Mohon tunggu...
Fitri '
Fitri ' Mohon Tunggu... -

penikmat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Ujung Sana

10 November 2010   09:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:43 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana unit gawat darurat hari ini benar-benar kacau. Semua pasien seolah-olah sakit di hari yang sama. Peluh bercucuran di dahi, bahkan makan siangpun belum tersentuh. Arloji menunjukkan pukul empat sore, harusnya sebentar lagi ada dokter lain yang akan menggantikannya. Hari sabtu yang melelahkan tapi selalu bisa menikmatinya. Sembari bersandar coba melepaskan lelah, diambilnya hape dan dilihatnya ada dua pesan masuk. Satu pesan dari Sari mengingatkannya untuk acara nanti malam. Tak terasa sudah satu tahun dia bersama gadis itu dan semakin hari semakin bertambah rasa sayangnya. Tangannya memencet tombol menuju pesan selanjutnya. Aku ada di Papuma sampai sore ini Dilihatnya waktu pengirimannya, jam satu siang tadi, sudah hampir 3 jam yang lalu. Segera melompat ia dari kursi, dilepasnya jas putih dan mengambil kunci motornya. Benaknya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan dan berkelebat bayangan-bayangan. Yang ia tahu sekarang, ia ingin memacu motornya secepat mungkin dan menemui si pengirim pesan. [caption id="attachment_72309" align="aligncenter" width="500" caption="karang Papuma (foto oleh : akeko)"][/caption]

---------------------

“Sendirian?” tanyanya pada seorang gadis yang sedang selonjor menikmati matahari sore diantara pasir putih dan bebatuan karang. Hanya senyuman yang tersungging sebagai jawaban. “Kau tau kalau kamu itu perempuan? Selalu saja sendiri. Bagaimana kalau ada orang iseng, bagaimana kalau terjadi apa-apa sama kamu?” Tiba-tiba gelombang kemarahan menyergapnya. Gadis itu hanya tersenyum disertai cengiran. “I’m fine. Bukankah justru disitu seninya? Dengan sendirian aku lebih bisa menikmati alam, menyerapnya dan menyimpannya di hati dan di kepalaku.” Ucapnya sambil menunjuk dada dan kepalanya. “Ini sambutanmu untukku?” Hanya helaan nafas berat yang bisa dilakukannya. Percuma berdebat dengan gadis ini, dan dia sudah cukup mendapat pelajaran dari debat-debat sebelumnya, yang belum pernah dimenangkannya. “Mengapa Papuma? Apa di Jakarta sudah tidak ada pantai lagi?” Tanyanya sambil menyelonjorkan kaki ikut menikmati keindahan gradasi langit. Walaupun tempat kerjanya sekarang dekat dengan pantai ini, belum pernah sekalipun ia mengunjunginya baik sendiri maupun bersama Sari. “Aku hanya ingin pergi keluar Jakarta, sudah jenuh dengan rutinitasnya. Alasan lainnya, aku kira mungkin kau sudah tahu?” Ucapnya sambil menatap lurus horison yang mulai memerah. “Tidak. Aku tak tau alasan lainmu ke sini. Apa alasanmu ke sini? Kau tahu, Papuma berjarak lebih dari 700 Km dari Jakarta. Jarak yang sangat jauh kalau alasanmu hanya karena jenuh dengan Jakarta.” Tanyanya, berharap akan ada jawaban yang keluar dari mulut gadis itu. Jawaban yang sudah entah berapa lama ditunggunya, dan sampai sekarang masih ingin diketahuinya. Jeda cukup lama, tak ada jawaban dan juga tak ada pertanyaan-pertanyaan lainnya. Hanya ada keheningan dan dua orang anak muda yang coba menikmati kebersamaan dalam diam. “Kita sahabat kan?” Pertanyaan yang sebenarnya tak memerlukan jawaban. Tapi entah mengapa, kali ini harus ada jawaban untuk pertanyaan sederhana itu. “Ya, kita bersahabat dan akan terus menjadi sahabat.” Satu kalimat yang begitu berat diucapkan, tapi sekaligus memberi kekuatan baru. Tiba-tiba terdengar gelak tawa, dan yang disambut oleh gelak tawa lainnya. Matahari sudah hampir tenggelam menyisakan gradasi merah di atas langit. Dua anak muda yang coba merekonstruksi lagi arti kebersamaan mereka. [caption id="attachment_72311" align="aligncenter" width="400" caption="senja Papuma (foto oleh : Hilman Fajar)"]

1289381071986804092
1289381071986804092
[/caption]

-- finish – selesai – the end --

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun