Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Konflik Apapun Soal Papua, Perempuan dan Anak Paling Menderita

30 Agustus 2019   12:04 Diperbarui: 7 Maret 2022   06:44 8019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mama Yosepha berkata tra terima orang Papua disamakan kera berjalan. "Dong pu bahasa kasar sekali," katanya.

Konflik Berkepanjangan Papua dan Pengalaman Perempuan 
Mama Yosepha Alomang adalah tokoh dari Suku Amungme yang mendorong gerakan perempuan dan lingkungan Papua. Ia pula yang berhasil membuat Freeport McMoran, yang telah menghancurkan alam masyarakat Amungme untuk membayar ganti rugi. Untuk jasanya, ia menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award pada 1999.

Atas peristiwa aksi rasialis di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, Mama Yosepha meminta agar pelaku ditangkap karena tindakan rasisme itu memicu respons gila-gilaan di Papua dan Papua Barat. 

Saya merasakan keprihatinan Mama Yosepha karena dampak sikap rasialis yang mengganggu perdamaian ini membawa dampak bukan hanya di Papua dan Papua Barat tetapi berpotensi pada situasi keamanan nasional.

Tak kurang, Presiden Jokowi mengingatkan kita untuk bersikap tenang dan tidak anarkis atas peristiwa ini. Saya pikir, tugas Presiden Indonesia tidaklah mudah. Indonesia sangat (dan luar biasa) kompleks.

Secara pribadi, saya harus mengaku malu, sekaligus menangis. Walau saya telah berupaya untuk membantu melakukan beberapa pekerjaan dan bolak balik ke Papua dan Papua Barat sejak tahun 2005 sampai dengan 2016, saya belum bisa membuktikan bahwa saya telah berhasil membantu masyarakat Papua, khususnya kelompok perempuan. 

Padahal, pekerjaan saya itu difasilitasi oleh lembaga multilateral, seperti Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

Beberapa studi, desain program baru, evaluasi program yang telah berjalan, maupun fasilitasi dan advokasi lembaga lembaga di kalangan Pemda Papua dan Papua Barat untuk mendorong perwujudan keadilan adalah bagian dari pekerjaan yang telah saya coba jalankan. 

Saya selalu dengan air mata untuk kembali ke Papua. Kesedihan serupa. Isu yang sama. Keluhan yang lama. Tentu, dengan intensitas dan kompleksitas persoalan yang berbeda.

Papua dan Papua Barat memang berbeda. Untuk itu, seseorang harus paham konteks Papua sebelum memberikan pandangannya, apalagi memberikan usul dan solusi. Juga, semestinya dukungan lembaga semacam PBB perlu waktu dan sumber daya yang memadai.  Tidak bisa 'hit and run'.  Papua adalah wilayah yang kompleks. 

Saya sempat menunda untuk menuliskan artikel ini. Namun, konflik di Nduga nampak makin serius di pertengahan Agustus yang lalu. Tim Pemerintah Kabupaten Nduga mencatat jumlah pengungsi adalah sekitar 38.000 orang, antara lain berasal dari Distrik Mapenduma (4.276 jiwa), Distrik Mugi (4.369 orang) dan Distrik Jigi (5.056 orang), Distrik Yal (5.021 orang), dan Distrik Mbulmu Yalma sebesar (3.775 orang). 

Terdapat pengungsi dari distrik lain yaitu Kagayem (4.238 orang), Distrik Nirkuri (2.982 orang), Distrik Inikgal (4.001 orang), Distrik Mbua (2.021 orang), dan Distrik Dal (1.704 orang). Juga terdapat 182 pengungsi, 113 di antaranya adalah perempuan, meninggal. Korban pada umumnya meninggal karena kedinginan, lapar dan sakit.

Sedihnya, tim melaporkan bahwa anak anak yang tidak bisa tahan dingin terpaksa makan rumput, daun kayu dan segala yang bisa dimakan (bbc.com, 14/08/2019). Ini sangat menyayat hati. (bbc.com). 

Ribuan warga sipil di Kabupaten Nduga mengungsi setelah terjadi pembunuhan belasan karyawan PT. Istaka Karya di Gunung Kabo, Desember 2018 lalu oleh anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). BBC.com melaporkan bahwa masyarakat, khususnya perempuan ketakutan dan menolak kehadiran TNI dan juga bantuan dari Kementrian Sosial karena takut kepada OPM. Perempuan ada di tengah tengah, bagai pelanduk di tengah gajah.

Lalu, minggu yang lalu, muncul aksi rasialis atas masyarakat Papua di Jawa Timur yang membawa rentetan demonstrasi yang mengakibatkan perusakan fasilitas umum dan bangunan negara, baik di Papua maupun di Papua Barat. Sorong, Manokwari dan Jayapura alami pembakaran. 

Pengalaman konflik dan kekerasan yang dialami perempuan Papua sejalan dengan sejarah masa kolonialisme, masa 'integrasi' dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai masa implementasi Otonomi Khusus. Seakan rantai konflik dan kekerasan yang dialami masyarakat Papua, khususnya perempuan, tak pernah putus.

Jadi, konflik yang dialami masyarakat Papua dan terjadi akhir akhir ini, baik yang terjadi di Nduga dan juga yang terjadi antara masyarakat Jawa Timur dengan masyarakat Papua bukanlah konflik yang baru.  Ini terjadi dari akumulasi isu yang lama, yang diduga ditiup oleh elit politik. 

Ketertinggalan dan Konflik
Konflik yang terjadi di Papua dan Papua Barat, sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh berbagai persoalan sosial, politik dan ekonomi. Kajian, studi, serta konsultasi dengan banyak kelompok perempuan, anggota masyarakat, dan Majelis Rakyat Papua (MRP), memberikan catatan atas beberapa isu yang diangkat oleh masyarakat Papua, khususnya kelompok perempuannya. 

Mama Kambu (almh) bicara soal pendidikan masyarakat yang harus sesuai kebutuhan lokal (Foto : dokumentasi pribadi)
Mama Kambu (almh) bicara soal pendidikan masyarakat yang harus sesuai kebutuhan lokal (Foto : dokumentasi pribadi)
Terkait Indeks Pembangunan Gender (IPG), Sulawesi Utara menjadi provinsi dengan IPG tertinggi sebesar 94,78 di tahun 2017. Posisi IPG terendah diduduki oleh Papua sebesar 79,38. Hampir separuh dari total seluruh provinsi di Indonesia (15 provinsi) memiliki nilai IPG di atas rata-rata nasional. Artinya, pembangunan manusia (kesehatan, pendidikan dan ekonomi) perempuan dibandingkan dengan laki laki adalah terendah di Papua. 

Ini mengingatkan saya pada diskusi dengan Mama Kambu, panggilan untuk Ibu Dra. Katherine Kareth yang bersama mendorong perubahan di Papua Barat. Beliau meninggal di tahun 2014, tak lama setelah kami mengadakan konsultasi dengan beliau dan kelompok perempuan.

Mama Kambu adalah mantan kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Manokwari. Setelah pensiun, mama Kambu buka sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, satu satunya di Manokwari. 

Selain itu, beliau adalah ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A )Papua Barat dan memfasilitasi korban kekerasan terhadap perempuan.

Di akhir serangkaian pertemuan, Mama Kambu mengingatkan pentingnya perubahan pelayanan pendidikan di Papua Barat. Memang pendidikan dasar di Papua dan Papua Barat jadi berantakan ketika misionaris tidak diizinkan lagi berada di wilayah ini.

Untuk itu, Mama Kambu mendorong agar kita mengembalikan pendidikan guru SD seperti sistem pada masa Orde Baru yang dimulai dari Sekolah Guru Bantu dan SPG bagi masyarakat asli Papua Barat agar terjawab persoalan akses yang memang sulit bila harus mengikuti sistem rekrutmen guru seperti saat ini. Bagi masyarakat Papua dan Papua Barat, sertifikasi guru, harus S1, dan lain lain itu berat.

Juga Mama Kambu menyarankan agar kita mengembangkan pendidikan di kampung-kampung dengan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar terutama pada tiga tahun pertama sehingga peserta didik tidak kaget, sebelum kemudian belajar bahasa Indonesia di kelas 4 dst. 

Beliau juga menyarankan pendidikan pola asrama bagi pelajar tinggkat SMP dan SMA, untuk mengurangi angka putus sekolah perempuan yang tinggi terutama pada usia 16-18 tahun. 

Apa yang disampaikan Mama Kambu telah kami diskusikan berulang selama lebih dari 10 tahun. Tapi isu itu terus ada, karena solusi yang ditawarkan kepada Papua dan Papua Barat mengikuti sistem pendidikan nasional. Padahal kita tahu Papua dan Papua Barat ini berbeda. Sangat berbeda.  

Dagangan mama mama yang ala kadarnya di Dok 5 Jayapura (Dokumentasi pribadi)
Dagangan mama mama yang ala kadarnya di Dok 5 Jayapura (Dokumentasi pribadi)
Siapapun yang bekerja di Papua perlu memahami bagaimana perempuan Papua memiliki tantangan soal jarak yang jauh dari satu tempat ke tempat lain. Guru perlu waktu beberapa hari untuk mengambil gaji melalui ATM. Tentu ini disertai mangkir.

Beberapa wilayah di pegunungan membuat masyarakat perlu membayar taksi Rp 300.000 untuk bisa membeli sebungkus Indomie. Sayur-sayuran yang ditanam dan dihasilkan mama-mama terpaksa busuk karena memang tidak ada transportasi, kecuali pesawat terbang, untuk membawa barang ke luar dan ke pasar. 

Juga, masyarakat termiskin, khususnya perempuan di perdesaan belum merasakan manfaat dari Otonomi Khusus (Otsus). Bahkan, kelompok perempuan mengidentikkan Otsus hanya memunculkan ekses, antara lain korupsi, 'sekadar' membeli miras dan membeli mobil baru, poligami karena laki-laki punya uang, meningkatnya kasus HIV/AIDs yang 'dibawa' ke perempuan dan keluarga, dan berbagai bentuk kekerasan kepada perempuan dan anak. 

Perempuan dan masyarakat termiskin tertinggal (ditinggal) dalam proses konsultasi penggunaan dana Otsus. 

Ilustrasi Hak Sipil Anak (Dokumentasi Pribadi)
Ilustrasi Hak Sipil Anak (Dokumentasi Pribadi)

Hak sipil masyarakat, khususnya perempuan dan anak masih rendah. Di 2004 hanya sekitar 27% anak anak punya akte kelahiran. Sayangnya, angka cakupan sulit dipantau karena tiadanya data. 

Padahal ini adalah sebagai bagian dari hak sipil yang harus diperjuangkan untuk anak anak Papua dan Papua Barat agar mereka menjadi bagian Nusantara. Seharusnya tidak perlu lagi birokrasi yang ribet. Semua anak Indonesia diberikan Akte Kelahiran tanpa syarat. 

Pembiaran Perdagangan Miras.
Pembiaran distribusi dan konsumsi miras adalah persoalan yang dihadapi keluarga dan perempuan. Di dalam keluarga, konsumsi miras biasanya merupakan bagian dari upaya membangun kembali romantisme laki-laki sebagai 'hero' yang di masa lalu memiliki peran untuk berperang. Namun, karena pendekatan pembangunan belum/tidak memberikan opsi kepada laki laki Papua untuk mengganti peran lamanya, maka miras menjadi solusi yang berakibat banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak muncul. 

Pada diskusi nasional eksploratif "Rencana Aksi Membangun Papua Damai" yang difasilitasi LIPI pada 17 Februari 2015, Komnas Perempuan menyampaikan hasil temuannya di 28 kabupaten di kedua Propinsi. Miras merupakan pemicu terjadinya kekerasan terhadap Perempuan. Ini dituliskan dalam "Anyam Noken Kehidupan. Papua Tanah Damai". 

Perempuan Papua melaporkan bahwa miras menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga dan juga perkelahian dan konflik antar kampong. Hal ini diakui oleh institusi yang bekejra di Papua, Polda dan Kodam Cendrawasih, dan masyarakat sipil yang berpartisipasi dalam konssultasi tersebut.

Beberapa kota dan kabupaten telah membuat Perda anti miras, tetapi distributor miras dan konsumen masih banyak. Tidak ada pula tindakan tegas dari pemerintah maupun aparat kepolisian.

Perempuan, Konflik dan Kekerasan serta Budaya
Bentuk kekerasan lain yang dialami perempuan adalah adanya sanksi perkawinan adat. Bila dalam lima tahun perempuan tidak mempunyai anak, maka ia dikembalikan kepada orangtuanya dengan denda babi sejumlah nilai mahar yang telah diberikan ketika menikah dulu.

Di masa tahun 2000 an (atau bahkan sampai saat ini) masih tercatat adanya adat 'iki palek' dari suku Dani. Adat ini menuntut perempuan memotong jarinya bila mereka mengalami kehilangan karena kematian suami, anak , orangtuanya. 

Pemotongan jari ini untuk menunjukkan kesedihan perempuan. Namun demikian, adat ini membuat perempuan wilayah ini tidak bisa menenun lagi, padahal menenun kain adalah pekerjaan utamanya. Beberapa media masih menuliskan kasus ini sampai dengan Juni tahun 2019.

Konflik antara mama-mama dengan negara dan/atau aparat. Konflik ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Konflik antara petugas pasar yang mewakili aparat pemerintah dengan mama-mama karena mama mama Papua dianggap liar mengakses area pasar sering terjadi. 

Padahal persoalan tidak mampunya Pemda mendesain pasar yang sesuai kebutuhan mama-mama Papua yang memilih di lantai tinimbang di los pasar seperti di Jawa. Juga tidak adilnya akses pada fasilitas pasar yang menjadi pemicu. Konflik di pasar ini tidak berhenti di sini.

Sering kita temui mama-mama sudah ditunggui oleh suaminya yang meminta hasil jerih payah mama-mama secara langsung di pasar untuk membeli miras. Ini sering menjadi pertengkaran dan konflik di pasar. Ini ditemukan di pasar kaget di depan KFC di jayapura maupun di pasar Yotefa di Jatapura.

Sejarah konflik dan pasca konflik di Papua juga meninggalkan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat keamanan. Anak korban relasi perempuan dengan aparat sering disebut sebagai 'anak rumput' karena terjadi di rerumputan. Ini menyebabkan stigmatisasi dan anak tidak bisa mendapatkan akta kelahirannya.

Repotnya, kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat bila dilaporkan kepada pimpinan hanya diselesaikan secara adat. Pelaku hanya disuruh membayar Rp 2 sampai 5 juta, bakan tidak jarang perempuan tidak bisa membuktikan dan akhirnya hanya menjadi peristiwa hidup semata (Laporan Komnas Perempuan 2017). 

Pada 17 Juli 2015 terjadi konflik di Tolikara. Karena konflik menyebabkan pembakaran dan mengenai masjid, kemudian dihembus sebagai konflik agama. Ini tentu membuat persoalan lebih rumit.

Selanjutnya terdapat pula beberapa konflik lain, termasuk yang terjadi di Paniai pada Oktober 2016. Juga konflik terjadi di Manokwari tanggal 22, 26 dan 27 Oktober 2016 antara komunitas Makasar dan Komunitas Papua di kampung Sanggeng, Kabupaten Manokwari.

Selama ini, konflik yang berulang selalu diselesaikan oleh aparat kepolisian dengan mengedepankan pendekatan keamanan. Laporan Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kasus semacam yang terjadi di Manokwari bukanlah peristiwa yang pertama.

Akhir akhir ini konflik antara kontraktor pembangunan atau perusahaan dengan masyarakat karena persoalan pembebasan tanah komunal (ulayat) sering terjadi. Penyebab utamanya bisa berbagai, termasuk sulitnya terjadi kesepemahaman tentang apa itu perjanjian jual beli lahan dan tenurial serta "resettlement". Politik 'Palang Pintu' sering dipakai masyarakat ketika mereka hadapi jalan buntu. 

Konflik dan Perempuan dalam Konteks Otsus. 
Undang undang Otonomi Daerah terkait bab Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua menetapkan bahwa rakyat Papua memiliki Majelis Rakyat Papua (MRP) yang terdiri dari sepertiganya adalah wakil masyarakat adat, sepertiganya adalah masyarakat gereja dan sepertiganya adalah dari kelompok perempuan. 

Peran MRP ini adalah, antara lain, untuk menyampaikan aspirasi serta pengaduan dari kelompok adat, agama, dan perempuan terkait hak masyarakat asli (UU 21/2001, pasal 19). Dengan demikian, keterwakilan perempuan memang kuat di dalam MRP.

Sebetulnya, masyarakat adat, gereja dan perempuan memiliki hak sebesar 8% dari dana Otsus. Implementasi dari penyaluran dana nampaknya hampir selalu bermasalah.

Sejak reformasi, sebetulnya isu konflik yang menggunakan argumentasi Papua Merdeka terjadi dalam ruang terbatas. Seringkali, masyarakat, khususnya perempuan merasa bingung dan marah karena Otsus tidak membawa kebaikan dan manfaat bagi kelompok termiskin dan perempuan.

Studi evaluasi atas implementasi Otsus yang dibuat peneliti Universitas Cenderawasih pada tahun 2011 menunjukkan bahwa masih terdapat 20 perangkat hukum yang belum dilaksankan oleh pemerintah pusat. Ini menyebabkan pembangunan wilayah Papua belum berjalan dengan baik.

Papua memang memiliki Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), yang dibentuk pemerintah masa SBY. Tujuannya adalah mengakselerasi pembangunan dan juga melakukan pengawasan agar UU Otsus dapat diimplementasikan dengan baik.

Persoalan Papua bukan hanya soal politik. Persoalan ekonomi juga perlu perhatian serius. Tidak memadainya lapangan kerja bagi masyarakat asli Papua menjadi persoalan. Selama ini masyarakat Papua bergantung pada pekerjaan sebagai pegawai negeri yang jumlahnya tentu tidak banyak. Pemogokan pekerja secara massal beberapa kali terjadi.

Bahkan di tahun 2012, masyarakat Papua sempat melakukan demonstrasi dan meminta referendum, karena tidak puas dengan pelaksanaan otonomi khusus.

Memang pemerintah perlu memperbaiki pola-pola pendekatan serta aturan hukum yang dirumuskan selama ini. Kalau tidak, maka Papua dan Papua Barat selamanya akan terus bergejolak. Ini disampaikan Muridan, peneliti LIPI. (VOA, 4 November 2011).

Saat ini hampir semua posisi penting di Papua dan Papua Barat telah dipegang oleh putra daerah. Ini tentu menuntut agar pengembangan kapasitas pejabat di kedua wilayah juga dilakukan dengan baik. Tampaknya, prosesnya juga tidak mudah dan tentunya adalah Kementrian Dalam Negeri yang perlu memastikan bahwa ini bisa dilakukan dengan baik.

Laporan Komnas Perempuan pada bulan mei 2015 menunjukkan bahwa perempuan dan anak perempuan di Wamena masih melakukan adat yang tidak dicatat, karena mereka tidak siap. Tidak siapnya pencatatan ini disebabkan karena masyarakat menganggap mereka sudah banyak dosa, sementara perkawinan gereja tentu menuntut mereka untuk bersih.

Banyak laki-laki tidak siap melakukan perkawinan gereja karena ini akan membuat mereka tidak bisa laki melakukan perceraian dan poligami. Ini disampaikan oleh Romo Joh penerima Yap Thiam Hien Award 2009 kepada Komnas Perempuan.

Repotnya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak penyelesaian dilakukan melalui adat. Ini membuat pelaku tidak jera. Ini pernah pula saya tuliskan dalam kasus kekerasan seksual berkelompok yang dialami anak SMP yang diselesaikan hanya dengan adat.

Papua Sebagai Bagian dari Wilayah Geografis Indonesia
Papua adalah suatu area yang luasnya adalah 316.553.074 km2. Kabupaten Jayapura saja wilayahnya adalah 14.390 km2, yang artinya lebih luas dari propinsi seperti Riau, Bali, Yogyakarta, Jakarta, Banten, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Sementara Jayawijaya adalah 2.331 km2. 

Jarak antara ibukota kabupaten Jayapura, Sentani, ke Jayapura adalah sekitar 20 km, sementara jarak antara Jayawiyaja dan Wamena adala 256 km. Tampaknya tidak jauh antara Jayapura dan Wamne, namun dalam hal transportasi, yang mencakup transportasi untuk bahan makanan dan bahan bakar, semuanya masih tergantung pada pesawat terbang.

Jayapura adalah wilayah pesisir, sementara Jayawijaya adalah wilayah pegunungan. Perlu dipahami bahwa tipologi sosial budaya di wilayah pesisir dan pegunungan maupun rural dan urban serta terkait penduduk asli Papua dan pendangan adalah berbeda.

Sementara itu, Papua Barat memiliki luas wilayah 97.024,27 km2, terdiri dari 1.945 pulay. Dua kota utama, Manokwari dan Sorong telah ada sebelum propinsi Papua Barat terbentuk.

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa organisasi terkecil di masyarakat Papua adalah klan, yang masing masing memiliki kelembagaan adat yang mengendalikan batas kepemilikan sumber daya, nilai/harga maupun persoalan persoalan pribadi, perkawinan, panduan moral, dan persoalan adat, termasuk resolusi konflik 'alernative dispute resolution'.

Dengan luas wilayah yang luas ini, sementara akses masyarakat pada transportasi juga terbatas, tentu dapat dibayangkan tantangan yang ada. Adanya pembangunan beberapa fasilitas jalan di Papua akhir akhir ini tentunya persoalan akses agak terbantu. Walaupun demikian, isu lain juga muncul dengan pembangunan infrastruktur yang cukup besar.

Bias dan Stigmatisasi 
Stigma terhadap orang Papua yang bersifat politik, misalnya dengan stigmatisasi sebagai OPM, maupun yang rasis, misalnya rambut keriting, kulit hitam, dan lain lain masih banyak ditemukan. Tiadanya atau kurang seriusnya perbaikan atau rehabilitasi relasi sosial antar komunitas dan perilaku pembiaran stigma membuat kekerasan akibat konflik antar komunitas terus berlanjut.

Memang, setiap kali terdapat konflik di Papua, media lokal, nasional maupun internasional akan menyorotnya.

Sayangnya, dukungan kerja lembaga PBB maupun lembaga serta Organisasi Masyarakat Sipil kepada Masyarakat Papua masih sering menimbulkan kecurigaan dan stigmatisasi seakan mereka bekerja untuk membantu kemerdekaan Papua atau bahkan mendukung OPM. 

Memang, Presiden Jokowi sangat terbuka untuk mendukung Papua. Namun, masih banyak kecurigaan di antara pejabat pemerintah nasional yang mencurigai ketulusan berbagai lembaga dan stafnya untuk bekerja di Papua. 

Ini saya tangkap dalam konsultasi para pihak di tingkat nasional. Adalah menyakitkan, karena kecurigaan tersebut juga ditujukan kepada pekerja seperti saya. Padahal jelas jelas, saya bekerja untuk PBB yang tentunya netral dan melakukannya untuk urusan kemanusiaan.

Penyelesaian berbagai konflik yang hampir selalu diselesaikan oleh polisi selaku aparat kemanan perlu ditilik ulang. Komnas Perempuan (2018) justru mencatat adanya beberapa tindakan dari petugas keamanan yang dapat disebut sebagai bentuk kekerasan pada saat melakukan penyisiran ke rumah-rumah masyarakat.

Stop Sudah Kekerasan dan Konflik yang ada di Papua. Perempuan dan Anak yang Paling Menderita
Perjuangan Perempuan Papua dalam mewujudkan martabat dan hak-hak dasarnya dihadapkan dengan berbagai tantangan. Tantangan tersebut antara lain bentuk kebijakan pemerintah yang belum menjawab kebutuhan perempuan, keterbatasan perempuan dan relasinya dengan Masyarakat Adat Papua.

Berbagai peraturan yang dilahirkan untuk melindungi perempuan dari tindakan kekerasanpun belum mampu melindungi perempuan untuk berkiprah dengan rasa aman di ruang publik maupun di dalam rumah tangga mereka. Suami di dalam rumah tangga bagaikan 'raja kecil' yang memiliki kuasa mengatur dan harus dilayani.

Gubernur selama masa Otsus mengupayakan fokus pembangunan serta alokasi dana untuk masyarakat Orang Asli Papua sesuai dengan dokumen Perencanaan Jangka Menengah Daerah menengah (RPJMD dan RENSTRA SKPD) maupun jangka pendek (RKPD dan RENJA SKPD).

Pemerintah provinsi Papua telah mulai melakukan pembebasan biaya pendidikan, biaya kesehatan serta pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat asli Papua. 

Karena keterbatasan data maka analisis pada umumnya hanya dapat menampilkan beberapa data terkait alokasi anggaran Otsus, namun sangat sedikit sekali menuliskan realisasi penggunaan anggarannya. 

Pembangunan infrastruktur yang digelar pemerintah pusat juga perlu diimplementasikan dengan kehati-hatian dan harus dilandasi pemahaman tentang situasi dan konteks Papua dan Papua Barat. 

Juga, dalam situasi politik devide et empera yang terus dihadapi Indonesia, berbagai hal bisa dipolitisir, termasuk isu di Papua dan Papua Barat. 

Pengalaman di masa yang lalu adalah harga yang mahal yang kita harus bayar. Untuk ke depan, kita semua berharap agar baik Pemerintah Provinsi Papua maupun pemerintah nasional memberikan upaya pemulihan korban baik pemulihan phisik, psikis maupun pemulihan relasi antar komunitas yang berkonflik.

STOP sudah kekerasan dan konflik yang ada di bumi Papua dan Papua Barat. Kita tak ingin melihat perempuan dan anak anak menderita.

Kita harus mampu menahan diri dan menyetop konflik. Konflik hanya menyisakan trauma yang mendalam bagi komunitas korban khususnya perempuan dan anak Papua.

*Tulisan ini adalah catatan dari pembelajaran atas studi dan kajian yang saya terlibat sebagai peneliti, penulis atau kontributor. Hasil tulisan ada pada Pustaka. 

Pustaka : Satu Dua Tiga  Empat Lima Enam Tujuh Delapan 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun