“Maaah… Maaah… aku mau beli buku….!”
“Iya, iya, pilih saja sana.”
Hari Minggu, 4 Oktober 2015, saya mengajak anak-anak ke Cibinong City Mall. Ternyata di sana sedang ada Gramedia Fair. Banyak buku murah. Sebagai pecinta buku, melihat buku-buku itu seperti melihat gunungan berlian. Anak-anak saya pun antusias melihat buku-buku, karena sejak kecil mereka sudah saya kenalkan dengan buku. Maklum, ibunya seorang penulis buku. Saat mereka sedang pilih-pilih buku, dalam hati saya berkata, “Tenang… bayarnya nanti pakai KCC (Kompasiana Community Card)….”
Yap, beberapa waktu sebelumnya, saya mendapatkan hadiah KCC senilai Rp 500.000 dipotong dengan biaya kartunya Rp 30.000 dari lomba blog Kompasiana. KCC itu fungsinya sama seperti Flazz BCA, bisa dibelanjakan di merchant-merchant yang menerima pembayaran Flazz BCA, toko buku Gramedia, salah satunya. Bisa juga untuk belanja sembako di minimarket-minimarket tertentu. Saya juga mendapatkan tambahan diskon 10% untuk pembelian buku-buku terbitan Gramedia Pustaka Utama.
[caption caption="Kompasiana Community Card/foto dok. pribadi"][/caption]
Beberapa waktu sebelumnya juga, saya menerima hadiah smartphone terbaru dari lomba blog Kompasiana yang lain. Kebetulan sekali, karena handphone lama saya sudah rusak. Ketika handphone itu menunjukkan tanda-tanda rusak, saya sempat bergumam, “Bagaimana ya kalau rusak beneran? Apa saya bisa menang lomba blog berhadiah handphone?” Alhamdulillah, saya bisa mendapatkannya dari Kompasiana.
Beberapa bulan sebelumnya, saya juga mendapatkan hadiah voucher MAP dari lomba blog Kompasiana senilai Rp 3.000.000. Nilai yang sangat besar bagi saya. Untungnya, saya tinggal di wilayah Jabodetabek dan banyak toko yang menerima pembayaran dengan voucher MAP. Saya bisa menraktir anak-anak makan di restoran, membelikan sepatu untuk sekolah anak-anak, membeli kebutuhan rumah tangga, dan lain-lain.
Jika saya tidak menulis di Kompasiana dan mengikuti lomba blognya, barangkali saya harus pasrah menerima keadaan saya sebagai ibu rumah tangga yang tanpa penghasilan. Saya teringat tahun pertama menikah dan memutuskan untuk berhenti kerja kantoran agar bisa lebih fokus mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anak. Saya masih menulis buku, tapi kondisi perbukuan sedang lesu. Royalti tidak begitu bisa diandalkan. Sampai kemudian saya berhenti menulis sama sekali karena disibukkan dengan mengurus anak-anak. Beberapa hari menjelang tanggal tua, uang belanja tinggal Rp 5.000. Saya bilang ke suami, dan suami pun mencari utangan ke mana-mana. Kami sedang membangun rumah tangga, membangun rumah, mencicil kendaraan, jadi uang gaji langsung ludes begitu diterima. Suami tak punya dana cadangan sehingga harus berutang kepada orang tuanya, kepada adik-adiknya, kepada teman-temannya. Duh, rasanya bagaimana ya? Saya membatin, “Bulan depan, nyari utangan ke mana lagi ya? Coba saya bisa bantu suami cari uang, kan nggak begini.”
[caption caption="Bisa beli sepatu pakai Voucher MAP dari Kompasiana/ dok. pri"]
Saya juga pernah “terpaksa” berutang ke warung untuk beli gas. Saya amat jarang berutang, kalau tidak terpaksa sekali lho. Begitu malunya saya saat harus berutang ke warung gara-gara tidak ada uang sama sekali. Untungnya saya belum pernah berutang (selalu membayar lunas), jadi pemilik warung percaya. Saat itu, sehari sebelum suami menerima gaji dan saya sudah tidak punya uang sama sekali tapi gasnya habis. Mau tidak masak, kasihan anak-anak nanti tidak makan.
Saya juga harus puasa membeli buku. Rasanya seperti tidak makan dan minum, sungguh menyiksa. Saya seorang pecandu buku. Sejak remaja, saya rutin membeli buku sebulan sekali. Lah, ini setelah menikah malah tidak bisa beli buku. Jangankan beli buku, untuk makan sehari-hari saja harus berhemat. Penghasilan suami difokuskan untuk membangun masa depan. Saya harus tahu diri juga. Hari-hari saya menjadi sangat membosankan. Otak saya pun mampat karena tidak ada nutrisi yang masuk ke kepala. Buku adalah nutrisi otak. Saya tidak bisa hidup tanpa membaca buku. Tak heran saat itu saya merasa hidup saya sangat suram.