Perdagangan Manusia pada masa Pandemi COVID-19.
Beberapa hari ini saya berbicara dengan kawan-kawan aktivis perempuan yang bekerja dalam pendampingan penyintas gempa Palu dan Sulawesi Tengah yang masih tinggal di Huntara terkait kondisi sosial dan ekonomi pada masa pandemi. Mbak Dewi Amir dari LiBU Perempuan memberi info yang memprihatinkan.
Selain persoalan pengangguran di antara penghuni Huntara, persoalan kekurangan gizi dan juga potensi penjualan manusia juga mengemuka.
Misalnya di wilayah Huntara Petobo dan Pombewe di Palu Selatan, mbak Dewi mendapat informasi terkait keberadaan sekitar 75% dari penghuni Huntara yang tanpa pekerjaan.
Yang paling menyayat, Mbak Dewi dihampiri dua orang ibu yang mengeluh tidak bisa menghidupi anaknya dan menawarkan anaknya untuk adopsi.
Dan terdapat kemungkinan, kasus ini tidak hanya di satu lokasi saja. Studi dan kajian yang lebih teliti diperlukan agar persoalannya dapat ditemukenali.
The United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) menuliskan dalam dokumen ‘Impact of the COVID-19 on Trafficking in Persons - Preliminary findings and messaging based on rapid stocktaking” bahwa COVID-19 punya potensi besar dan risiko terkait perdagangan manusia.
Adanya karantina, ‘lock down’ pembatasan perjalanan, dan pembatasan kegiatan ekonomi dan kegiatan masyarakat bisa secara akumulatif mendorong perdagangan manusia.
Pada kasus perdagangan manusia yang belum diselesaikan pada masa sebelum pandemi akan menjadi leboh rumit pada masa pandemi.
Meski pihak petugas keamanan di perbatasan antar negara akan meningkatkan keamanan, potensi kegiatan terselubung juga muncul. Bukan hanya kegiatan ekonomi yang mencoba mencari cara Normal Baru, kegiatan kriminal pun akan mencari bentuk Normal Barunya. Apalagi penggunaan teknologi komunikasi juga berkembang, kegiatan kriminalpun terus mengikuti.
Memang pada realitanya tak mudah untuk membuktikan adanya perdagangan manusia. Ini karena sifatnya yang tersembunyi, informal, ilegal dan sering dianggap kriminal kecil-kecilan.