Pagi yang sibuk di kota yang baru aku singgahi. Sudah sepuluh menit lebih aku berjalan ke sana ke mari mencari ruang perkuliahanku hari ini. Oh Tuhan, betapa luasnya kampus baruku. Betapa menyebalkannya tatapan mahasiswa senior yang seringkali melirikku yang sudah jelas betul terpampang raut kebingungan ini. Untungnya aku berangkat jauh lebih awal dari jam perkuliahan dimulai. Jadi sudah barang tentu aku sangat percaya diri bahwa aku tidak akan terlambat meski sepuluh menit telah berlalu. Pepatah mengatakan, malu bertanya sesat di jalan. Banyak benarnya juga, akhirnya aku menemukan kelas yang aku cari setelah bertanya pada mba-mba yang kelihatannya bukan mahasiswa baru lagi.
“Ka, ma’af kalau boleh tanya gedung E delapan di bagian mana ya?” Tanyaku.
“Mahasiswa baru ya?” Pertanyaan yang hendak aku jawab, lalu dia potong, “Dari sini kamu lurus aja, nanti ada dua tangga di depan sana, kamu pilih tangga yang sebelah kanan. Kalau sudah sampai di atas, belok kiri, lurus terus. Nah! Ada tangga lagi pastinya dong! Kamu naik tuh, sudah sampai itu gedung E, sisanya kamu cari sendiri angka delapan di papan atas pintu. Begitu ya mahasiswa baru?” Cletukan penghujung yang menawan. “Baik, Ka. Terima kasih banyak atas bantuannya, salam kenal. Nadila” Aku tersenyum semanis mungkin sambil mengulurkan tanganku dan disambut baik mahasiswa senior itu.
Syukurlah kelas belum dimulai. Aku duduk di paling depan karena hanya aku satu-satunya makhluk di ruangan ini. “Jangan-jangan aku salah masuk nih!” batinku menggoda. Tak berselang lama akhirnya suara langkah seseorang mulai terdengar jelas, lama-lama semakin ramai dan masuk satu persatu ke dalam kelas. Aku tak berani menatap siapapun, perasaan yang amat canggung. Tapi nanti lihat saja, aku bisa berubah menjadi orang paling sok kenal yang pernah ada. Untuk kali ini, aku lebih memilih menunduk sambil basa-basi memainkan pulpen saat “teman-teman” baruku mulai memilih tempat duduk. “Krek, pulpenku terjatuh. Menggelinding. Aku menoleh.
“Pulpenmu?” Seorang lelaki di hadapanku, menyerahkan sebuah pulpen yang baru saja terjatuh itu. “Iya” Mulutku tiba-tiba terbuka. Lelaki itu kembali ke tempat duduknya. Tepat di belakangku.
…
Perkuliahan hari ini cukup lancar. Pertama tentu dimulai dengan perkenalan yang memakan waktu. Kemudian dilanjutkan sesi kontrak belajar dari masing-masing pengajar. Aku lega akhirnya ada teman baru. Karena selama aku singgah di kota ini, di kamar kos sendiri, ketika OSPEK aku juga lebih memilih menyendiri. Aku bukan tipe orang yang suka mengajak berkenalan. Tapi aku akan sangat antusias ketika orang lain mengajakku berkenalan lebih dulu. Aku akan berubah menjadi cerewet pada waktu-waktu tertentu.
“Dil, ke kantin yuk” Laila, seorang teman baruku merangkul dari belakang. “Boleh, kebetulan aku juga belum beli sayur buat nanti malam”. “Kamu, ngekos di mana Dil?” Sambil mengingat-mengingat nama jalan, “Sorry, aku lupa nama jalannya La”. “Lha piye to?” Laila menyeletuk.
Sesampainya di kantin, aku asyik melihat sekeliling. Menghirup aroma aneka makanan yang bercampur jadi satu. Aroma teh dan kopi yang masih menyala seru. Hiruk piruk mahasiswa-mahasiswa baru sepertiku. Mahasiswa-mahasiswa senior yang dengan gaya santainya makan sambil melirik wajah-wajah baru, dan pandanganku berhenti saat melihat lelaki yang aku temui pagi tadi. Lelaki yang mengembalikan pulpen baruku. Dan pada saatnya nanti, pulpen ini akan menjadi saksi pertemuanku dengan lelaki pendiam itu. Lelaki yang namanya kusebutkan dalam do’aku di tanah suci. Lelaki yang membawaku pada cerita “indah” ini.
“Kamu lagi lihatin siapa Dil?” Laila mengagetkanku. “Bukan siapa-siapa, kita pesan di meja sana aja ya! Ajakku, menyeret tangan Laila.