Di dunia, terdapat satu miliar orang kelaparan, Â dan kita terus membuang dan menghilangkan makanan. Â Dii Indonesia, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinanpada tahun 2018 mencapai 9,82 persen. Walaupun prosentase ini telah menurun dibandingkan prosentase pada tahun sebelumnya sebesar 10,2 persen, angka 25,95 juta orang adalah angka yang tinggi. Dan kita juga terus membuang dan menghilangkan makanan. Ini soal serius.Â
Bagaimana tidak? Semua agenda pembangunan seperti the Millenium Development Goals (MDG) dan Sustainable Development Goals (SDGs)Â membincang soal masih banyaknya masyarakat dunia yang kelaparan. Juga kita membincang produksi pangan yang harus terus naik. Pada prakteknya kita terus membuang dan menhilangkan makanan. Jadi, apa yang salah?Â
Infografis yang diterbitkan oleh Barilla Center for Food and Nutrition juga menggarisbawahi kenyataan bahwa Negara kaya membuang dan menghilangkan makanan karena beberapa hal. Â Pertama, mereka memproduksi sudah cukup banyak, namun pelabelan masa berlaku makanan yang tidak memadai. Hal ini membuat mereka tidak bisa merencanakan konsumsi makanan sesuai dengan rencana. Â Kedua, aspek budaya. Kita memasak terlalu banyak, mengambilnya terlalu banyak, dan karena perut manusia terbatas ukurannya, maka makanan dibuang. Â
Sementara, Negara miskin juga membuang makanan karena bahan makanan terlanjur busuk di jalan yang disebabkan oleh transportasi yang buruk dan proses yang belum memadai. Artinya, baik di Negara kayak dan Negara miskin, persoalan membuang dan menghilangkan makanan dengan percuma terjadi.
Untuk Indonesia, saya kira konteksnya perlu kita pahami. Persoalan budaya sangatlah kritikal. Kita memiliki budaya yang mengatakan 'lebih baik sisa daripada kurang' di antara orang yang punya hajatan. Bagi kalangan orang Indonesia, khususnya orang Jawa, menyuguhkan makanan dengan ala kadarnya di acara perhelatan pekawinan dan pertemuan dianggap kurang pantas dan kurang menghargai orang yang kita suguhi.
Juga kita memiliki banyak budaya makan atau makan makan. Kita makan makan ketika anak lahir. Kita makan makan ketika anak berulang tahun. Kita makan makan ketika anak dikhitan. Kita makan makan ketika anak lulus ujian. Kita makan makan ketika anak jadi juara. Kita makan makan ketika anak menikah. Kita makan makan ketika anak perempuan kita hamil. Kita makan makan ketika naik pangkat. Kita makan makan ketika menyambut tamu. Dan seterusnya. Makan makan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam siklus hidup kita.Â
Jadi, makan bersama dan menyenangkan orang lain tentu bisa dibaca sebagai bagian dari amalan dan sedekah. Beberapa kelompok, misalnya di arisan dan pengajian, kita masih menerapkan membungkus makanan yang ada dan memberikannya kepada kawan terdekat yang hadir. Namun hal ini tidak akan merubah isu yang ada, yaitu kita mempersiapkan makanan dengan berlebihan, yang pada akhirnya juga berpotensi adanya makanan yang dibuang. Jadi, isunya adalah dampak atau ekses dari budaya itu.Â
Ramadhan adalah bulan suci. Persiapan makan untuk buka puasa dan sahur adalah penting. Tetapi kita cenderung mempersiapkan makanan dengan berlebih. Kita berbelanja begitu banyak makanan pembuka dan makanan utama, disamping camilan dengan ekstra. Ujung ujungnya, kita ribut dengan  inflasi meningkat paa bulan Ramadhan dan menjelang Lebaran tiba. Tentu saja, permintaan barang, khususnya bahan makanan meningkat, melonjak dengan luar biasa.Â