Oleh: R. Farah Najwa Madiena
Stadion Kanjuruhan kini menjelma jadi tempat ziarah, pertanda dunia sepak bola tanah air masih tenggelam dalam duka. Duka tersebut datang dari tragedi pada 1 Oktober 2022 silam usai pertandingan Arema FC dengan Persebaya Surabaya.
Bagi Aremania, Arema FC yang bertekuk lutut dari Persebaya Surabaya dengan skor 2-3 tentu bukan kekalahan biasa mengingat Persebaya tercatat tidak pernah menang melawan Arema FC di Malang selama 23 tahun terakhir (bola.com, 2022). Akan tetapi, pilunya kekalahan tak sebanding dengan luka yang lahir dari tragedi di hari itu.
Kilas balik, kerusuhan bermula pada turunnya sekitar 3.000 suporter ke lapangan pasca pertandingan. Sebagian anarkis dan disebut-sebut berupaya mencari pemain dan ofisial. Terlihat pula lemparan berbagai macam benda ke arah lapangan sehingga kepolisian memukul mundur suporter dengan puluhan kali tembakan gas air mata (Republika, 2022).
Korban jiwa per 25 Oktober 2022 tercatat mencapai 135 orang, menjadi cerita pilu dunia sepak bola Indonesia dengan jumlah korban tragedi sepak bola terbesar kedua di dunia (Kompas.com, 2022). Penyebab hilangnya 135 jiwa itu disebut-sebut adalah kompilasi alasan seperti tembakan gas air mata, terinjak-injak, dan kekurangan oksigen, yang diperparah penumpukan massa di pintu keluar (CNN Indonesia, 2022).
Penggunaan Gas Air Mata Tuai Kontroversi
Choirul Anam, Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menegaskan bahwa penggunaan gas air mata merupakan salah satu penyebab utama dari tragedi Kanjuruhan (Republika, 2022). Hal ini berdasarkan video kunci yang telah diteruskan kepada pihak yang membutuhkan, termasuk kepolisian dalam hal penyidikan.
Lebih lanjut, terdapat dugaan bahwa gas air mata yang digunakan pada saat kejadian tersebut sudah kedaluwarsa (detikNews, 2022). Penulis meyakini problematika ini perlu mendapat perhatian khusus, terlebih melihat respons aparat kepolisian di mana Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Dedi Prasetyo menyatakan bahwa gas air mata kedaluwarsa justru membuat kadar zat kimianya menurun sehingga tidak efektif lagi ketika ditembakkan.Â
Di sisi lain, menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), berdasarkan pernyataan ahli dan pengalaman di beberapa negara justru sebenarnya gas air mata yang kedaluwarsa akan menimbulkan efek yang lebih berbahaya (ICJR, 2022).
Terlepas dari hal tersebut, Federation Internationale de Football Association (FIFA) melalui Stadium Safety and Security Regulations telah mengatur bahwa senjata api ataupun crowd control gas tidak boleh dibawa atau digunakan (FIFA, 2022). Hal ini diatur dalam article 19b bagian pitchside stewards.Â
Namun, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah, Kombes Muhammad Iqbal Alqudusy, menyatakan bahwa penggunaan gas air mata dalam tragedi tersebut dilakukan atas dasar Standard Operational Procedure (SOP) kepolisian, tepatnya Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (Kompas.com, 2022).Â