Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Masyarakat Sipil Indonesia, Renta Sebelum Tua

20 September 2019   15:12 Diperbarui: 21 September 2019   10:40 1625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa demo pro revisi UU KPK. Jaket tanpa simbol. (Foto Tribun)

Mengingat 1998 dan Evolusi Masyarakat Sipil 

Setelah lama 'cuti' tidak mengintip FB, pagi tadi saya membaca postingan (Pak) Philip J Vermonte, Direktur Eksekutif CSIS.

Ia menulis soal pertemuannya kembali dengan Pak Sugeng Hariadi, seseorang yang dulu Philip kenal sebagai kepala seksi di Bank Dagang Negara (sekarang Bank Mandiri). 

Ini terjadi pada 1998, ketika Philip adalah staf yunior di perusahaan agen periklanan, sebelum akhirnya ia menempuh S2 nya di Australia. Dan, Philip menyebut semalam bertemu pak Sugeng yang saat ini adalah Direktur di anak perusahaan Bank Mandiri. 

Saya nimbrung memberi komentar di FB "Kalau ahli politik bicara soal tahun 1998, meski sebagai latar belakang soal pertemuan kembali dengan teman kerja lama, kita perlu waspada". 

Philip menjawab komen saya "That was the year saya ketemu mbak, diajak sama bos saya, terus saya dapat nasihat "Break a leg' lho mbak. You might not remember".  🤣

Pada tahun 1998 saya masih menjadi dosen Trisakti dan juga konsultan untuk suatu proyek. Saat itu saya berperan jadi ketua tim suatu proyek untuk pemasaran pemanfaatan IT bagi UKM untuk kementrian perindustrian, dengan dana hibah. 

Sebagai tim, kami menggandeng perusahaan agen periklanan dimana Philip bekerja, dan juga Nukman Lutfi (almarhum), yang saat itu adalah Direktur Agrakom yang seatap dengan Detik.com, dan mas Harry Dharsono, perancang mode yang punya pengalaman lama mendukung UKM.

Di hari presentasi tender proyek di awal bulan Mei, Jakarta sedang sangat genting. Mas Harry yang mobilnya Mercy dan pak Nukman yang 'Kijang kapsul' baru, tentu tidak berani mengambil reisiko pergi ke lokasi presentasi yang berada di Jalan Gatot Subroto. 

Alhasil, mereka rela saya supiri dengan mobil perang Feroza 1994 saya. 

Presentasi lancar, walau kami ketar ketir sepanjang perjalanan. Kami memenangkan tender. Philip menulis email berpamitan tak bisa dukung implementasi proyek, karena ia mendapat beasiswa S2 ke Australia. 

Saya berkata "Break a Leg", suatu ucapan yang memiliki arti semoga sukses ia dalam sesuatu yang hendak dikerjakan. Rupanya ucapan saya mungkin diingat Philip dan dijadikan guyonan karena ia memaknainya sebagai 'Putuskan kakimu". 

Sejatinya, postingan Philip tentang tahun 1998 membuat saya punya ingatan akan masa-masa yang tidak mudah. 

Perjalanan Masyarakat Sipil di Indonesia dan Transisinya 

Sejarah Indonesia memang mencatat bahwa masyarakat sipil terbukti berhasil mendorong hadirnya perubahan dan demokrasi. 

Di tahun 1998, ribuan massa dan mahasiswa naik ke atas gedung MPR/DPR RI untuk meminta negara menurunkan Suharto dan menegakkan demokrasi.

Ini untuk merespons krisis politik nasional serta berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia dan adanya teror berupa perkosaan massal terhadap perempuan etnis Cina sebagai puncaknya. 

Peristiwa di atas hanyalah satu dari banyak contoh keberhasilan masyarakat sipil melakukan tekanan kepada negara dan masyarakat agar melakukan perubahan mendasar.

Pada beberapa hari terakhir ini, kita melihat dinamika masyarakat sipil yang cepat. Kadang-kadang, kita gagap untuk bisa paham apa yang terjadi.

Dari sejarahnya, perjuangan masyarakat sipil di Indonesia dimulai pada awal pergerakan kebangsaan yang dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999). 

Saat itu, jiwa demokrasi Soetan Syahrir harus dihadapkan pada kekuatan represif, baik dari rezim orde lama maupun rezim orde baru. 

Pada pemakaman Soetan, Bung Hatta berkata dalam pidatonya "Ia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka. Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka". 

Jatuhnya pemerintahan Suharto pada 1998 dan transisi menuju demokrasi telah membawa banyak perubahan. Masyarakat sipil tumbuh, yang diwakili oleh lahirnya LSM. Dalam beberapa hal, LSM mengklaim sebagai organisasi masyarakat sipil (OMS). 

Pengaruh global memberi kesempatan atas kelahiran mereka, khususnya dalam bentuk dorongan pada pelaksanaan hak, dan penguatan kelembagaan serta mekanisme akuntabilitas di masyarakat. Organisasi masyarakat sipil lama dan baru saling berdinamika dan bekerja agar suara mereka terdengar.

Perpindahan kekuasaan dari Order Baru kepada Habibie memberikan ruang untuk membangun landasan dan kerangka baru dalam demokratisasi. 

Beberapa legislasi penting hadir, satu diantaranya amandemen konstitusi. Pemilu demokratis dipercepat. Habibie mengusulkan agar masa kerja presiden dibatasi maksimal dua kali.

Bagi masyarakat sipil, masa transisi dengan presiden Gus Dur, Megawati dan SBY tidaklah mudah. Pemerintah transisi membentuk koalisi pelangi, melibatkan sebagian besar partai di parlemen. Konflik Koalisi Pelangi diselesaikan di belakang layar. 

Di masa presiden SBY, proses demokrasi melibatkan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Untuk itu, SBY menyebutkan bahwa Islam yang bergandengan tangan dengan demokrasi di Indonesia dapat menjadi model bagi negara-negara di Arab yang sempat berdinamika. 

Wajah militer jadi bagian partai politik, memberi pengaruh secara informal pada jalannya roda politik. Namun karena kekuatan elit terlalu kuat maka ruang dan peran masyarakat sipil jadi terbatas. 

Era ini gagal melawan korupsi dan penegakan hukum. Pada tahun 2005, Munir sang pejuang HAM untuk penculikan aktivis yang diduga dilakukan Tim Mawar dan Kopasus meninggal dibunuh dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. 

Sampai saat ini kasusnya tidak terkuak. Di era ini YLBHI pecah. Munarman yang sempat menjadi tim Kontras untuk isu Aceh dan menjabat sebagai Ketua YLBHI dipecat pada 2006 karena menolak nilai Pancasila. Ia memilih membentuk Sistem Khilafah melalui Front Pembela Islam (FPI).

Gagap peran masyarakat sipil dalam masa trasisi terus berjalan. Ketidakpastian akan peran baru ini menyebabkan disfungsi kerja OMS. Masyarakat sipil hanya diwakili oleh LSM, paling tidak dari kacamata lembaga donor asing yang mendanai LSM. Ada kesan bahwa proses demokrasi Indonesia didukung oleh donor asing.

Persoalan akuntabilitas menggelayuti LSM. Mereka dianggap tidak berkontribusi pada perubahan. Di lain pihak, Solidaritas Perempuan, LSM perempuan yang bekerja efektif memperkenalkan kesetaraan gender di antara kelompok muslim diberi label 'komunis baru'.

Lembaga politik demokrasi seperti parpol, parlemen, dan penegak hukum rentan dimanipulasi dengan cara kotor dan dengan kekerasan.

Pemerintahan Jokowi yang mendorong reformasi administrasi dianggap membawa angin segar di dunia politik. "Kawal Pemilu' yang melibatkan lebih dari 700 orang relawan mengawasi hasil Pemilu melalui Facebook dan sukses menghindarkan Pilpres 2014 dari kecurangan. 

Hampir semua LSM berbasis HAM mendukung Jokowi kala itu. Mereka kuatir bila Prabowo menang maka akan menjadi pemimpin otoriter. Apalagi Prabowo dianggap bertanggung jawab pada banyak kasus pelanggaran HAM, penculikan aktivis di masa Suharto dan keruduhan Mei 1998.  

Masyarakat sipil di masa pemerintahan Jokowi bukan tanpa tantangan.

Bermunculanlah perpecahan di antara kelompok agama, mahasiswa dan juga anggota OMS. Pengaruh kelompok elit kepada kelompok kelompok di masyarakat sipil yang menyebakan persepsi adanya fragmentasi. Sebutan Kampret dan Cebong muncul untuk pendukung Prabowo dan Jokowi.

Sistem Khilafah dianggap berkembang dan menguat di beberapa wilayah. Media sosial penuh ujar kebencian dan berita bohong. 

Beberapa LSM, termasuk YLBHI, ELSAM dan AMAN menyatakan golput pada Pilpres 2019. Mereka anggap pemerintahan Jokowi tidak menepati janjinya untuk melindungi HAM masyarakat pinggiran.

Namun, dalam beberapa saat, Jokowi lebih dekat dengan militer. Adanya konflik lahan di Papua diselesaikan dengan berfokus pada pendekatan militer. Pecahnya konflik antara masyarakat Papua dengan masyarakat di Jawa Timur memunculkan situasi yang makin meruncing soal keinginan Papua untuk merdeka. 

Dialog sudah dilakukan antara wakil masyarakat Papua dengan Jokowi di Jakarta. Akhir akhir ini, muncul komentar bahwa Jokowi tidak bertemu dengan kelompok yang sesuai. 

Diakui, pertumbuhan OMS cepat. Pada tahun 2005 tercatat sekitar puluhan ribu OMS (Hans Antlov, et ALL, 2005). Sementara pada tahun 2018 tercatat 390.290 OMS (Indonesia Civil Society Forum 2018). 

Khusus untuk LSM, SMERU mencatat 2.848 organisasi ada di seluruh Indonesia (Maret 2017). Juga terdapat 40 serikat pekerja di tingkat nasional, 300 serikat pekerja di tingkat lokal, dan lebih dari 1000 asosiasi pekerja di tingkar perusahaan. 

Organisasi keagamaan, lembaga penelitian, kelompok kerja dan pemikir juga bertumbuh. Angka-angka ini merupakan lompatan karena sebelum 1998 hanya terdapat satu organisasi buruh dan satu organisasi petani, dan mereka dalam kontrol pemerintah.

Posisi posisi strategis yang pada awalnya dianggap sebagai kesempatan dan harapan akhirnya terganjal persoalan gagap peran, lemah akuntabilitas dan lemah kapasitas. Upaya upaya untuk memperbaiki sudah dilakukan, namun kelemahan OMS dinilai terlalu banyak. 

Studi SMERU (2017) merangkum kelemahan kelemahan kritis OMS. Orientasi OMS terlalu pada kerja perkotaan di Jakarta, Jawa dan kota-kota besar adalah satu isu. 

Persoalan lain adalah sifat elitisnya sehingga dewan eksekutif dan pengawas masih diduduki pendirinya. Banyak massa mengambang. OMS tidak jelas kontribusinya pada proses demokratisasi dan politik. 

Mereka bekerja secara sektoral tapi memiliki kepasitas generalis tanpa spesialisasi. Reputasi Masyarakat sipil anjlog karenanya.

Masyarakat Sipil dan Kemenangan Politik Identitas

Dalam konteks Indonesia yang merupakan negara Islam terbesar di dunia, persoalan menjadi lebih kompleks.

Politik identitas 'sukses' digunakan untuk merebut begitu banyak keputusan politis di negeri ini. Sebut saja Pilkada Jakarta, di mana Ahok kehilangan begitu banyak dukungan karena isu 'penistaan agama'. Ia bahkan harus berhadapan dengan hukum dan menjalani masa berat di penjara.

Saya dibagi beberapa artikel oleh 'adik' yang hampir setiap hari menjadi teman mengobrol, Dati Fatimah. Kami jarang bertemu, tetapi seperti ada tautan batin yang tidak bisa dijelaskan. 

Ia membagi tulisan Made Suprijatna "Radikal dan Taliban" yang mengingatkan kembali bahwa taktik dengan menggunakan politik identitas sukses dipakai dalam Pemilu, khususnya Pilpres 2019. Ini dik dati lakukan setelah kami mendiskusikan tulisan saya di Kompasiana beberapa hari terakhir ini. 

Mahasiswa demo pro revisi UU KPK. Jaket tanpa simbol. (Foto Tribun)
Mahasiswa demo pro revisi UU KPK. Jaket tanpa simbol. (Foto Tribun)
Kampanye pihak Jokowi membawa sentimen bahwa Indonesia akan dikuasai kaum Islam radikal, bila tidak memilih Jokowi. Apalagi banyak peristiwa SARA di mana-mana. Salib di pekuburan Katolik digergaji di Yogya. Ucapan rasis muncul di media sosial. 

Sementara, pihak lawan Jokowi, Prabowo, tidak segan menggunakan mantel Islam yang dituduhkan. Menurut mereka, Jokowi akan kalah dengan isu Islam.

Berbagai kampanye jadi sangat efektif. Kaum minitoritas tentu akan memilih Jokowi. Sementara di kubu Prabowo, dukungan kaum Islam konservatif dianggap menyerupai efektivitas dukungan kaum fundamental Kristen Amerika kepada Trump.

Made Surprijatna juga membagi analisis tentang berhasilnya kampanye model seperti ini yang dipakai kembali, terutama oleh partai dan kelompok pemenang Pemilu. 

Ini nampak dari apa yang terjadi dengan penggembosan KPK beberapa minggu ini. Revisi UU KPK terjadi dengan mulus, meski begitu banyak protes muncul dari kalangan masyarakat sipil. Semua partai politik yang ada di DPR, kompak menunjukkan sifat korup berhasil mengganyang demokrasi. 

Seorang sahabat, Damairia Pakpahan di FB nya membagi komentar terkait artikel saya yang menolak percaya Denny Siregar. "Jujur dan berani Mbak Leya Cattleya Soeratman, Denny Siregar dan Neta Pane menulis tentang Taliban ngawur yang menurut saya mestinya mencermati fenomena kelompok NKRI bersyariah yang bukan hanya tumbuh di KPK tapi di tempat lain juga. Juga tidak bijak hanya dengan tampilan hijrah lalu mensteriotipikan tampilan sebagai Taliban, lebay jadinya. Tetap berani Mbak, saya tandatangan petisi jenengan". 

Memang Indonesia tidak seremeh temeh analisis para penganut hitam putih. Banyak ruang luas untuk interpretasikan situasi saat ini. 

Dari hal-hal di atas, saya melihat  masyarakat sipil kita terbagi. Dinamikanya begitu berbeda dengan apa yang ada di tahun 1998, ketika musuh bersamanya adalah Suharto. Juga, ini berbeda dengan situasi 'Kampret' yang mendukung Prabowo dan 'Cebong' yang mendukung Jokowi.

Terpecahnya masyarakat sipil terbagi menjadi empat. Universitas dan kelompok professional yang terang terangan menolak revisi UU KPK, mengajukan deklarasi dan protes. 

Sebagian masyarakat sipil membuat protes dan petisi. Sementara, ada bagian dari masyarakat sipil yang mengaku mahasiswa dan kelompok milenial mendukung revisi UU KPK. 

Menariknya, terdapat sekelompok besar masyarakat sipil pendukung Jokowi yang percaya bahwa memang betul terdapat ancaman Taliban di tubuh KPK. Tulisan Denny Siregar memicu dan membangkitkan kepercayaan akan musuh yang seakan riil. 

Sebagian masyarakat sipil terus mengatakan akan menunggu dan mempelajari, dan melihat bahwa berbagai dukungan pada keutuhan KPK hanya akan merongrong Jokowi dan mengancam proses menuju Oktober 2019. 

Lalu, mantan pendukung Prabowo membiarkan dan menonton saja apa yang terjadi. Mereka juga punya kemarahan pada bersatunya Jokowi dan Prabowo di atas kereta MRT di bulan Juli 2019.

Ada apa dengan masyarakat sipil kita? Memang, argumen bahwa masyarakat sipil tak punya musuh bersama adalah sudah basi. Masyarakat sipil seakan kehilangan kemampuan untuk memahami situasi yang ada di sekitarnya. Fakta fakta seakan sudah terdistorsi isu dan hoaks serta pemikiran yang seringkali tidak masuk akal. 

Hasil dari revisi UU KPK yang sangat masif kemudian membuat masyarakat sipil gamang karena revisi meniadakan sistem pemberantasan korupsi secara luas. Peran penyidikan KPK dan mengembalikan ke hukum acara pidana. Artinya, korupsi bukanlah keajahat luar biasa.

Selanjutnya, muncul kegelisahan masyarakat sipil tentang rencana perubahan KUHP, UU MD3 dan UU Pemasyarakatan. Kesemuanya memberikan ancaman yang berbeda pada hak sipil dan membagi kekuasaan DPR di antara partai yang ada. 

Revisi KUHP akan merontokkan kebebasan pers dan memasukkan urusan personal untuk bisa dikriminalisasi. Bahkan, gelandangan juga bisa menjadi sasaran kriminalisasi. 

UU MD3 yang akan dirubah mengusulkan pimpinan DPRRI dari 5 menjadi 10 orang. Juga usulan perubahan Pemasyarakatan yang memungkinkan narapidana menggunakan hak cuti, remisi, asimilasi, cuti bersyarat, cuti jelang bebas, pembebasan bersyarat dan hak lainnya. Ini meresahkan masyarakat akan bisa dijualnya hukum pidana. 

Apakah Presiden Terjepit?

Dalam tulisannya, Made Suprijatna merujuk pengalaman presiden AS Barack Obama ketika ditanya apa yang paling penting dari tugasnya sebagai presiden. 

Obama menjawab soal keputusan yang menyangkut hidup orang banyak. Obama dinilai bekerja keras menegakkan kedaulatan dan kepentingan orang lain, walau untuk kebutuhan dirinya sendiri seperti untuk makan dan pakaian, ia tidak berdaulat.

Made meminta kita untuk berhenti selalu memaklumi Jokowi yang dianggap tertawan partai. Jokowi adalah presiden. Jokowi adalah invidu dan ia bisa berbicara dan membuat keputusan. 

Persoalan terkait perubahan perundangan, termasuk UU KPK, RKUHP, UU MD3 dan UU Kemasyarakatan, di samping terhambatnya pengesahan undang undang yang penting seperti Undang undang penghapusan kekerasan seksual, dan revisi Undang-undang Perkawinan akan mempengaruhi hajat hidup orang baynyak, juga mempengaruhi dunia luar. 

Persoalan Papua. Kebakaran Hutan dan persoalan lain adalah PR besar.  Presiden tidak bisa berlindung dari balik alasan 'terjepit' partai. 

Jokowi tidak bisa lagi mengatakan 'yang penting kerja, kerja, kerja'.  Banyak agenda negara yang Jokowi harus selesaikan dengan baik dan damai.

Masyarakat Sipil, Kecolongan di Tikungan 
Secara global, terdapat meningkatnya kembali dialog untuk memperjuangkan hak hak sipil untuk isu hutan, kekerasan seksual terhadap perempuan dan soal inklusi sosial. 

Di sisi lain, represi kembali bermunculan di banyak wilayah dunia. CIVICUS meluncurkan hasil pantauan atas ratusan negara dalam laporan tahun 2018 nya. Laporan diterbitkan pada Maret 2019 yang lalu. 

Tercatat adanya persoalan sistemik serius yang mendera ruang ruang masyarakat sipil. Musuh masyarakat sipil yang terbesar, yaitu pelanggaran HAM dan keadilan sosial meningkat dan makin nyata. Musuh makin kuat, dan mereka seakan telah menang terutama dengan penggunaan dan rekayasa teknologi digital.

  • 109 negara, khususnya yang mengikuti sistem politik Cina melaporkan ruang masyarakat sipil yang makin sempit;
  • Polarisasi politik dan masyarakat yang terbelah menyebabkan mereka menaruh kemarahan kepada politisi korup. Sayangnya, kemarahan itu dilampiaskan ke segala arah tak beraturan 'unorganized'. 
  • Lembaga demokrasi disepelekan di Bolivia, Uganda, dan Amerika mencoba merubah konstitusi dan undang undang. Rupanya ini terjadi pula di Indonesia. 
  • Mahkamah Agung Kenya meminta Pilpres untuk diulang karena ditemukannya kecurangan.
  • Penemuan atas 'Paradise Paper' yang membongkar 11.5% kekayaan elit dunia yang ditanam di pertambangan lepas pantai membawa kegelisahan;
  • Kelompok dan pemerintah Malta, Mexico, Turki, Paraguai, dan Pakistan menyerang media dan jurnalis yang melaporkan kecurangan politik dan ekonomi dari pimpinan negara. Duterte menyeret Maria Ressa, jurnalis Rappler dan CNN Asia Tenggara karena Maria pernah mengangkat isu perdagangan obat yang melibatkan Duterte. Repotnya, jurnalis senior dan lembaga media terkenal justru ikut menyebarkan hoaks;
  • Blokade saluran internet jelang pemilu terjadi di Vietnam, Iran, Togo dan Kamerun, sementara di Amerika, penyedia jasa internet memberikan layanan berlebih kepada mereka yang membayar mahal. Sebaliknya, askes internet lembaga advokasi keterbukaan dan demokrasi diganggu;
  • Kelompok masyarakat dan pemerintah membayar kelompok dan organisasi yang tidak beradab 'uncivilized society' untuk mengganggu masyarakat sipil yang hendak menegakkan HAM;
  • Lembaga multilateral, termasuk Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tidak diperdulikan. Sementara, nasionalisme secara sempit meningkat. Masyarakat sipil alami kesulitan karena mereka berpayung pada konvensi PBB. Ini terjadi di Mesir dan Bahrain. Isu pelanggaran hak buruh, sektor swasta, dan industri ekstraktif dilaporkan lebih dari seratus negara yang dipantau.
  • Nilai nilai patriarkhi, kasus kekerasan seksual seperti perkosaan dan pelecehan sesksual di tempat kerja meningkat cepat. Ini menunjukkan makin seriusnya persoalan, di samping meningkatnya kesadaran warga untuk melapor.Maria Ressa, Jurnalis CNN untuk Asia Tenggara yang Dipenjarakan Duterte (scmp.com)

Indonesia adalah bagian dari tren masyarakat sipil dunia. 

Memang, masyarakat sipil kita memang terhitung muda bila dibandingkan dengan masa Aristotle dan juga gerakan di masyarakat Eropa Timur, serta masyarakat sipil yang aktif di masa Aleksander Smolar di tahun 1978-1979. 

Namun, gejala yang ada menunjukkan bahwa masyarakat sipil kita telah alami persoalan yang serupa dengan kondisi di beberapa negara lainnya.  

Terdapat beberapa kasus skandar teknologi yang menghantam masyarakat sipil dunia. AI Now Institute di Universitas New York akhirnya membuka skandal skandal yang terjadi. 

Selain soal Cambridge Analytica memanen 50 juta profile pengguna Facebook untuk menyasar pemilih Amerika pada Pilpres 2016, Facebook membungkam atau diam atas laporan pencucian etnis Rohingya di Myanmar, kita juga melihat kasus algoritma palsu untuk membuat hasil tes siswa palsu berkaitan dengan deportasi ribuan siswa dengan visa oleh pemerintah Inggris. 

Dan, Akhirnya kehebohan Giveaway via Twitter dan berbagai berita terkait penggunaan siber dalam peperangan pada demokrasi yang belum dapat diidentifikasi siapa pelakunya menjadikan mayarakat sipil Indonesia dihantam sama buruknya dengan mereka di dalam demokrasi ala Duterte dan Trump. 

Secara umum, ini menggambarkan lemahnya masyarakat sipil akan penggunaan teknologi. Pada saat yang sama terdapat kesempatan baik. 

119 negara yang dipantau CIVICUS melaporkan adanya perbaikan ruang warga dan penegakan hukum. Masyarakat mulai memobilisasi dan mengorganisasi diri melalui cara cara yang mungkin baru bagi mereka, yaitu melalui media digital. OMS menyadari bahwa keamanan data kerja mereka adalah penting. 

Beberapa OMS bekerja melalui program Harvard Humanitarian Initiative Signal Code untuk data data dan juga melalui program Oxfam yang membuat 'toolbox' untuk melindungi data data kelompok yang mereka bela.

Masyarakat Sipil yang Renta dan Gaptek 

OMS mengaku gagap dengan isu terkini dan juga gaptek. Laporan Civicus menuliskan bahwa hanya sekitar 11% dari OMS dunia menggunakan teknologi digital dalam pekerjaan mereka. Mereka aktif sekali gunakan media sosial tetapi super gaptek menggunakan teknologi digital untuk advokasi.

Terdapat komentar miring dari kalangan OMS terkait kelompok masyarakat yang menggunakan petisi dan tidak turun ke jalan. Komentar itu "Gini lho aktivis. Turun ke jalan (Bukan bikin petisi)".

Memang, pendanaan OMS yang memfasilitasi gerak masyarakat sipil makin surut. Namun, OMS punya kesempatan. OMS dapat mengakses dana pemerintah melalui proses lelang yang diatur dalam Peraturan Presiden No 16 tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa publik agar OMS dapat meningkatkan jangkauan dan kualitas layanan kerja untuk masyarakat miskin dan terpinggirkan. 

Sementara itu, Dana bantuan sosial (bansos), walaupun ada tetapi hanya bisa diakses OMS satu kali saja. Artinya, bukan untuk keberlanjutan. 

Mampukah masyarakat sipil menata kembali posisinya sebagai salah satu pilar demokrasi? Ini untuk merespons dinamika perubahan dunia yang kompleks, dan isu yang ada di dalam negeri, radikalisme, dan juga penggunaan isu politik identitas dalam sendi sendi masyarakat di Indonesia 

Masyarakat sipil punya kebutuhan mendesak atas demokrasi yang lebih mendalam dan bermakna. Demokrasi mendalam ini menuntut pemahaman dan keberanian warga, baik individu maupun sebagai kolektif, untuk bertanya atas apa yang mereka tak paham, untuk berjuang menjalankan prinsip prinsip HAM yang universal.

Sebagai rekomendasi, terdapat hal mendasar yang mungkin bisa dipertimbangkan masyarakat sipil, termasuk OMS.

  • Gali peran baru dalam advokasi, 'watch dog', pendukung solidaritas, penetap standar, pendorong keterwakilan, dan penyedia layanan peningkatan kapasitas terkait aspek informasi, teknologi, dan digitalasasi yang bertanggung jawab;
  • Manfaatkan secara agresif teknologi dan digitalisasi terkait data. Ini untuk mengejar ketertinggalan dan gaptek;
  • Fungsikan model organisasi dan kepemimpinan yang efektif untuk menjawab persoalan yang ada;
  • Regenerasi OMS. Darah baru yang 'digital native' yang ada di kalangan masyarakat sipil perlu jadi bagian dari gerakan OMS. Kita sadari, mendorong dorong orang senior (baca tua) dan gaptek adalah percuma. Gunakan pendekatan baru yang inklusif dalam penggunaan teknologi. Libatkan perempuan, orang muda dan masyarakat perdesaan dalam pengenalan teknologi. Kerja nyata untuk menjadi mata dan telinga masyarakat dengan memanfaatkan teknologi secara bertanggung jawab demi memecahkan persoalan yang ada;
  • Investasikan strategi dan tak-tik untuk dapat memimpin masyarakat memperbaiki kehidupan masyarakat dengan contoh dan model secara kongkrit;
  • Cari dan gandeng mitra mitra baru yang inovatif, termasuk swasta, lembaga penelitian, dan individu yang menjunjung nilai universal;
  • Gali potensi 'fund raising' melalui pemberdayaan ekonomi yang didukung analisis rantai nilai yang matang dan dukungan lembaga keuangan.

Indonesia perlu lebih serius dan strategis dalam membaca situasi dan menyiasati cara dan upaya dalam proses transisi yang terus berjalan. Jangan sampai kecolongan dan kedodoran lagi. 

Masyarakat sipil yang kuat juga merupakan tujuan pembangunan kita. Pemerintah perlu memasukkan suatu strategi yang jelas dalam RPJMN 2019 - 2024 yang akan datang. Pada akhirnya, masyarakat beradab dan berbudaya adalah satu warisan kita untuk generasi ke depan.

Dua puluh satu tahun reformasi berjalan. 

Suasana saat ini kembali hangat dan beberapa kali gaduh dan terkesan tak terkontrol. Dan, masyarakat sipil masih terus "berkicau" di medsos, namun dengan kicau yang risau. 

 Meski Philip J Vermonte sudah duduk sebagai Direktur Eksekutif CSIS, dan bukan lagi staf yunior agensi iklan, ia tentu punya pandangan tentang situasi politik negeri. 

Meski para reformis tahun 1998 sudah lelah bosan mendorong dorong perubahan dan mereka mengakui gaptek, usia masyarakat sipil kita masihlah muda. 

Segarkan spirit di masyarakat sipil dengan peta dan strategi baru agar kita tidak mati karena renta dikeroposkan korupsi. 

*) Beberapa hari terakhir ini saya melakukan kemarahan dan kekecewaan. Tulisan ini adalah mengembangkan tulisan saya terdahulu terkait masyarakat sipil di Kompasiana. 

Pustaka : Satu, Dua, Tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun