Oleh Della Puspita dan Enmia Hetty Lorenza Tumangger.Â
Pertandingan sudah selesai, kemenangan menghilang ditelan yel-yel terpedih menghujam sukma, stadion menjelma kuburan yang meletakkan ingar bingar di persemayaman.
Peristiwa kelam Kanjuruhan yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 2022 menewaskan 135 orang korban karena terinjak-injak, patah tulang, serta sesak napas akibat tembakan gas air mata oleh polisi. Tindakan represif polisi ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa banyak kekerasan atau bahkan kejahatan yang dilakukan oleh oknum-oknum kepolisian yang tidak bertanggung kepada masyarakat sipil? Dalam peristiwa ini, apakah motif yang dilakukan oleh polisi hingga melakukan upaya represif tersebut?
Di balik itu semua, ada banyak keluarga yang mengalami kesedihan karena ditinggal oleh orang terdekatnya akibat tindakan tersebut. Apabila pihak keluarga ingin untuk meminta pertanggungjawaban atas segala kerugian yang didapatkan, kepada siapakah pertanggungjawaban tersebut diminta?Â
Dalam perkembangan kasus ini, para korban mulai melaporkan para pihak yang diduga melakukan tindak pidana pembunuhan dan pembunuhan berencana. Laporan ini dibuat akibat kekecewaan dari  pihak keluarga para korban yang merasa bahwa proses hukum yang dijalankan oleh polisi sampai ini tidak membuahkan hasil. Selain itu, saat ini juga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) telah menemukan terdapat pelanggaran HAM dalam peristiwa ini, yaitu penggunaan kekuatan berlebihan, pelanggaran hak memperoleh keadilan, hak untuk hidup, hak kesehatan, hak atas rasa aman, hak anak, serta pelanggaran terhadap bisnis dan hak asasi manusia.
Memang benar bahwa nyawa korban tidak dapat dipulihkan lagi, tetapi sebagai salah satu bentuk perlindungan bagi korban dalam peristiwa ini, korban maupun keluarga korban dapat menuntut restitusi, yaitu ganti rugi atas kerugian yang dialami baik materiil maupun imateriil kepada para pelaku.Â
Saat ini dalam perkembangan proses peradilannya, setelah melewati proses penyelidikan, polisi telah memanggil 6 orang tersangka, di antaranya Kepala Satuan Samapta Polres Malang AKP, Bambang Sidik Achmadi, Komandan Kompi (Danki) Brimob Polda Jawa Timur, AKB Hasdarman, Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan, Abdul Haris, dan Security Officer, Suko Sutrisno. Penetapan tersangka ini berdasarkan pelaku yang ada di lapangan pada saat peristiwa Kanjuruhan terjadi.Â
Mereka akan menjalani proses pemeriksaan tambahan lalu dilangsungkan proses penahanan di Mapolda Jawa Timur karena sampai saat ini status mereka sudah menjadi tahanan. Proses penahanan nantinya akan dilaksanakan di Reskrim Polda Jawa Timur. Namun, hingga saat ini Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan beserta jajaran tidak ingin bertanggung jawab atas kerugian dari peristiwa Kanjuruhan tersebut. Mereka menjadikan regulasi keamanan dan keselamatan sebagai benteng yang menetapkan bahwa mereka tidak perlu bertanggungjawab atas segala kerugian dalam Peristiwa Kanjuruhan.
Segala proses sedang diusahakan oleh Polri, pemberkasan akan segera diselesaikan agar dapat dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum dari Kejati Jawa Timur. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat mendapatkan keadilan melalui pertanggungjawaban. Di sisi lain, tim pendamping hukum Aremania, kelompok suporter klub sepak bola Arema, meminta agar proses penyelesaian Peristiwa Kanjuruhan ini tidak berhenti sampai di enam tersangka ini saja. Pihak-pihak lain yang mungkin terlibat dalam tewasnya ratusan korban harus ditemukan dan diadili seadil-adilnya.Â
Terlepas dari semua itu, tragedi ini sepatutnya dijadikan cerminan bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum perlu dibenahi. Ke depannya dalam menangani suatu peristiwa agar tidak gegabah. Di balik itu, semua tindakan represif aparat dalam Peristiwa Kanjuruhan tetap harus dipertanggungjawabkan karena merekalah yang memegang tanggungjawab dalam hal penertiban suporter.
Peristiwa Kanjuruhan, Malang 2022 sepatutnya menjadi tonggak untuk seluruh masyarakat sipil dan aparat penegak hukum dalam merefleksikan setiap tindakan yang akan dilakukan. Nyawa-nyawa yang hilang akibat kerusuhan serta tindakan represif tersebut tidak boleh terulang kembali. Seluruh pihak-pihak yang terlibat harus berbenah agar lebih bijak untuk mengambil suatu keputusan.