Tidak dapat dipungkiri bahwa aneka ragam hasil pertambangan sangatlah dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia dimasa kini. Namun perlu disadari bahwa usaha pertambangan, sebagai motor penggerak pembangunan dalam sektor ekonomi, mempunyai dua sisi yang sangat dilematis. Disatu sisi sebagai penopang sektor ekonomi, disisi lainnya merupakan salah kegiatan yang banyak menimbulkan dampak berupa kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan hidup akibat usaha penambangan sudah banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Terlihat bahwa upaya perlindungan lingkungan hidup yang dilakukan oleh para pengusaha tambang tidaklah memadai. Oleh karena itu, kini banyak sekali terjadi penolakan oleh masyarakat terhadap rencana kegiatan pertambangan yang akan dibuka.
Itulah yang harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh sebelum membuka suatu usaha pertambangan. Sebelum usaha tambang dioperasionalkan tentunya sudah dilakukan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan. Untuk selanjutnya bila dinilai layak dilanjutkan ke tahap konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang (Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara).
Biasanya, studi kelayakan disusun dengan bagus dan tentunya sudah mempertimbangkan bagaimana pengelolaan lingkungan hidup di wilayah yang ditambang dan sekitarnya.
Pengelolaan lingkungan hidup harus bermuara pada terjaminnya kelestarian lingkungan. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.
Penanganan lingkungan hidup tersebut tidak hanya pada tahap eksploitasi saja, sampai ketika bahan tambang sudah habis ditambang. Kegiatan reklamasi atau rehabilitasi harus dilakukan.
Kegiatan reklamasi tidak harus menunggu sampai seluruh kegiatan penambangan berakhir, terutama pada lahan penambangan yang luas. Reklamasi sebaiknya dilakukan secepat mungkin pada lahan bekas penambangan yang telah selesai dieksploitasi, walaupun kegiatan penambangan tersebut secara keseluruhan belum selesai karena masih terdapat deposit bahan tambang yang belum ditambang. Hal ini untuk memperbaiki lahan bekas tambang agar kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali (Sumber).
Akhirnya apa akibatnya? Tentu saja kerusakan lingkungan yang parah pasti akan terjadi. Apalagi jika pengawasan dari pemerintah tidak efektif, atau petugas pengawasnya dapat dibeli.
Bahkan permasalahan yang timbul tidak hanya masalah lingkungan hidup, masalah sosial kehidupan masyarakat setempat juga terdampak, seperti terkorbannya pemilik lahan dan terjadinya ketimpangan sosial.
Oleh karena itu, tulisan sederhana ini hanya ingin mengetuk hati para investor pertambangan, agar tidak hanya menguras bahan tambang untuk keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan sosial kehidupan masyarakat perlu ditangani untuk diminimalkan, demi terjaganya keberlangsungan kehidupan kita.
Salam lestari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H