Hidup adalah pilihan.
Seperti pohon yang penuh dengan cabang, di tiap cabang kita akan menemukan ranting dan daun-daun yang berbeda. Seandainya kita memilih cabang dan ranting yang berbeda, maka daun yang akan ditemui juga tentu berbeda.
Manusia mempunyai pilihan-pilihan. Mereka berhak menentukan pilihan, dan kisah hidupnya berada di tangannya masing-masing. Sampai sekarang, saya masih kurang setuju bila segala sesuatu mengandalkan nasib dan kuasa Tuhan. Memang ada beberapa hal seperti hidup dan mati yang menjadi kuasa Tuhan. Tapi saya percaya, kisah hidup manusia tetap diserahkan ke pribadi masing-masing manusianya.
Walaupun hak pribadi, tapi alangkah baiknya kalau menggunakan hak itu dengan bertanggung jawab. Dengan penuh kesadaran menjalankan kisah hidupnya, karena kadang ada manusia yang setengah sadar dan setengah tidak sadar menjalankan kisah hidupnya. Barangkali mungkin, diriku salah satu dari kelompok itu.
Hidup memang pilihan, bahkan ketika seseorang memilih untuk cara hidup yang paling tidak menurut kita menderita dan menyiksa diri sendiri. Tapi, tak ada yang bisa dilakukan karena lagi-lagi kembali ke pilihan masing-masing. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk meninggalkan pilihannya dan memilih cara hidup yang lain. Yang ada adalah memberi saran dan mencoba mengungkapkan apa yang kita pikirkan. Karena belum tentu standard dari kacamata kita sama dengan standard kacamata orang lain. Begitu juga dengan pilihan orang lain untuk tidak menerima cara dan sikap kita, karena dia juga mempunyai pilihan dan alasan-alasan tertentu.
Sebelumnya, ada seseorang yang memberi arahan dan memperkenalkan kalimat “Jinni wal Insi”, dimana pikir selalu di depan rasa. Manusia mempunyai dua hal yang membedakannya dengan makhluk lain, pikir dan rasa. Paling tidak dengan adanya pikir dan rasa, manusia dapat memilih apa yang harus dan akan dia lakukan. Bukankah dengan mengecap kesenangan adalah salah satu cara bersyukur atas hidup yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Tentu saja tanpa melanggar hak orang lain.
Yah…tulisan ini hanyalah catatan berantakan dari seseorang yang masih perlu belajar lebih jauh lagi di universitas kehidupan dengan berbagai macam isinya.
Dengan tulisan ini aku ingin meminta maaf atas pilihan seseorang dan pilihanku. Dan yakinlah tetap ada rasa sayang untukmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H