Mas Yono adalah tukang sayur langganan kami di desa, di Sawangan, Magelang. Dia selalu datang pagi ke rumah kami, sekitar jam 6 atau jam 7. Untuk bisa menjajakan sayur pada jam 6 atau 7 pagi, artinya ia harus kulakan jam 5 di pasar yang lebih besar di Blabak. Ini tentu dilakukannya setiap hari.Â
Menurut saya, tukang sayur adalah pekerja yang rajin dan hidupnya teratur. Mas Yono juga membangunkan kami dengan klakson motornya, bila kami kesiangan akibat terlalu nyenyak tidur karena udara sejuk dan belum membuka pintu rumah.Â
Seperti tukang sayur yang lain, maka mas Yono juga menerima belanja ngebon. Mas Yono berkunjung ke rumah langganannya setiap hari. Langganan belanja setiap hari. Belanja dibayarkan berkala. Bisa mingguan. Bisa juga bulanan. Tentu Mas Yono membangun kepercayaan dengan pelanggannya.
Karena di rumah saya, tukang masaknya adalah suami saya, maka Mas Yono jadi kawan kami sekeluarga. Mas Yono tahu saya penyuka jenis sayuran lokal yang tak ada di pasar atau di super market. Jembak, otok owok, dan sayuran jenis krokot lain akan dia tawarkan kepada kami. Â Sementara, ia juga membawa bahan bahan untuk masakan sehari hari yang dipesan suami saya.
Tak jarang, Mas Yono harus kembali ke rumah kami untuk mengantar pisang kepok kuning. Padahal, ia sudah datang di pagi hari jam 7, seperti biasa. Pisang kepok kuning yang tua tapi masih mengkal ini sangat lezat digoreng, dibuat kolak, dibuat stup pisang, atau dikukus. Dan ini adalah makanan favorit keluarga.
Pagi tadi saya sedikit ngobrol dengan mas Yono. Soal dialysis. Soal cuci darah.
Saya ngobrol dengan Mas Yono karena terusik berita tentang penggunaan selang alat pencuci darah yang diberitakan dipakai berulang kali di RSCM. Bukan untuk mendiskusikan kesahihan berita  taupun soal proses dialysis itu, tapi soal lain yang saya pikir penting.
Selama 11 tahun terakhir, Mas Yono mendampingi tetangganya, seorang pasien gagal ginjal untuk melakukan dialysis (Mohon maaf, saya tidak menyebutkan nama pasien). Persisnya, seminggu dua kali Mas Yono menjemput ke rumah pasien, mengantarnya ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di Yogyakarta, menemani proses dialysis, mengantar kembali pulang ke rumah pasien.Â
Jadi paling tidak selama seminggu, 14 sampai 20 jam waktunya ia berikan untuk mendampingi pasien tersebut untuk cuci darah. Seringkali, jalanan menuju dan di sekitaran Yogya macet. Beberapa menit menjemput ke rumah pasien. Satu jam mengantar ke Rumah Sakit. Lima jam menunggu proses cuci darah. Satu jam mengantar pulang dari Rumah Sakit ke rumah pasien.Â
Mas Yono menceritakan bahwa saat ini persoalan kemacetan di perjalanan dari rumah pasien ke Yogyakarta sudah bisa sedikit tertanggulangi, karena proses dialysis sudah bisa dilakukan di RS Aisyiah Muntilan. Ia bisa menghemat waktu sekitar 1 jam sekali mengantar proses cuci darah. Tetapi, artinya, Mas Yono masih perlu waktu minimal 14 jam seminggu untuk mendampingi pasien.Â
Mas Yono juga bercerita bahwa selama 11 tahun ini, pasien sempat 4 kali dalam kondisi memburuk. Ia harus menggendong pasien untuk bisa naik ke mobil. Lalu menggendongnya untuk masuk ke Rumah Sakit. Begitu selanjutnya. Dan itu ia lakukan setiap kali membantu tetangganya ini. Mas Yono menceritakan, ketika tubuh pasien sangat lemah cuci darah terpaksa tidak dilakukan.