Sangatlah menyenangkan bisa bersama 3 orang Nine Penenun dari Pringgasela Selatan, Lombok Timur. Itu terjadi  pada pertemuan kami selama lima hari di Jakarta di Desember tahun yang lalu. Tiga penenun ini adalah Inaq Sri Hartati, Inaq Neli dan Inaq Ida. (Inaq adalah panggilan kepada perempuan dewasa di Lombok). Juga ada rekan rekan Gema Alam NTB. Selain saya bisa belajar soal tenun pewarna alam yang indah,  saya bisa banyak mendengar cerita dan kisah kain tenun itu.
Inaq Neli bercerita soal Songket Mudi, misalnya. Walau nampak sederhana, ternyata proses pembuatannya sulit karena terdapat motif sulam di atas penyongketannya. Kain benang sulam menonjol dan muncul tak terputus di sekeliling kain.Â
Baik kain tenun dan benang sulam diproses dari pewarnaan alam selama 1 bulan. Untuk warna salem ini, pewarnaan berasal dari kulit Kayu Banten tua yang mengalami perebusan selama 4 sd 5 kali. Kain ini biasa dipakai oleh perempuan dan laki laki, pada acara adat perkawinan "Sorong Serah' (Seserahan), atau pada Hari Raya.Â
Biasanya motif yang disulam adalah berbentuk seperti ani ani atau dalam bahasa Sasak disebut 'Rengkapan". Menurut para penenun, hal ini diinspirasi dari kerja petani perempuan yang melakukan panen padi dengan ani ani. Untuk warna hijau, maka proses pewarnaan menggunakan warna daun katuk dan Pepaya sehingga muncul warna hijau. Untuk menghasilkan sepotong sarung ini, Inaq Shanim biasanya membutuhkan waktu 2 bulan.
Proses beberapa kali ini dilakukan hingga warna yang dikehendaki tercapai. Motif Sundawa ini dibuat karena inspirasi perempuan yang beristirahat di ranggon (tempat istirahat di sawah) dan dengan air sungai mengalir deras di bawahnya. Motif ini biasanya dikenakan pada saat Sorong Serah, acara adat, dan acara resmi
Tenun ketiga yang menjadi diskusi kami adalah Tenun Bayanan Indigo. Inaq Sri Hartati bercerita bahwa warna biru dongker atau indigo dilakukan dengan proses pewarnaan dengan tumbuhan Tarum atau Indigovera yang biasanya dibeli dengan harga Rp 200.000 per ikat di desa Sambelia.Â
Motif Bayan terinspirasi dari seorang perempuan yang berasal dari Bayan, Lombok Utara yang tersesat di hutan Bayan dan menemukan alat tenun yang sudah ada benangnya dan dicoba untuk menenunnya. Saat sudah sampai 1 meter, datang seekor ular besar dan binatang buas lainnya. Karena takut melihat binatang binatang itu, perempuan itu lari ketakutan.Â
Hal tersebut berulang hingga penenun berganti sebanyak 3 kali. Perempuan ketiga adalah seorang Papuq atau nenek ternyata bisa menyelesaikan tenunnya karena ia tidak takut pada binatang puas tersebut. Kain ini biasanya dipakai pada saat acara pengantin, Sorong Serah, Adat dan Mandi Pengantin, serta acara Nyondol (melangkahi urutan perkawinan dai antara saudara). kain ini dibuat oleh Papuq Komalasari yang berusia 75 tahun.
Motif Srimenanti. Warna coklat terbuat dari kulit Banten, sementara warna putih dan biru dari indigo phon Tarum. Srimenanti berasal dari nama seorang gadis yang dilamar oleh seorang bangsaan. Namun si bangsawan pulang ke istananya dan tidak pernah pulang. Sri terus menunggu sambil menenun. Sementar sang bangsawan, sampai dengan kisah tenun diselesaikan, tak pernah kunjung datang.Â
Penenun kain ini adalah Inaq Fatimah, 43 tahun. Warna coklat terbuat dari kulit Banten, sementara warna putih dan biru dari indigo phon Tarum. Srimenanti berasal dari nama seorang gadis yang dilamar oleh seorang bangsaan. Namun si bangsawan pulang ke istananya dan tidak pernah pulang. Sri terus menunggu sambil menenun.Â