Di sisi lain, kurangnya keragaman hayati di wilayah ini tentu akan mengancam keseimbangan ekosistemnya. Tentu saja, upaya keras pemerintah untuk melindungi kondisi lahan dan dampak negatif dari aspek sosial dan ekonomi dari perkebunan kelapa sawit perlu diperjuangkan, mengingat selama ini upaya pada pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan masih sulit dilakukan.
Namun demikian, kita kembali mengingat disahkannya Undang undang Minerba telah saya tuliskan di artikel sebelumnya di sini.Â
Hal-hal di atas tentu perlu menjadi bagian dari refleksi bukan hanya warga tetapi juga pemerintah dan korporasi di Indonesia.Â
Akankah kita siap bila hadapi pandemi setelah Covid-19 ini? Untuk siap berarti perlu perencanaan. Apa rencana kita ke depan?
Apakah pemerintah punya rencana ke depan terkait pelestarian keragaman hayati? Apakah pemerintah dan masyarakat akan memproduksi dan mengkonsumsi produk yang ramah lingkungan?Â
Apakah pemerintah memberi insentif pada upaya masyarakat dan korporasi untuk melakukan program yang mempertimbangkan keragaman hayati, dan bukan program pembangunan perkebunan yang mono-kultur yang selama ini justru mengorbankan hutan yang ada?Â
Apakah pemerintah juga mempertimbangkan untuk menghukum korporasi pelanggar dan perusak lingkungan? Apakah pemerintah dan masyarakat akan secara serius mencegah adanya kebakaran (dan pembakaran) hutan?Â
Saya kira itu serangkaian pertanyaan untuk kita semua. Dan, rencana untuk mengimplementasikannya sangatlah penting pada momen pandemi Covid-19 yang juga belum berakhir.Â
Selamat Hari Lingkungan Dunia!
Â
Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, DelapanÂ