Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Amuk Massa dan "People Power" Itu Beda Pelaku, Masyarakat Sipil di Mana?

22 Mei 2019   11:19 Diperbarui: 23 Mei 2019   07:19 3620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bay Ismoyo/AFP/Getty Images

Perusuh Sedang Bekerja Menghancurkan Negeri Ini
Saya sebetulnya kurang berselera untuk mengomentari perdebatan perhitungan aktual Pemilu 2019, yang kemudian diikuti adanya kerusuhan. Namun, ada rasa salah pula bila saya tak ungkapkan sedikit apa yang saya tahu dan pikirkan. 

Membingungkan dan mengerikan menyaksikan demonstrasi yang lebih tepat dikatakan sebagai amuk massa 'amok' atau kerusuhan yang terjadi di Jakarta sejak siang kemarin 21 Mei dan juga di Pontianak pada tanggal yang sama. 

Amok sendiri punya arti "behave uncontrollably and disruptively", bertindak tidak terkontrol dan mengganggu. Anehnya, beberapa elit politis pendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, antara  lain Amin Rais mengajak masyarakat mengadakan 'people power'. Bahkan, Prabowo Subianto dan  Titi Suharto serta elit politis pendukungnya mengajak turun ke jalan untuk merespons hasil penghitungan riil dari Pemilu 2019 yang dianggap curang. 

Ada rasa kecewa, marah dan sekaligus geli melihat Amin Rais yang berupaya meyakinkan masyarakat bahwa yang ia lakukan saat ini sama dengan yang ia lakukan pada Mei 1998. Tentu beda, pak Amin. Di tahun 1998, Amin Raislah yang membatalkan ssalah satu dari sekian rencana demo karena alasan keamanan masyarakat di tahun 1998. Tetapi, di Mei 2019 ini, nampak sekali bahwa narasi yang ia angkat kedodoran. 

Dan, ketika terjadi 'amok', kerusuhan dengan perusakan, yang membawa 6 orang korban meninggal, persekusi jurnalis perempuan, pembakaran 11 mobil di depan asrama Brimob, penjarahan mobil polisi di Slipi, dan lain lain, lalu elit politis tersebut di atas mengatakan di depan publik bahwa mereka memutuskan untuk menempuh jalan ke Mahkamah Konstitusi terkait laporan kasus kecurangan Pemilu 2019.

Tidakkah terlambat mereka katakan "abort. abort. abort' (Batalkan. Batalkan. Batalkan). Atau, ini hanya untuk cuci tangankah? Sekelompok masyarakat sudah di jalan dan melakukan keributan dan kerusuhan. 

Aparat yang Berupaya Menahan Perusuh (Bay Ismoyo, AFP, Getty Image)
Aparat yang Berupaya Menahan Perusuh (Bay Ismoyo, AFP, Getty Image)
Walaupun tidak menonton TV secara penuh, semalam saya menyaksikan bahwa yang terjadi jelaslah bukan demonstrasi tetapi amuk massa. Banyak laki laki melempar batu, bom molotov, meneriakkan kata kata kasar, memancing kemarahan Polri, dan membakar mobil mobil yang diparkir di depan Asrama Brimob di KS Tubun Petamburan. Perusakan juga menjalar ke Tanah Abang sehingga Pasar tidak beroperasi. Juga, stasiun Tanah Abang ditutup. 

Apa yang terjadi kemarin jelas bukanlah 'People Power' seperti yang terjadi pada tahun 1998. Di tahun 1998, masyarakat sipil atau 'civil society' mendorong perubahan melalui 'People Power', gerakan masyarakat sipil untuk membuat perubahan politik. Sementara semalam dan sampai siang ini kita dipertontonkan pada tabiat 'uncivilized society', masyarakat tidak beradab. 

Baiklah, kita diskusikan apa dan siapa itu masyarakat sipil?. Saya sempat menulis hal ini pada bulan Februari 2019, namun saya merasa perlu angkat lagi perbedaan mendasar dari 'civil society' dan 'uncivilized society'. 

Apa itu masyarakat sipil 'Civil Society'? Apa itu 'Uncivilized Society'? Siapa mereka? 
Definisi masyarakat sipil yang dikembangkan oleh Mansyur Faqih (almarhum), Zbigniew Rau, Han Sung-Joo, atau Kim Sinhyuk adalah masyarakat yang beradab dan berbudaya. Mereka membangun, menjalani serta memaknai kehidupan bermasyarakat dengan beberapa nilai utama. 

Nilai utama tersebut, antara lain menjunjung tinggi hak asasi, berkemajuan dan berpengetahuan, melek teknologi, patuh hukum, mampu mengendalikan diri, memiliki kemandirian dan solidaritas serta mengakui norma norma budaya.

Untuk itu masyarakat sipil perlu memiliki wilayah publik untuk mengemukakan pendapatnya. Mereka demokratis dan tidak membedakan masyarakat berdasarkan jenis kelamin, suku, ras, dan agama. Tentu mereka harus santun dalam berinteraksi, bersikap toleran dan memiliki rasa keadilan.

Konsep masyarakat sipil bukan barang baru. Cicero, sang orator Yunani Kuno telah mengemukakannya di tahun 106-43 SM tentang masyarakat sipil sebagai komunitas politik yang beradab, berkode hukum, dan memiliki kewargaan serta sosial budaya. Selanjutnya, dalam Piagam Madinah, suatu konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia, menyebut soal hak-hak sipil atau hak asasi manusia dalam konsep masyarakat madani.

Dalam perjalanan waktu, konsep ;civil society' di Eropa muncul pada masa pencerahan Renaissance (1776), yang mana kekuatan masyarakat sipil dilihat melebihi negara. Ini kemudian berkembang sampai masa Revolusi Perancis (1789) dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948).

Bagiamana dan di Mana Masyarakat Sipil Kita?
Di Indonesia, perjuangan masyarakat madani dimulai pada awal pergerakan kebangsaan yang dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999). 

Soetan Syahrir mendapat tindakan represif, baik dari rezim orde lama maupun rezim orde baru. Pada pemakaman Soetan, Bung Hatta berkata dalam pidatonya "Ia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka. Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka".

Di masa Orde Baru (1966 sampai dengan 1998), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) banyak berdiri. Ini adalah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela, nirlaba, dan ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.  

LSM pertama di Indonesia adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH), berdiri tahun 1971. Adnan Buyung Nasution adalah salah satu pendirinya. LBH muncul untuk mengadvokasi kasus masyarakat kecil pada masanya, seperti kasus Simprug, kasus pembangunan Taman Mini, pembangunan Lubang Buaya dan dianggap sebagai ibu dari banyak LSM karena melahirkan Kontras dan ELSAM. Dalam perkembangannya, LSM merepresentasikan OMS. 

Terdapat bayak perubahan menuju demokrasi saat pemerintahan Suharto jatuh pada 1998.  Masyarakat sipil tumbuh, diwakili oleh lahirnya LSM, yang sering menyebut dirinya organisasi masyarakat sipil (OMS). Pengaruh global memberi kesempatan atas kelahiran mereka, khususnya dalam bentuk dorongan pada pelaksanaan hak, dan penguatan kelembagaan serta mekanisme akuntabilitas. OMS lama dan baru saling berdinamika dan bekerja agar suara mereka terdengar.

Perpindahan kekuasaan dari Order Baru kepada Habibie dinilai memberi ruang untuk membangun landasan dan kerangka baru dalam demokratisasi. Namun, masa transisi dengan presiden Gus Dur, Megawati dan SBY tidaklah mudah.  

Pemerintah transisi membentuk koalisi pelangi, melibatkan sebagian besar partai di parlemen. Konflik Koalisi Pelangi diselesaikan di belakang layar. Adalah presiden SBY yang melibatkan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) dalam proses demokrasi. SBY menyebutkan bahwa Islam yang bergandengan tangan dengan demokrasi di Indonesia dapat menjadi model bagi negara negara di Arab yang sempat berdinamika. 

Wajah militer jadi bagian partai politik, dan memberi pengaruh secara informal pada jalannya roda politik. Sayang, era ini gagal melawan korupsi dan penegakan hukum.

Pada tahun 2005, Munir sang pejuang HAM untuk penculikan aktivis yang diduga dilakukan Tim Mawar dan Kopasus meninggal dibunuh dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. 

Sampai saat ini kasusnya tidak terkuak, sementara YLBHI pecah. Munarman yang sempat menjadi tim Kontras untuk isu Aceh dan menjabat sebagai Ketua YLBHI dan dipecat pada 2006 karena menolak nilai Pancasila memilih membentuk Sistem Khilafah melalui Front Pembela Islam (FPI). Ini suatu bencana. 

Gagap peran masyarakat sipil dalam masa trasisi terus berjalan. Ketidakpastian akan peran baru ini menyebabkan disfungsi kerja OMS, yang hanya diwakili LSM.  LSM sulit berkontribusi karena hadapi persoalan akuntabilitas. Lembaga politik demokrasi seperti parpol, parlemen, dan penegak hukum rentan dimanipulasi dengan cara kotor dan dengan kekerasan.

Pemerintahan Jokowi yang mendorong reformasi administrasi dianggap membawa angin segar di dunia politik. "Kawal Pemilu' yang melibatkan lebih dari 700 orang relawan mengawasi hasil Pemilu melalui Facebook dan sukses menghindarkan Pilpres 2014 dari kecurangan. 

Hampir semua LSM berbasis HAM mendukung Jokowi kala itu. Mereka kuatir bila Prabowo menang maka akan menjadi pemimpin otoriter. Apalagi Prabowo dianggap bertanggung jawab pada banyak kasus pelanggaran HAM, penculikan aktivis di masa Suharto dan 'May Riots 1998' yang melibatkan penjarahan dan perkosaan ratusan perempuan dari etnis Cina.

Namun, masyarakat sipil di masa pemerintahan Jokowi bukan tanpa tantangan. Perpecahan muncul di antara kelompok agama, mahasiswa dan juga anggota OMS. Pengaruh kelompok elit kepada kelompok kelompok di masyarakat sipil menyebabkan fragmentasi, seakan gambarkan ada perpecahan dalam masyarakat sipil. Sistem Khilafah berkembang dan menguat di beberapa wilayah. 

Media sosial penuh ujar kebencian dan berita bohong. Beberapa LSM, termasuk YLBHI, ELSAM dan AMAN menyatakan golput pada Pilpres 2019, menganggap pemerintahan Jokowi tak menepati janji untuk melindungi HAM masyarakat pinggiran.

Diakui, pertumbuhan OMS cepat. Pada tahun 2005 tercatat sekitar puluhan ribu OMS (Hans Antlv, et ALL, 2005). Sementara pada tahun 2018 tercatat 390.290 OMS (Indonesia Civil Society Forum 2018). Khusus untuk LSM, SMERU mencatat 2.848 organisasi ada di seluruh Indonesia (Maret 2017). Ini belum termasuk 40 serikat pekerja di tingkat nasional, 300 serikat pekerja di tingkat lokal, dan lebih dari 1000 asosiasi pekerja di tingkart perusahaan. Organisasi keagamaan, lembaga penelitian, kelompok kerja dan pemikir juga bertumbuh. Ini merupakan lompatan karena sebelum 1998 hanya terdapat satu organisasi buruh dan satu organisasi petani, dan mereka dalam kontrol pemerintah.

Masa transisi masyarakat sipil di Indonesia tak bisa dipisahkan dari pengalaman represi selama 30 tahun masa Orde Baru. Sayangnya, posisi posisi strategis yang pada awalnya dianggap sebagai kesempatan dan harapan akhirnya terganjal persoalan gagap peran, lemah akuntabilitas dan lemah kapasitas. Upaya upaya untuk memperbaiki sudah dilakukan, namun kelemahan OMS dinilai terlalu banyak.

Studi SMERU (2017) merangkum kelemahan kritis OMS, yang antara lain 1) Orientasi berfokus di perkotaan saja; 2) sifat elitisnya, sehingga dewan eksekutif dan pengawas masih diduduki pendirinya; 3) massa mengambang; 4) OMS tidak jelas kontribusinya pada proses demokratisasi dan politik dan; 5) bekerja secara sektoral, tak memiliki kepasitas spesialisasi. 

Betapa rindu kita pada masyarakat sipil yang kuat dan solid menolak praktek praktek yang melanggar HAM.  Kapan masyarakat sipil bisa memenangkan kekuatan di negeri ini? 

Siapa Perusuh Itu?
CIVICUS meluncurkan hasil pantauan atas ratusan negara dalam laporan tahun 2018 nya pada Januari 2019 yang lalu dan mencatat adanya persoalan sistemik serius yang mendera ruang ruang masyarakat sipil. 

Musuh masyarakat sipil yang terbesar adalah pelanggar HAM dan keadilan sosial. Musuh musuh itu makin kuat, dan mereka seakan telah menang, terutama dengan penggunaan dan rekayasa teknologi digital. Merekapun bergerak seakan tak terganjal pendanaan. 

Kelompok masyarakat, dan khususnya kelompok elit politik tertentu membayar kelompok dan organisasi yang tidak beradab 'uncivilized society' untuk mengganggu masyarakat sipil yang hendak menegakkan HAM yang dirativikasi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). 'Uncivilized society' inilah yang jadi perusuh kita. 

Dengan mengikuti peristiwa yang baru saja terjadi di Jakarta dan Pontianak, kita semestinya perlu memahami siapa melakukan apa. Ini penting agar tidak ada masyarakat melakukan dukungan kepada 'uncivilized society', yang jelas melanggar aturan dan HAM.  

Pustaka : 1) Kerusuhan Mei 2019 2). Studi Masyarakat Sipil; 3) Masyarakat Sipil; 4) Trend Masyarakat Sipil

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun