanya bersekolah penduduk usia dewasa (25 tahun ke atas) berdasarkan Susenas 2014, baru mencapai 7,9 tahun atau setara dengan kelas II SMP. Akibatnya, sekitar 64 persen angkatan kerja hanya berpendidikan SMP ke bawah. Hanya sekitar 6,78 persen berpendidikan sarjana atau lebih tinggi (Sumber_1).

Anak Indonesia yang berusia di bawah lima tahun yang badannya pendek masih sekitar 35,6 persen, ini merupakan indikasi rendahnya tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Sumber_3). Parahnya lagi, jumlah perokok anak-anak meningkat. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, perokok usia 10-14 tahun meningkat 2 kali lipat dalam 10 tahun, yakni 1,935 juta pada 2001 menjadi 3,967 juta pada 2010. Bahkan menurut Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2009, lebih dari 30 persen anak Indonesia merokok sebelum usia 10 tahun. Sementara itu, 59,1 persen balita menjadi perokok pasif karena terpapar asap rokok di rumahnya sendiri maupun tempat-tempat umum. Anak-anak Indonesia yang saat ini merokok dan terpapar asap rokok, pada 2020-2030 akan menjadi penduduk yang sakit-sakitan dan menjadi beban ekonomi, sehingga berpotensi mengancam bonus demografi (Sumber_4).

Program Keluarga Berencana dalam beberapa tahun terakhir dapat dikatakan gagal mencapai targetnya. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Indonesia termasuk tinggi, yaitu 1,49 persen, lebih tinggi dari LPP Asia yang 1,08 persen (Sumber_1). Oleh karena itu, target penurunan LPP sebesar 1,38 persen (2010-2015), 1,19 persen (2015-2020), dan akhirnya 1 persen (2020-2025), dikhawatirkan juga tidak dapat dicapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun