Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Konflik Apapun Soal Papua, Perempuan dan Anak Paling Menderita

30 Agustus 2019   12:04 Diperbarui: 7 Maret 2022   06:44 8019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Anak-anak pengungsi Nduga di sekolah darurat di Wamena (bbc.com)

Selain itu, beliau adalah ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A )Papua Barat dan memfasilitasi korban kekerasan terhadap perempuan.

Di akhir serangkaian pertemuan, Mama Kambu mengingatkan pentingnya perubahan pelayanan pendidikan di Papua Barat. Memang pendidikan dasar di Papua dan Papua Barat jadi berantakan ketika misionaris tidak diizinkan lagi berada di wilayah ini.

Untuk itu, Mama Kambu mendorong agar kita mengembalikan pendidikan guru SD seperti sistem pada masa Orde Baru yang dimulai dari Sekolah Guru Bantu dan SPG bagi masyarakat asli Papua Barat agar terjawab persoalan akses yang memang sulit bila harus mengikuti sistem rekrutmen guru seperti saat ini. Bagi masyarakat Papua dan Papua Barat, sertifikasi guru, harus S1, dan lain lain itu berat.

Juga Mama Kambu menyarankan agar kita mengembangkan pendidikan di kampung-kampung dengan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar terutama pada tiga tahun pertama sehingga peserta didik tidak kaget, sebelum kemudian belajar bahasa Indonesia di kelas 4 dst. 

Beliau juga menyarankan pendidikan pola asrama bagi pelajar tinggkat SMP dan SMA, untuk mengurangi angka putus sekolah perempuan yang tinggi terutama pada usia 16-18 tahun. 

Apa yang disampaikan Mama Kambu telah kami diskusikan berulang selama lebih dari 10 tahun. Tapi isu itu terus ada, karena solusi yang ditawarkan kepada Papua dan Papua Barat mengikuti sistem pendidikan nasional. Padahal kita tahu Papua dan Papua Barat ini berbeda. Sangat berbeda.  

Dagangan mama mama yang ala kadarnya di Dok 5 Jayapura (Dokumentasi pribadi)
Dagangan mama mama yang ala kadarnya di Dok 5 Jayapura (Dokumentasi pribadi)
Siapapun yang bekerja di Papua perlu memahami bagaimana perempuan Papua memiliki tantangan soal jarak yang jauh dari satu tempat ke tempat lain. Guru perlu waktu beberapa hari untuk mengambil gaji melalui ATM. Tentu ini disertai mangkir.

Beberapa wilayah di pegunungan membuat masyarakat perlu membayar taksi Rp 300.000 untuk bisa membeli sebungkus Indomie. Sayur-sayuran yang ditanam dan dihasilkan mama-mama terpaksa busuk karena memang tidak ada transportasi, kecuali pesawat terbang, untuk membawa barang ke luar dan ke pasar. 

Juga, masyarakat termiskin, khususnya perempuan di perdesaan belum merasakan manfaat dari Otonomi Khusus (Otsus). Bahkan, kelompok perempuan mengidentikkan Otsus hanya memunculkan ekses, antara lain korupsi, 'sekadar' membeli miras dan membeli mobil baru, poligami karena laki-laki punya uang, meningkatnya kasus HIV/AIDs yang 'dibawa' ke perempuan dan keluarga, dan berbagai bentuk kekerasan kepada perempuan dan anak. 

Perempuan dan masyarakat termiskin tertinggal (ditinggal) dalam proses konsultasi penggunaan dana Otsus. 

Ilustrasi Hak Sipil Anak (Dokumentasi Pribadi)
Ilustrasi Hak Sipil Anak (Dokumentasi Pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun