Hari Lingkungan Dunia dan Satu Bumi KitaÂ
Hari ini, 5 Juni 2020 adalah Hari Lingkungan Dunia. Sejarah dari Hari Lingkungan Dunia atau sering disebut sebagai World Environment Day dan juga People Day ini adalah hari untuk menggerakan masyarakat dan pemerintah serta dunia bisnis untuk merawat bumi dan lingkungannya.Â
Ini adalah hari peringatan yang diluncurkan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) pada 1974 dan dianggap sebagai salah satu hari internasional yang sangat penting.
Diawali dengan suatu konferensi dunia tentang lingkungan hidup pada 5 sampai 16 Juni 1972 di PBB. Dan sejak 1974, setelah disahkannya tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Dunia, berbagai kampanye yang dilakukan oleh the United Nations General Assembly and United Nations Environment Programme (UNEP) mendengungkan tentang bumi yang satu, bumi kita.
Pada tahun 2019 peringatan Hari Lingkungan Dunia dilakukan di Cina dengan tema polusi. Sementara tahun ini peringatan dipusatkan di Colombia dengan tema Keragaman Hayati.Â
Keragaman hayati mendukung bukan hanya tanah dan air, termasuk makhluk yang hidup di bawahnya. Keragaman hayati menyediakan udara segar, air, makanan, dan sumber pengobatan.Â
Sementara itu, perilaku dan tindakan manusia seperti deforestasi dan perusakan serta pelanggaran pada kehidupan binatang liar, pembangunan sektor pertanian yang intensif, dan peningkatan pemanasan global adalah hal yang merusak keseimbangan lingkungan dan bahkan "menyiksa" bumi dan lingkungannya.Â
Pemilihan tema keragaman hayati menjadi titik tolak dari pembelajaran berbagai peristiwa kebakaran hutan di Brazil, di Amerika, Australia, dan juga kebakaran hutan di Indonesia, termasuk kebakaran di Kalimantan pada tahun 2019, dan juga karena adanya pandemi global Covid-19 yang sedang terjadi ini.Â
Keragaman Hayati dan Upaya Menghindari Pandemi
Banyak diskusi tentang mengapa pandemi Covid-19 terjadi. Mulai dari perspektif agama yang mempersalahkan tindakan manusia yang berdosa sampai dengan teori konspirasi tentang dibuatnya virus Covid-19 untuk alasan penguasaan ekonomi maupun alasan lainnya.Â
Sayangnya, meskipun diskusi telah dilakukan dalam hal keterkaitan rusaknya keragaman hayati dan kemungkinan berkembangnya virus di dunia, namun pemasyarakatan akan hal ini terbatas. Bahkan, beberapa pemerintah seakan tidak memahami keterkaitannya.Â
Buktinya, beberapa negara malah mendorong eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alamnya, termasuk sumber daya hutannya untuk menggenjot perekonomian pada saat dan pasca pandemi Covid-19. Saya telah menuliskannya di Kompasiana pada artikel ini.Â
Penjelasan tentang keterkaitan rusaknya keragaman hayati dan munculnya virus, termasuk Covid-19 dan bagaimana pemeliharaan atas keragaman hayati dapat mencegah munculnya berbagai virus zoonotic bisa dilihat pada video di saluran Youtube ini.Â
Yang menjadi kekecewaan adalah bahwa justru karena adanya pandemi ini malah menunda diskusi dan jadwal pelaksanaan pertemuan dan negosiasi terkait lingkungan dan kehidupan satwa liar.Â
Misalnya, Kongres Konservasi Dunia atau World Conservation Congress dijadwalkan ulang, yang semula akan dilakukan pada Juni 2020 di Marseille, Prancis, akan ditunda ke Januari 2021.Â
Padahal, rencananya pertemuan di tahun 2020 ini, PBB hendak mempertemukan delegasi 196 negara yang hendak memfinalisasi negosiasi kebijakan keragaman hayati untuk menggantikan target the 2010 Aichi Biodiversity yang akan kedaluwarsa pada akhir 2020.Â
Transformasi sangat diperlukan untuk mencapai target target baru, apalagi dengan adanya pandemi.
Penundaan ini merisaukan banyak ahli lingkungan karena dunia akan kehilangan momentum untuk merawat keragaman hayati dan mengurangi dampak perubahan iklim, dan kemungkinan berkurangnya anggaran negara negara untuk dialokasikan pada upaya merawat keragaman hayati. (Mongabay.com, April 2020).Â
Penggiat lingkungan masih berharap bahwa pandemi merupakan momen para pihak untuk menjaga motivasi untuk melihat hubungan antara penyebab kerusakan keragaman hayati dengan kesehatan manusia, khususnya karena perubahan penggunaan tanah dan penurunan mutu ekosistem yang mendorong munculnya virus zoonotic.
Kesadaran berbagai pihak akan hubungan antara kemunculan pandemi di dunia dalam kaitannya dengan berbagai revolusi industri sangat perlu dibangun. Industrialisasi, urbanisasi, dan deforstasi mendorong kemunculan berbagai pandemi di dunia.
Intinya, globalisasi membawa pengaruh pada kesehatan manusia. Dan, kita diingatkan oleh sejarah kemunculan banyak pandemi yang ada setelah adanya berbagai revolusi industri di dunia.
Memang, pademi Covid-19 punya perbedaan besar karena ada ketika media sosial sudah menjadi bagian penting dari manusia. Pengetahuan dan juga ketakutan, kebingungan, bahkan hoaks serta upaya upaya penanggulangan pandemi banyak difasilitasi oleh media sosial.
Visualizing the History of Pandemics (Nicholas LePan, Maret 2020), yang diterbitkan oleh the World Economic Forum menunjukkan sejarah pandemi dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa globalisasi.
Sebelum masa kejayaan Eropa, kehidupan manusia sangat lokal. Manusia lahir dan meninggal di tempat kelahiran. Transportasi dan komunikasi sangat lamban, bergantung pada alam.
Wabah Bubonic adalah pandemi pertama, terjadi antara abad 6 sampai 8 Masehi pada masa kekaisaran Roma. Pandemi kedua adalah Black Death muncul pertama di akhir masa kegelapan Eropa di abad 14 yang diikuti kelaparan dunia dan juga perang.Â
Kedua pandemi itu muncul di masa pra modern dan penularannya dilakukan melalui media tikus yang melakukan perjalanan bersama kapal dagang.
Adalah pandemi ketiga dan seterusnya terjadi dengan cepat ke daratan dengan bantuan kapal kapal dagang dan juga dibangunnya rel kereta api. Kemajuan alat transportasi dan teknologi maritim antar benua membuat pandemi cepat menjalar.Â
Ditemukannya wilayah-wilayah baru oleh koloni menyebabkan hadirnya penyakit dari daratan Amerika dan Eropa menularkan kepada penduduk asli di 'wilayah baru'.Â
Pandemi cacar air, tipus, kolera, dipteri, influenza menjadi bagian dari penyakit yang membunuh sekitar 90 sampai dengan 95% penduduk asli dunia. Pengecualian adalah terjadi pada tidak menyebarnya kolera ke Asia Selatan karena kelembaban udara tidak mendukung tumbuhnya pathogen kolera.
Memang revolusi industri menjadi pencetus banyak pandemi. Namun, pada saat yang sama revolusi industri diikuti revolusi kesehatan dengan lahirnya vaksin-vaksin baru. Berbagai pandemi di masa millennium terjadi. Pandemi Covid-19 mungkin saja mempercepat Revolusi Industri 4.0.
Pandemi Ternyata Bukan Cara Bumi BeristirahatÂ
Banyak kalangan masyarakat berpikir bahwa pandemi adalah cara bumi beristirahat. Adanya social distancing dan pemberhentian kegiatan ekonomi dipercaya membawa silver lining yang mendorong bumi untuk beristirahat.Â
Langit membiru dan udara lebih segar karena industri beristirahat. Burung dan kupu kupu ada di langit Jakarta. Kanguru berjalan di Adelaide. Penguin menyeberangi jalan di Cape Town, dan lain lain kisah.
Terdapat kesan yang kurang tepat seakan bumi mendapat manfaat dari pandemi. Dalam realitanya, terdapat banyak kegiatan ekonomi di tingkat lokal dan di perdesaan di wilayah negara berkembang yang malah menekan adanya penggunaan lahan secara tak benar, karena memang lahan di desa adalah tabungan pada saat kemiskinan terjadi.Â
Perburuan binatang makin meningkat, dan penebangan pohon serta kegiatan pertambangan liar juga meningkat untuk menunjang kehidupan manusia untuk bertahan dan resilien karena pandemi.
Masyarakat yang sulit mendapat pendapatan di kota kembali ke desa, alias mudik seperti di Indonesia, dan repotnya, turut membawa penyakit dalam perjalanan mudiknya. Ini tentu menekan lebih keras pada kondisi di perdesaan.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa beberapa negara juga melakukan kebijakan yang malah mengeksploitasi sumber daaya alam dan hutannya. Laporan tentan deforestasi di Asia, Afrika dan Amerika latin disinyalir oleh weforum.Â
Pertambangan liar atas emas dan bebatuan di Amerika Latin dan Afrika juga meningkat. Wilayah konservasi dan eko wisata di Kenya dan World Heritage Sites di the Galpagos, Ekuador dan the Tubbataha Reef di Filipina juga terancam.
Perusakan perdesaan dan hutan ini akan terus terjadi. Diperkirakan hal ini akan mereda setelah perekonomian membaik. Inilah kekuatiran kekutiaran para aktivis lingkungan. Beberapa hal telah saya sampaikan pada artikel sebelumnya.
Memang kita tidak dapat menilai hitam-putih pada kebijakan seperti peremajaan kebun kelapa sawit di Indonesia sebagai salah satu sektor yang menjadi andalan di masa depan.Â
Presiden Joko Widodo (Jokowi) diberitakan media mempercepat peremajaan tanaman kelapa sawit, salah satunya di wilayah Sumatera Utara. (infosawit.com, 22 Mei 2020).Â
Pemerintah mengatakan hendak melakukan penanaman kembali tanaman kelapa sawit seluas ribuan hektare (ha) tanpa menimbulkan tekanan dan deforestasi lebih lanjut sebagai bagian dari upaya melawan kampanye 'hitam' produk kelapa sawit yang disampaikan pemerintah telah dilakukan negara negara Eropa.Â
Dan Presiden Jokowi di acara KTT ASEAN-Uni Eropa, Manila meminta Uni Eropa mengakhiri praktik diskriminasi terhadap kelapa sawit Indonesia dan negara lain penghasil CPO. Di satu sisi, upaya menjalankan perkebunan kelapa sawit menjadi upaya pelestarian tanah dan lingkungan.Â
Di sisi lain, kurangnya keragaman hayati di wilayah ini tentu akan mengancam keseimbangan ekosistemnya. Tentu saja, upaya keras pemerintah untuk melindungi kondisi lahan dan dampak negatif dari aspek sosial dan ekonomi dari perkebunan kelapa sawit perlu diperjuangkan, mengingat selama ini upaya pada pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan masih sulit dilakukan.
Namun demikian, kita kembali mengingat disahkannya Undang undang Minerba telah saya tuliskan di artikel sebelumnya di sini.Â
Hal-hal di atas tentu perlu menjadi bagian dari refleksi bukan hanya warga tetapi juga pemerintah dan korporasi di Indonesia.Â
Akankah kita siap bila hadapi pandemi setelah Covid-19 ini? Untuk siap berarti perlu perencanaan. Apa rencana kita ke depan?
Apakah pemerintah punya rencana ke depan terkait pelestarian keragaman hayati? Apakah pemerintah dan masyarakat akan memproduksi dan mengkonsumsi produk yang ramah lingkungan?Â
Apakah pemerintah memberi insentif pada upaya masyarakat dan korporasi untuk melakukan program yang mempertimbangkan keragaman hayati, dan bukan program pembangunan perkebunan yang mono-kultur yang selama ini justru mengorbankan hutan yang ada?Â
Apakah pemerintah juga mempertimbangkan untuk menghukum korporasi pelanggar dan perusak lingkungan? Apakah pemerintah dan masyarakat akan secara serius mencegah adanya kebakaran (dan pembakaran) hutan?Â
Saya kira itu serangkaian pertanyaan untuk kita semua. Dan, rencana untuk mengimplementasikannya sangatlah penting pada momen pandemi Covid-19 yang juga belum berakhir.Â
Selamat Hari Lingkungan Dunia!
Â
Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, DelapanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H