Karena saya pernah bekerja cukup lama di wilayah Indonesia Timur, beberapa kali pula saya sempat 'melarikan diri' ke Bali. Niatnya adalah untuk diam mencari sepi dan menyelesaikan target membuat laporan.
Dalam sendiri, kegiatan menulis hanya diseling minum kopi atau berjalan jalan saja di pantai. Namun, niat untuk berada sendirian di Bali hampir tidak pernah sukses. Hampir selalu ada yang mengiringi langkah saya. Anjing.
Mereka ada di mana mana. mengikuti ke manapun saya pergi. Apakah itu anjing Bali ataukah anjing pendatang. Ini terjadi di dalam kota, di desa ataupun di pantai. Tak jarang, anjing berkejaran, pacaran dan berkelahi. Seperti manusia rupanya. :) Â
Kitapun akan menyaksikan orang lalu lalang, apakah itu penduduk asli ataupun pendatang yang berjalan bersama anjing. Anjing adalah bagian dari kehidupan masyarakat Bali.Â
Angka ini menjadikan Bali sebagai wilayah dengan rasio manusia terhadap anjing adalah 8,2. Ini tertinggi di Indonesia, tetapi bukan yang tertinggi di dunia.
Di Amerika yang penduduknya adalah 327,14 juta di tahun 2018 memiliki jumlah populasi anjing adalah 89,7 juta (Statista.com, 2019). Artinya, rasio manusia terhadap anjing di Amerika adalah 3,6.
Yang menjadi persoalan adalah walaupun hampir semua anjing di Bali punya pemilik, 85% dari mereka dibiarkan liar. Ini menjadikan mereka rentan dengan berbagai penyakit, khususnya rabies. Informasi Dinas Kesehatan Denpasar mencatat terdapat setidaknya 100 laporan per hari atas kasus gigitan anjing. Ini angka yang tinggi.
Suatu studi dalam bentuk tesis mahasiswa pasca sarjana dari Indonesia, Riana Aryani Arief di Universitas Colorado (2014) "Dog Demography and Population Estimates For Rabies Control In Bali, Indonesia" cukup menarik untuk kita simak.
Studi ini mengatakan adanya hubungan antara demografi anjing di Bali dan kecenderungan adanya penyakit rabies. Hal ini dilihat dalam konteks identitas anjing dalam kehidupan manusia di Bali.