Edhy Prabowo Tertangkap KPK
Media memberitakan tentang tertangkapnya Edhy Prabowo oleh KPK. Kompas.com menuliskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Juga dilaporkan bahwa terdapat tujuh (7) orang yang diberitakan jadi tersangka dalam kasus tersebut. Penangkapan itu terjadi di bandara, setibanya Edhy Prabowo dari kunjungan kerja ke Hawaii.
Bersamaan dengan hal tersebut, diberitakan bahwa mandate untuk melakukan tugas sebagai Menteri KKP adalah diberikan kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, melalui penunjukkan oleh Mensesneg Pratikno untuk menggantikan Edhi Prabowo. Tautan youtube dari penangkapan Edhy Prabowo dan penunjukkan Luhut Binsar Pandjaitan selaku Dalam rangka efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi KKP, maka Menteri Sekretaris Negara (tentunya atas restu Presiden RI) menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Ad Interim, demikian Kompas.com menulitskan petikan surat edaran tersebut.
Tidak Adil Membandingkan Edhy Prabowo dengan Susi PudjiastutiÂ
Belum lama ini saya menuliskan tentang bu Susi Pudjiastuti, tentang prestasi kerja luar biasa yang diacungi jempol para pemimpin dunia dan juga aktivis lingkungan dari berbagai belahan dunia. Susi Pudjiastuti memang perempuan yang luar biasa. Saya pengagumnya, luar dan dalam. Susi Pudjiastutipun menjadi 'champion' pada upaya mengembalikan kejayaan maritime serta keberlanjutan ekosistem Indonesia, khususnya di bidang maritim dan kelautan. Tulisan itu ada pada tautan ini.
Pagi tadipun saya memposting suatu harapan pada kembalinya seorang Susi Pudjiastuti di FB. Cukup banyak kawan yang berharap sama. Tentu saja. Namun, sebagai bagian dari refleksi diri, sayapun merasa tidaklah bijaksana saya membandingkan Edhy Prabowo dengan Susi Pudjiastuti. Sudahlah, tidak perlu kita diskusikan terlalu dalam. Â Namun, pendek saja saya akan menulis.
Susi lahir sebagai menteri ketika sistem ekonomi dan politik mendukungnya. Saat itu Presiden Jokowi berada di garda depan dalam penunjukkan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kemaritiman, Kelautan dan Perikanan. Kebijakan Susipun didukung Presiden Jokowi. Bahwa selanjutnya Susi tidak lagi melanjutkan tugas sebagai menteri, saya kira itu sepenuhnya ada pada kebijakan Presiden Jokowi. Analisis dan dugaan bahwa sistem dan angin politik telah berubah pada masa Kepresidenan Jokowi diangkat berdasarkan pada lahirnya kebijakan-kebijakan yang lahir kemudian, yang dinilai tidak pro pada upaya mempertahankan keyayaan maritim dan kelestarian ekosistem lautnya.
Kalau kemudian kita membandingkan dengan Edhy, rasanya kita salah posisi. Beberapa saat yang lalu, misalnya Edhy membincang soal tarik-tarikan antara 'prosperity', dalam kemakmuran dan arti pertumbuhan ekonomi, dengan 'sustainability' atau keberlanjutan dan kelestarian, dan melihat saat ini isu kemakmuran dan pertumbuhan perlu didahulukan dibandingkan dengan kelestarian. Dari sini saja saya melihat adalah salah bila terus membandingkan bu Susi dengan pak Edhy. Ini kita bicara soal visi dan kapasitas pemimpin yang berbeda. Selain mereka pada tingkat yang berbeda, mereka lahir pada situasi politik yang berbeda. Jadi, untuk urusan perbandingan, saya harus cukupkan sampai di sini.
Mencukupkan diskusi yang membandingkan Susi dengan Edhy bukan berarti menutup diskusi soal sistem politik ekonomi dan persoalan korupsi di Indonesia.
Citra dan Kinerja KPK Pasca revisi UU KPK, Sistem Politik Negeri, dan Isu Puncak Gunung Es Korupsi di IndonesiaÂ
Penangkapan Edhy Prabowo mungkin saja pantas menjadi perhatian kita. Banyak laporan dan juga tulisan di media yang menyebutkan bahwa kasus korupsi yang sistemik di negeri ini memang terus ada, selain juga terdapat perdapatan tentang kasus korupsi yang sifatnya individual dan yang dianggap sebagai budaya. Mungkin saja kasus Edhy Prabowo nampak tidak biasa karena kasus ini muncul setelah masa tidur nyenyak KPK pasca revisi UU KPK. Ditambah citra KPK yang merosot karena kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Ketua KPK ketika diketahui menggunakan transportasi udara yang sewanya cukup mahal untuk perjalanannya, sementara perjalanan itu bisa dilakukan dengan opsi lainnya.