Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidur di Bawah Bintang Teluk Sumbang dan Kegalauan pada Nasib Suku Dayak Basap

5 Februari 2019   12:30 Diperbarui: 5 Februari 2019   18:19 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marion Fernandez (outdoorrevival.com)


Tulisan ini terinspirasi prosa pendek Kompasianer Pak Guru Ropingi "Beliung Dalam" yang saya baca tadi pagi. Soal Kalimantan. Soal Sawit. Soal hilangnya kekayaan warga Dayak. Dan ada catatan kerja saya yang hanya teronggok lama, saya buka sebagai bahan tulisan ini. 

Menikmati terangnya bintang di malam gelap sering sekali saya lakukan di rumah saya di desa. Namun, kenangan akan keindahan tidur di bawah bintang hanya saya dapatkan di Teluk Sumbang. 

Teluk Sumbang adalah salah satu desa di Kecamatan Biduk Biduk di ujung Kabupaten Berau di Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur. Wilayah teluk ini luar biasa indah. 

Saya bersama kawan satu tim kerja saat itu sedang melakukan penelitian sosial dalam rangka persiapan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembagkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di beberapa desa, yaitu Long Beliu, Merabu dan Teluk Sumbang. Ketiga desa itu memiliki daya tarik alam dan budaya yang berbeda beda. Merabu, misalnya, memiliki kisah budaya adat yang unik. Namun karena kami bermalam di Teluk Sumbang pada hari ke 2 kunjungan ke Kecamatan Biduk Biduk, maka kenangan indah tentang Teluk Sumbanglah yang  cukup lama tinggal di memori saya. 

Pada saat kami hadir di Teluk Sumbang pada akhir tahun 2017, listrik 24 jam dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) belum dapat dinikmati. Lampu listrik hanya menyinari perumahan masyarakat melalui genset komunal yang beroperasi 4 jam saja. Sejak pukul 18.00 sore dan padam persis pukul 22.00. Bahan bakar berupa minyak solar untuk genset cukup mahal dan masyarakat tak mampu untuk mengoperasikannya lebih lama. Tentu saja kita catat bahwa bahan bakar solar juga tidak ramah lingkungan.

Mbak Nani Saptariani, teman serombongan saat itu berulang tahun. Untuk itu, pada pergantian waktu yaitu jam 00, beberapa kawan membuat acara kejutan. Kami menyalakan lilin untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Tak ada perayaan besar. Sambil memandang teluk yang ada di kejauhan, kami cukup membakar Ikan Merah dan makan di antara tim kami. Walau saya tidak ikut serta dalam menikmati Ikan Merah, tetap saja suasana menyenangkan itu terasa. Apa ya saya hendak bilang? Lagu John Legend "Under the Stars" ada di telinga saya sepanjang malam. 

Here we are, under the stars
Here we are, under the stars
Heaven is not so far
Heaven is not so far
Heaven is not so far
Under the stars

Inilah kita di bawah bintang
Inilah kita di bawah bintang
Surga tidaklah terlalu jauh
Surga tidaklah terlalu jauh
Surga tidaklah terlalu jauh
Di bawah bintang

Mbak Nani meniup lilin (dokpri)
Mbak Nani meniup lilin (dokpri)
Ikan Merah bakar (Dokpri)
Ikan Merah bakar (Dokpri)
Apa lagi yang harus dilakukan di tempat seindah dan seterpencil Teluk Sumbang selain tidur di beranda rumah panggung kayu warga dan menikmati ribuan kerlip bintang. Lantai kayu tanpa alas memang membuat punggung tua pegal. Namun itu bukan berarti jadi alasan berkeluh. 

Signal HP tak ada, itupun bukan masalah. Tak ada orang yang harus saya hubungi setelah perjalanan 7 jam yang melelahkan dari Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau di Kalimantan Timur. Apalagi perjalanan kami juga disertai diskusi dengan masyarakat di  desa Merabu dan Long Beliu di hari pertama. Ketika ribuan kerlip bintang di atas di langit menyinari malam, tak ada pula keinginan untuk memotretnya. Hanya menikmati ketenangan malam. Takjub memandangnya. Susah menceritakannya. Saya mencoba mereka reka mana yang bintang jauh dan mana yang planet dari pengetahuan yang saya ingat. Memang kumpulan kata sayapun terbatas. Semilir angin membuat saya terkantuk. Itu saja sudah sangat lebih dari cukup.

Di pagi hari, badan terasa luar biasa segar. Entah mengapa. Saya percaya soal enerji bintang yang memberi ketenangan jiwa. Sementara, udara terbuka tentu mengganti udara di paru paru kita dengan udara segar yang baru. Pemandangan Teluk Sumbang dari rumah panggung kayu tempat kami tinggal sangatlah indah pagi itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun