Jayapura adalah wilayah pesisir, sementara Jayawijaya adalah wilayah pegunungan. Perlu dipahami bahwa tipologi sosial budaya di wilayah pesisir dan pegunungan maupun rural dan urban serta terkait penduduk asli Papua dan pendangan adalah berbeda.
Sementara itu, Papua Barat memiliki luas wilayah 97.024,27 km2, terdiri dari 1.945 pulay. Dua kota utama, Manokwari dan Sorong telah ada sebelum propinsi Papua Barat terbentuk.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa organisasi terkecil di masyarakat Papua adalah klan, yang masing masing memiliki kelembagaan adat yang mengendalikan batas kepemilikan sumber daya, nilai/harga maupun persoalan persoalan pribadi, perkawinan, panduan moral, dan persoalan adat, termasuk resolusi konflik 'alernative dispute resolution'.
Dengan luas wilayah yang luas ini, sementara akses masyarakat pada transportasi juga terbatas, tentu dapat dibayangkan tantangan yang ada. Adanya pembangunan beberapa fasilitas jalan di Papua akhir akhir ini tentunya persoalan akses agak terbantu. Walaupun demikian, isu lain juga muncul dengan pembangunan infrastruktur yang cukup besar.
Bias dan StigmatisasiÂ
Stigma terhadap orang Papua yang bersifat politik, misalnya dengan stigmatisasi sebagai OPM, maupun yang rasis, misalnya rambut keriting, kulit hitam, dan lain lain masih banyak ditemukan. Tiadanya atau kurang seriusnya perbaikan atau rehabilitasi relasi sosial antar komunitas dan perilaku pembiaran stigma membuat kekerasan akibat konflik antar komunitas terus berlanjut.
Memang, setiap kali terdapat konflik di Papua, media lokal, nasional maupun internasional akan menyorotnya.
Sayangnya, dukungan kerja lembaga PBB maupun lembaga serta Organisasi Masyarakat Sipil kepada Masyarakat Papua masih sering menimbulkan kecurigaan dan stigmatisasi seakan mereka bekerja untuk membantu kemerdekaan Papua atau bahkan mendukung OPM.Â
Memang, Presiden Jokowi sangat terbuka untuk mendukung Papua. Namun, masih banyak kecurigaan di antara pejabat pemerintah nasional yang mencurigai ketulusan berbagai lembaga dan stafnya untuk bekerja di Papua.Â
Ini saya tangkap dalam konsultasi para pihak di tingkat nasional. Adalah menyakitkan, karena kecurigaan tersebut juga ditujukan kepada pekerja seperti saya. Padahal jelas jelas, saya bekerja untuk PBB yang tentunya netral dan melakukannya untuk urusan kemanusiaan.
Penyelesaian berbagai konflik yang hampir selalu diselesaikan oleh polisi selaku aparat kemanan perlu ditilik ulang. Komnas Perempuan (2018) justru mencatat adanya beberapa tindakan dari petugas keamanan yang dapat disebut sebagai bentuk kekerasan pada saat melakukan penyisiran ke rumah-rumah masyarakat.
Stop Sudah Kekerasan dan Konflik yang ada di Papua. Perempuan dan Anak yang Paling Menderita
Perjuangan Perempuan Papua dalam mewujudkan martabat dan hak-hak dasarnya dihadapkan dengan berbagai tantangan. Tantangan tersebut antara lain bentuk kebijakan pemerintah yang belum menjawab kebutuhan perempuan, keterbatasan perempuan dan relasinya dengan Masyarakat Adat Papua.