Selain itu, beliau adalah ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A )Papua Barat dan memfasilitasi korban kekerasan terhadap perempuan.
Di akhir serangkaian pertemuan, Mama Kambu mengingatkan pentingnya perubahan pelayanan pendidikan di Papua Barat. Memang pendidikan dasar di Papua dan Papua Barat jadi berantakan ketika misionaris tidak diizinkan lagi berada di wilayah ini.
Untuk itu, Mama Kambu mendorong agar kita mengembalikan pendidikan guru SD seperti sistem pada masa Orde Baru yang dimulai dari Sekolah Guru Bantu dan SPG bagi masyarakat asli Papua Barat agar terjawab persoalan akses yang memang sulit bila harus mengikuti sistem rekrutmen guru seperti saat ini. Bagi masyarakat Papua dan Papua Barat, sertifikasi guru, harus S1, dan lain lain itu berat.
Juga Mama Kambu menyarankan agar kita mengembangkan pendidikan di kampung-kampung dengan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar terutama pada tiga tahun pertama sehingga peserta didik tidak kaget, sebelum kemudian belajar bahasa Indonesia di kelas 4 dst.Â
Beliau juga menyarankan pendidikan pola asrama bagi pelajar tinggkat SMP dan SMA, untuk mengurangi angka putus sekolah perempuan yang tinggi terutama pada usia 16-18 tahun.Â
Apa yang disampaikan Mama Kambu telah kami diskusikan berulang selama lebih dari 10 tahun. Tapi isu itu terus ada, karena solusi yang ditawarkan kepada Papua dan Papua Barat mengikuti sistem pendidikan nasional. Padahal kita tahu Papua dan Papua Barat ini berbeda. Sangat berbeda. Â
Beberapa wilayah di pegunungan membuat masyarakat perlu membayar taksi Rp 300.000 untuk bisa membeli sebungkus Indomie. Sayur-sayuran yang ditanam dan dihasilkan mama-mama terpaksa busuk karena memang tidak ada transportasi, kecuali pesawat terbang, untuk membawa barang ke luar dan ke pasar.Â
Juga, masyarakat termiskin, khususnya perempuan di perdesaan belum merasakan manfaat dari Otonomi Khusus (Otsus). Bahkan, kelompok perempuan mengidentikkan Otsus hanya memunculkan ekses, antara lain korupsi, 'sekadar' membeli miras dan membeli mobil baru, poligami karena laki-laki punya uang, meningkatnya kasus HIV/AIDs yang 'dibawa' ke perempuan dan keluarga, dan berbagai bentuk kekerasan kepada perempuan dan anak.Â
Perempuan dan masyarakat termiskin tertinggal (ditinggal) dalam proses konsultasi penggunaan dana Otsus.Â