Tidak Mudah Temukan Buah Lokal yang Berkualitas dengan Harga TerjangkauÂ
Bagi kita yang bekerja, akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk berbelanja buah-buahan secara khusus untuk mengisi kulkas selama seminggu. Â
Dan, ini adalah waktu yang tepat bagi saya untuk mengunjungi Pasar Mayestik di Kebayoran Lama. Mayestik adalah pasar tradisional yang merupakan pasar favorit saya sejak lama. Ada yang berbeda ketika sudah dimodernisasikan.Â
Namun, syukurlah, di sana saya masih dapatkan buah-buahan lokal seperti mangga terbaik, Jeruk Keprok Tawangmangu, dan manggis. Bahkan, umbi umbian semacam Gembili dan Ganyong juga ada.Â
Sayangnya, kita tidak dengan mudah mendapatkan buah-buahan lokal yang kualitasnya sebaik di masa yang lalu. Juga, bila kita dapatkan buah lokal yang kita mau, biasanya harganya juga menjulang tinggi. Jadi, buah lokal yang baik menjadi barang mewah.
Sementara, di pasar tradisional lain, saya tidak dapatkan buah-buahan lokal yang berkualitas sama baiknya dengan yang dijual di Pasar Mayestik.Â
Nah, ketika kita memasuki toko buah-buahan seperti All Fresh dan Total, kita dapatkan buah-buahan lokal itu. Namun, harganya, alamak, mahal.Â
Memang, buah lokal sempat tidak diperdulikan sejak tahun 80an. Buah impor menjadi primadona. Anggur dan apel lebih mudah didapat daripada manggis.
Selain cueknya kita (saya maksud pemerintah) pada buah lokal di masa yang lalu, kita juga dipecundangi eksploitasi ekonomi dalam bentuk tata niaga buah Jeruk Tebas atau Sambas di area Pontianak.Â
Masa jaya Jeruk Sambas hanya sebentar, menyusul masuknya perusahaan Bambang lewat SK Gubernur Kalimantan Barat, Pardjoko Suryokusumo, No 296/1991 yang menunjuk PT Bima Citra Mandiri (BCM) sebagai Koordinator Pelaksana Tata Niaga Jeruk Siam Kalimantan Barat.
Walaupun perusahaan ini belakangan gulung tikar, namun perekonomian warga terlanjur hancur. Jeruk dibeli dengan harga yang sangat rendah, tak seperti sebelumnya jika dijual ke mana saja oleh warga.Â
Tak pelak lagi, banyak pohon jeruk yang ditebang oleh warga karena frustasi akibat rendahnya harga serta adanya serangan penyakit pohon jeruk. Perekonomian warga pun terpuruk.
Produksi buah-buahan Indonesia menunjukkan tren positif. Namun demikian, terdapat beberapa komoditas yang negatif pertumbuhannya. Sebut saja apel, jambu, sukun, dan markisa.Â
Tentu ini buah-buahan dengan skala yang sedang, bukan skala besar. Tokopedia, Bukalapak dan Blibli pun memasang iklan buah-buahan. Ini biasa terjadi pada buah mangga.Â
Saat ini kita menjadi sadar bahwa buah lokal lebih enak dari buah impor. Pada realitasnya, buah lokal secara relatif menjadi lebih mahal dari jenis makanan lainnya. Buah lokal yang berkualitas menjadi barang mewah, oleh karenanya.
Sayangnya, ketersediaan buah-buahan itu tidaklah memiliki musim yang jelas. Dulu kita mengenal musim mangga, musim duren, musim rambutan. Sekarang ini menjadi sulit ditebak.Â
Apakah Perubahan Iklim Berpengaruh Pada Buah-buahan?Â
Para ahli sepakat berpendapat bahwa wilayah tropis akan menderita lebih dahulu dengan adanya perubahan iklim, walaupun skala perubahannya akan lebih ringan dibandingkan dengan wilayah lain di dunia.
Penyebabnya kompleks. Pertama, pada umumnya masyarakat di wilayah ini lebih miskin daripada mereka yang hidup di sub-tropis. Kedua, masyarakatnya sangat tergantung pada sumber daya alam. Ketiga, perbedaan temperaturnya pada iklim berbeda sangat tipis sehingg kerentanan mudah terjadi.
Studi yang dilakukan oleh Gerhard Fischer, Fernando Ramrez, and Fnor Casierra-Posada tentang "Ecophysiological aspects of fruit crops in the era of climate change - A review" menunjukkan bahwa kemarau yang berkepanjangan akan memengaruhi produksi buah-buahan kita, karena beberapa alasan:
- Fisiologi tanaman buah-buahan akan terpengaruh dalam hal pertumbuhan, produksi, dan kualitas buah karena perubahan iklim. Paparan matahari yang memfasilitasi proses fotosintesis yang berlebihan akan menyebabkan terbakar matahari. Peningkatan temperatur akan mengakselerasi proses siklus tanaman, memberikan stres karena kurang air dan radiasi yang tinggi.
- Buah-buahan lebih cepat matang. Studi menunjukkan bahwa ketika kemarau lebih panjang, pohon buah-buahan yang sedang berbuah akan membuat buah-buahan itu lebih cepat matang sekitar 2 minggu lebih cepat. Namun, ketika kemarau masih juga terjadi ketika sudah usai panen, maka proses pembungaan kembali akan terhambat atau bahkan tidak terjadi.
Jadi, secara keseluruhan dapat digambarkan bahwa produksi pada saat buah-buahan menuju matang tidak terganggu, yang terganggu adalah pada saat akan diharapkan berbunga dan berbuah lagi. Alhasil, kemarau yang panjang bisa menyebabkan buah-buahan hanya berbuah sekali saja selama setahun. Ini tentu tergantung dari jenis buahnya. Namun, tentu akan menyebabkan produksi secara keseluruhan per tahunnya bisa berkurang.
Pada kondisi terlalu banyak hujan, terdapat pula persoalan. Potensi hama semacam ulat bulu dan jamur akan mengganggu pertumbuhan tanaman buah. Buahpun tidak manis.
Dampak perubahan iklim pada buah lokal kita memang bervariasi, berbeda pada buah yang berbeda.
Di tahun 2018, para petani Lampung yang biasanya melakukan panen raya manggis dan durian pada bulan Maret sampai April, terpaksa baru melakukannya pada bulan Desember. Cuaca yang tidak dapat diprediksi ini menjadikan produksi sulit pula dikelola pemasokannya.
Dinas Pertanian Tanggamus, mengatakan bahwa petani buah Tanggamus tidak bisa melaksanakan panen raya pada 2018 dan hanya sebagian pohon manggis dan durian saja yang berbuah (Ekuatorial.com).Â
Rupanya, dalam jangka pendek respon tanaman buah pada perubahan iklim berbeda-beda. Ada yang mengalami kerugian, namun terdapat pula yang untung.
Hal serupa dikemukakan oleh Tumiar Katarina Manik, peneliti klimatologi. "Tanaman hortikultura lebih peka terhadap suhu dan kelembaban" (Ekuatorial.com).
Hal ini disebabkan oleh musim hujan yang datang lebih awal, yaitu bulan Agustus, sehingga proses pembungaan tidak maksimal. Juga, umumnya para petani buah kurang merawat pohon manggis dan durian secara intensif.Â
Namun, situasi buah manggis dan durian yang membutuhkan waktu sekitar dua bulan berturut-turut kondisi panas tanpa hujan untuk berbunga dan berbuah jadi sulit ketika terjadi pergantian musim yang berubah atau intinya terjadi perubahan iklim.
Untuk kasus Apel Batu atau Apel Malang, misalnya, produksi sangat dipengaruhi oleh teknik budidaya, kesuburan tanah, pengendalian hama, penyakit tanaman, pengendalian gulma, dan kondisi iklim. Memang, seperti buah lainnya, unsur iklim yang sangat memengaruhi produksi apel adalah temperatur dan curah hujan.
Tanaman apel menghendaki temperatur rendah dan curah hujan yang tidak terlalu tinggi. Adanya perubahan temperatur dan curah hujan di wilayah kota Batu sangat berpotensi terhadap perubahan produksi apel di wilayah tersebut.
Jadi, syarat tumbuh tanaman apel adalah antara lain: 1) curah hujan yang ideal adalah 1.000 sd 2.600 mm/tahun, dengan curah hujan 110 - 150 hari/tahun dan bulan basah adalah 6 sd 7 bulan dan bulang kering 3 sd 4 bulan. Curah hujan yang tinggi saat berbunga akan menyebabkan bunga gugur sehingga tidak dapat menjadi buah.Â
2) Tanaman apel membutuhkan cahaya matahari yang cukup antara 50 - 60% setiap harinya, terutama pada saat pembungaan;Â
3) Temperatur yang sesuai berkisar antara 16 - 27 derajat Celsius;Â
4) Kelembaban udara yang dikehendaki tanaman apel sekitar 75 - 85%.;Â
5) Tanaman apel dapat tumbuh dan berbuah baik pada ketinggian 700 - 1200 m dpl dengan ketinggian optimal 1000 - 1200 m dpl produktivitas dan produksi apel dengan temperatur bernilai positif (Soelarso, 1996).
Hal ini menunjukkan bahwa sampai batas tertentu (hingga sekitar 22.2 derajat C), maka adanya peningkatan temperatur masih dapat meningkatkan produktivitas tanaman apel. Namun ketika temperatur makin meningkat, maka produksi tanaman apel tetap atau malah akan berkurang.
Karena penurunan produksi apel, beberapa petani sudah berpindah ke komoditas lain seperti jeruk. Memang faktor dukungan pemerintah yang masih sering lemah menjadikan petani seakan tidak ada solusi lain selain pindah komoditas.
Mangga Gincu Majalengka
Mangga Gincu dari Majalengka memang unik. Ia bukan jenis mangga terbaik, tetapi buahnya yang berbau wangi dan rasanya yang segar meski berserat adalah rasa khasnya. Dari suatu studi di Kecamatan Panyingkiran Majalengka, keluhan bahwa perubahan iklim turut mengganggu produksi Mangga Gincu juga dicatat.
Pada umumnya petani baru menyadari adanya persoalan ketika terjadi persoalan kekurangan atau kelebihan intensitas hujan sudah terjadi.Â
Sebetulnya petani tidak menganggap perubahan iklim bila dampaknya tidak signifikan. Namun, ketika terlalu banyak hujan dan bunga rontok serta buah busuk atau rasa buah tidak manis, dan serangan hama menjadi banyak karena udara lembab, ini tentu menjadi kerugian petani.
Ketika kekurangan air, tanaman manga juga menjadi sulit berbunga dan tidak maksimal pembuahannya. Jadi, pergeseran musim itu merugikan petani.
Mangga Harum Manis Probolinggo
Mangga Harum Manis dari Probolinggo, menurut saya adalah yang terbaik. Aroma dan teksturnya sempurna. Saya kira ini mangga terbaik. Sekalipun kita bisa dapatkan mangga Thailand di banyak negara, tetapi rasa dan aromanya berbeda dengan mangga Harum Manis dari Probolinggo.
Mangga jenis ini akan lezat dinikmati dengan mengiris separuhnya dan kita buat irisan menyilang seperti yang kita sering sebut "rumah tawon" seperti pada gambar di atas.
Dari penelitian yang melibatkan 41 responden yang semuanya petani mangga, terdapat lebih dari separuh yang memiliki pemahaman baik tentang perubahan iklin, sementara sekitar seperempat memahami secara baik, dan sisanya kurang paham.
Pisang Lampung
Kita coba lihat apa yang terjadi di Lampung terkait perubahan iklim. Beberapa tulisan di media menyebutkan bahwa poduksi pisang di wilayah Lampung berkurang ketika terjadi pergeseran musim. Ini kemungkinan juga menjadi bagian dari perubahan iklim.
Studi yang dirilis dalam jurnal Philosophical Transactions of the Royal Society B, menyebutkan bahwa perubahan iklim membuat infeksi penyebaran penyakit pada tanaman berupa jamur meningkat.Â
Di Honduras dan di wilayah Amerika Latin lainnya, jamur Black Sigatoka ditemukan meningkat karena perubahan musim dan iklim. Jamur ini mengurangi produksi pisang (Newsweek, 7 Mei 2019).
Yang menarik, petani di wilayah Heunghae, wilayah tenggara Korea Selatan justru bisa menghasilkan pisang dengan adanya perubahan iklim.Â
Ini karena Korea yang biasanya dingin karena beriklim sub-tropis berubah lebih hangat. Korea Selatan bahkan mencatat bisa menghasilkan pisang sebanyak 50 kilogram per pohonnya.Â
Merekapun mencatat bahwa pisang produksi Korea Selatan dinyatakan mengandung gula lebih tinggi dari pisang impor mereka.
Dilema DurianÂ
Di beberapa wilayah Indonesia seperti Lampung, pergantian musim yang tidak biasa dilaporkan menyebabkan produksi durian berkurang. Ini ada di banyak media.Â
Namun, lain halnya di Malaysia. Bagi Malaysia, durian punya dilema. Di satu sisi adanya perubahan iklim membuat jumlah polinasi berkurang karena flying fox atau semacam musang terbang yang biasa membantu pembuahan bunga di pohon betina yang mendapat pollen dari pohon jantan terganggu.Â
Namun, saat ini Malaysia membuka perkebunan durian secara besar-besaran untuk merespons permintaan yang meningkat pada durian yang dianggap sebagai the King of Fruit.Â
Akibatnya terdapat lahan yang sebelumnya adalah wilayah hutan kemudian menjadi kebun durian. Ini dinilai oleh peneliti kelompok konservasi Rimba akan berkontribusi pada pemanasan global.
Tentu ini perlu jadi pertimbangan kita untuk memilih steategi.Â
Adakah Solusi adan Alternatif?
Memang, saat ini produksi buah di Indonesia belum optimal. Ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, memang tidak banyak sentra buah yang dikembangkan.Â
Ini memengaruhi produktivitas dan kualitas buah. Di sisi lain, memang pengembangan sentra buah bisa berpotensi untuk berkontribusi pada pemanasan global seperti di Malaysia, bila wilayah sebelumnya adalah hutan.
Kedua, petani jarang melakukan budidaya yang memadai untuk menyuburkan pohon buah-buahannya. Pupuk jarang diberikan.
Memang banyak kalangan, baik petani, pejabat maupun kalangan universitas yang menganggap pergeseran musim tidak ada hubungannya dengan perubahan iklim.Â
Namun, karena hal ini disertai dengan cuaca ekstrim, memang kesadaran para pihak tentang kemungkinan adanya dampak perubahan iklim pada pertumbuhan dan produksi serta kualitas buah-buahan perlu menjadi pertimbangan.
Adaptasi petani tentu terjadi dan terus dibutuhkan, seperti upaya menanam buah-buahan secara organik dan berkelanjutan.Â
Pustaka : 1; 2;Â 3;Â 4;Â 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13 ; 14; 15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H