Peristiwa dan informasi yang disampaikan oleh Juru bicara KPK Febri Diansyah tentang penangkapan Romi bersama empat orang lain dalam OTT sedikitnya mengguncang negeri. Media menuliskan tentang keluarga Romi yang meyakini bahwa Romi tidak mungkin melakukan korupsi seperti tuduhan dari KPK (okezone.com).
Sandiaga Uno diberitakan kaget mendengar Romi ditangkap KPK. Sandi melihat sosok Romi sebagai politikus muda yang cukup fenomenal dan dekat dengan kalangan muda. Sebagai cawapres ia berjanji akan memperkuat KPK (CNN.com).
Sebagian masyarakat melihat penangkapan atas Romi adalah jebakan. Kemudian merebak spekulasi bahwa ini adalah permainan politik. Kubu Jokowi hal ini dilihat sebagai tidak adanya tebang piliih dan tidak ada pandang bulu. Sementara pihak lawan politik Jokowi menunjukkan hal ini sebagai lubang (arena penyerangan).
Apakah memang Romi tak pantas dianggap melakukan tindak korupsi? Ataukah pemahaman kita tentang apa itu korupsi memang masih berbeda beda? Saya tidak hendak berteori dan berkonsep ria, tetapi situasi yang terjadi menggelitik hati saya untuk sedikit mengurutkan pengertian dan bentuk korupsi, dan untuk kemudian melihat penyebab penyebabnya. Â
Transparency International (TI) mendefinisikan korupsi sebagai "the abuse of entrusted power for private gain", atau memanfaatkan kekuasaan yang telah dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Ini bisa dikategorikan dalam korupsi besar, kecil dan politik. Besaran uang juga mempengaruhi kategori korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merativikasi konsep dan bentuk tindak korupsi yang dicanangkan oleh TI dan  the United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Antikorupsi PBB. Rativikasi tersebut diterjemahkan dan dicakup dalam UU NO.31/1990 jo UU NO.20/2001 dan telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi dapat dikelompokkan dalam tujuh kelompok.
Pertama, tindak korupsi yang merugikan keuangan negara. Pada umumnya korupsi ini dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai jabatan dalam instansi pemerintah. Mereka mencari untung dengan melawan hukum dan merugikan negara, menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
Kedua adalah suap-menyuap. Contoh kasus adalah seperti yang melibatkan Romi dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur, Haris Hasanuddin dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Gresik, Muhammad Muafaq Wirahadi dengan barang bukti uang berjumlah Rp156.758.000. Juru bicara KPK menyampaikan bahwa diduga ini terkait kasus jual beli jabatan di kementraian Agama. Haris dan Muafaq diduga berperan sebagai pemberi suap, sementara Romi sebagai penerima. suap KPK sudah menetapkan ketiganya sebagai tersangka (CNN.com).
Jual beli rekrutmen pegawai, mutasi dan promosi jabatan, proses pemilihan posisi kepala sekolah, penetapan kenaikan kelas murid sekolah, tilang polisi dan lain lain.Â
Peneliti dari Harvard University menyimpulkan bahwa negara yang tingkat pemberian tipnya tinggi cenderung memiliki kasus korupsi yang tinggi pula, khususnya di dunia politik. Argumentasinya sangat praktis. 'Membuang' uang kecil pada pelayan resto, kurir, dan supir taksi dapat dimaknai sebagai kemurahan hati, tetapi 'there is no free lunch". Negara negara yang tingkat pemberian tipnya tinggai, antara lain Amerika Serikat, Cina, dan India. Di Jepang dan Singapura, pemberian tip dilarang. Â