Bualan Bunglon memanjat, terbang dan jatuh bertengger di sebatang pesona. Ia bergelantung dan menghijau di atas ranting berdaun, meminta disakralkan ribuan semut dan Bougenvil tua.
Para serangga berbaris melata dalam antrian panjang menyujud menjilati kapling kapling di bawahnya.Â
Menengadahkan muka meminta berkah perupa titisan perut serigala, ia berkata setia lamun mendua tiga.Â
Dahan kecoklatan menyatukan warnanya, dan mata lebar penuh guratan hitam mengukir tanda lahir bagai luka perang yang bercerita soal pengorbanan para pejuang di medan laga yang tak pernah bisa pulang.Â
Arakan bunga Bougenvil merah itu menyemat lencana kemenangan. Kilau matahari menerpa surainya, memahkotai kepalanya.Â
Radang curiga dan gelora asmara liar menguar pada cucuk lebar yang bergincu menganga.Â
Dan sepasukan hamba insekta gemetar tertunduk, takut dilahapnya. Talun dengung lebah, lalat, laron dan nyamuk bising mengganggu telinga dengan berita buatan dan rekayasa. Sementara kupu-kupu, ngengat, dan capung mengendap tanpa suara, takut dikejar lidah projektil sang penjemput nyawa.Â
Manakah ada raja Bengkarung yang hendak letakkan mahkota dan turun tahta?
Tentu ia hanya akan hadir di kala sepasang telur siap terlentang di sarang bertanah subur, berpasir dan berserasah di hutan terbuka.
Dan percik api gemeratak di atas dahan kering bagai suara sangkakala ditiup Bala Kurawa.
Bahkan seekor Rajapun akan tersadar bahwa ia bukan siapa siapa