Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Seberapa Kita Kenal Kalimantan, Ibu dari 3 Calon Ibu Kota Baru?

9 Mei 2019   07:36 Diperbarui: 26 Agustus 2019   23:38 3754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesuguhan di Rumah Betang Sungai Utik (dokumentasi pribadi)

Ketika VOC tutup, penguasaan sumber daya alam masih berjalan dan selanjutnya dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia yang memberikan konsesi penguasaan lahan kepada usaha swasta. Ini memengaruhi tata guna lahan atau tenurial di wilayah Kalimantan.

Banyaknya konflik tenurial di Kalimantan bersumber dari kasus lama yang belum diselesaikan, kemudian muncul lagi konflik baru. Ketidakpastian areal kawasan hutan merupakan salah satu yang menghambat efektivitas tata kelola hutan di Indonesia.

Selama ini, terutama pada masa Orde Baru, negara memperlakukan hutan Kalimantan semata sebagai faktor produksi. Jadi, hutan dilihat sebagai sebuah unit kesatuan, dengan keteraturan produksi dalam rangka untuk menghasilkan efisiensi pengelolaan untuk memperoleh keuntungan bagi negara dan pelaku bisnis atau untuk mengakumulasi modal (Peluso 1992).

Cara pandang ini membuat kebijakan diambil sesuai dengan tujuan tersebut di atas, yaitu membatasi akses masyarakat terhadap kayu dan hasil hutan. Ini termasuk membuat aturan yang membatasi kegiatan di hutan yang telah dikuasai. 

Negara juga melakukan penentuan jenis-jenis kayu bernilai ekonomi tinggi melalui inventarisasi tegakan, membagi hutan menjadi blok-blok (petak) hutan yang berakibat adanya eksploitasi hutan sistematik. Selanjutnya, perusahaan merekrut pekerja upahan untuk melakukan penjagaan dan eksploitasi hutan.

Padahal, hutan tak lepas dari unsur keberadaan manusia, masyarakat lokal dan adat yang hidup dan bermukim bergenerasi di wilayah tersebut sejak lama, bahkan sebelum aturan negara diberlakukan. Konteks kawasan hutan perlu ditempatkan dalam pola pikir tata ruang dan interaksi antar unsur.

Persoalan ketidakpastian tata batas hutan ini tidak hanya menimpa masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. 

Di tingkat lapangan, batas yang berupa patok batas hutan juga seringkali tidak jelas sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara.

Adanya dualisme dalam penataan guna tanah juga merupakan potensi pemicu adanya konflik. Di satu sisi, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengatur izin kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah. 

Sementara untuk area di luar kawasan kehutanan, yang disebut dengan Area Peruntukan Lain (APL) diatur kewenangannya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Salah satu artikel saya tentang hutan Kerangas adalah salah satu contoh bentuk APL yang kita bicarakan.

Bila disarikan, konflik dapat berasal dari beberapa hal. Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) melalui Mongabay.co.id membagi bentuk konflik-konflik sebagai berikut:

  • Konflik antara masyarakat adat dengan Kemenhut, misalnya dalam penetapan wilayah adat sebagai kawasan hutan negara.
  • Konflik antara masyarakat vs Kemenhut vs BPN. Ini bisa terjadi ketika terjadi penerbitan bukti hak atas tanah pada wilayah yang diklasifikasikan sebagai kawasan hutan.
  • Konflik antara masyarakat transmigran vs masyarakat (adat/lokal) vs Kemenhut vs pemerintah daerah vs BPN. Konflik ini bisa terjadi karena program transmigrasi yang dilakukan di kawasan hutan
  • Konflik antara masyarakat petani pendatang vs Kemenhut vs pemerintah daerah. Ini bisa terjadi ketika terdapat gelombang petani pendatang yang memasuki kawasan hutan dan melakukan aktivitas pertanian di dalam kawasan tersebut.
  • Konflik antara masyarakat desa vs Kemenhut. Misalnya konflik karena kawasan hutan memasuki wilayah desa.
  • Konflik antara calo tanah vs elit politik vs masyarakat petani vs Kemenhut vs BPN. Misalnya konflik karena adanya makelar/calo tanah yang umumnya didukung oleh ormas/parpol yang memperjualbelikan tanah kawasan hutan dan membantu penerbitan sertifikat pada tanah tersebut.
  • Konflik antara masyarakat lokal (adat) vs pemegang izin. Meskipun ini terjadi akibat Kemenhut melakukan klaim secara sepihak atas kawasan hutan dan memberikan hak memanfaatkannya kepada pemegang izin, seringkali tipologi ini juga dipicu karena pembatasan akses masyarakat terhadap hutan oleh pemegang izin.
  • Konflik antar pemegang izin kehutanan dan izin-izin lain seperti pertambangan dan perkebunan.
  • Konflik karena gabungan berbagai aktor 1-8.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun